Rabu, 02 Juli 2008

Dari HUT Ke-58 TNI, Kaderisasi Sipil Gagal, Fokus TNI pada Pertahanan

Oleh Kanisius Karyadi

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-58 Tentara Nasional Indonesia, yang dipusatkan di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, akan dijadikan titik awal pembaharuan di tubuh TNI. Pembaharuan tersebut terkait dengan Pemilu 2004 yang akan mengembalikan fungsi TNI sebagai alat pertahanan nasional (Kompas, 3/10/2003). Ini adalah pernyataan ”sejarah” yang mutakhir, penting dan inti dalam perkembangan TNI di Tanah Air. Hal ini mengindikasikan iklim keterbukaan mulai menyembul dalam lembaga TNI.

Sebelumnya, dalam panggung politik nasional di era Orde Baru peran TNI begitu dominan. Namun dengan bergulirnya arus reformasi 1998 di Indonesia, pada waktu itu ditandai dengan derasnya isu pencabutan Dwifungsi TNI (saat 1998, ABRI), sedikit demi sedikit TNI mulai menyadari arti penting pembagian porsi kerja dan ladang garapan TNI.

Menurut rencana, pada Pemilu 2004 nanti, TNI hanya menempatkan kader pada MPR saja dan pada Pemilu 2009, TNI akan benar-benar bebas dari kancah politik nasional. Arah pembaharuan TNI yang difokuskan pada ruang ”pertahanan nasional” Indonesia memang cukup menarik untuk disimak, karena ini merupakan suatu pertanda ada hawa segar dalam demokrasi Indonesia menuju partisipasi sipil yang lebih besar dalam menggerakkan roda demokrasi secara baik dan dinamis.

Ini adalah kesempatan emas bagi TNI sendiri dalam memfokuskan kerjanya untuk lebih profesional dalam pertahanan nasional, demikian juga ini adalah ruang subur dan hijau bagi pertumbuhan supremasi sipil di Indonesia.

Namun demikian, cita-cita TNI untuk fokus dalam wilayah pertahanan nasional dan meninggalkan wilayah sosial politik, masih menyisakan pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa khususnya warga negara Indoensia yang di luar TNI yaitu area sipil. Pada hakekatnya, pasca-Pemilu 2004, peran sosial politik TNI akan banyak digantikan sipil yang notabene secara umum kurang berpengalaman dalam kancah politik dan kurang persiapan dalam berbagai hal.

Hal ini adalah persoalan baru dalam demokrasi Indonesia, semangat yang tercurah untuk mewujudkan demokrasi tanpa dominasi militer ternyata terkendala dengan perangkat penggantinya yaitu kurang tersedianya kaum sipil secara merata di Tanah Air untuk mendukung momentum politik itu. Ada beberapa tokoh sipil yang siap menghadapi gejolak itu, namun sebagian besar kaum sipil banyak yang menghadapi (perubahan) reformasi hanya sekedar eforia politik belaka dan kurang didukung perangkat sistem dan perangkat sumber daya manusia.

Pernyataan Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam acara Gerakan Moral Nasional di Surabaya, 2001, pada intinya mengemukakan bahwa kaderisasi yang masih berjalan, berjenjang, dan berkesinambungan secara baik adalah dilakukan TNI. Jabatan struktural ataupun politis yang disandang oleh kader TNI dilalui dengan pentahapan berjenjang.

Lain halnya dengan sipil yang keteter dalam masalah kaderisasi, akibatnya setelah reformasi bergulir banyak kaum sipil yang maju namun dengan latar belakang kaderisasi yang lemah. Tukang becak yang tidak berpendidikan tinggi dan tidak berpengalaman menjadi politisi bisa menjadi anggota DPRD, makanya reformasi hanya berjalan di tempat.

Menurut hasil temuan Lembaga Survei Indoensia di Jakarta menyebutkan komitmen TNI untuk bersikap netral dalam pemilu demi demokrasi yang sehat tidak dapat segera dilakukan secara total. Pasalnya, politisi sipil yang diharapkan menggantikan peran sosial politik TNI selama puluhan tahun di era Orde Baru justru tidak siap dengan sikap netral TNI. Banyak politisi, yang lewat partai politiknya, berlomba-lomba menarik kembali peran TNI (Kompas, 1/10/2003). Ini menunjukkan betapa gagalnya kaum sipil yang diwakili dalam parpol dalam mempersiapkan kaderisasinya.

Ada dua dimensi yang perlu digarap pada momentum penting ini, yakni kaderisasi sipil secara benar dan upaya berkesinambungan untuk memfokuskan kerja TNI dalam wilayah pertahanan nasional. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang menguntungkan, serta menghapus dikotomi sipil dan militer. Selama ini ada benteng yang kuat memisahkan sipil dan militer, tentu berangkat dari momentum ini semuanya menjadi setara dalam satu kesaudaraan yang tidak disekat-sekat oleh batas yang membodohkan.

Momentum peringatan HUT ke 58 TNI di Surabaya, Jawa Timur, memang berdimensi politis, namun ini sekaligus sebagai saat-saat penting menjadikan Jatim sebagai daerah yang bisa mempelopori konsistensi gerakan TNI sebagai kekuatan pertahanan nasional, dan ajang refleksi sekaligus aksi di masa depan memelopori gerakan kaderisasi sipil secara baik dalam mempersiapkan kader-kader sipil profesional yang bekerja pada wilayah sosial politik.

Yang dibutuhkan adalah keharmonisan kerja dan tidak melanggar satu dengan yang lainnya, berbekal pada kemampuan mencoba mengarahkan kerjanya secara maksimal pada bidang kerjanya masing-masing. Yang lebih penting pasca agenda besar itu diharapkan TNI tetap menjadi milik bangsa dan pelindung semua golongan, sekaligus kaum sipil mulai terbuka dalam kancah politik Indonesia menjadi teladan hidup dalam pluralisme, menghargai manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan. Semuanya diharapkan mampu bekerja sinergi demi kepentingan bangsa Indonesia khususnya Jawa Timur.

Kompas Edisi Jawa Timur, 6 Oktober 2003

Sidoarjo Dikepung Musik Dangdut

Oleh Kanisius Karyadi

Perkembangan Kabupaten Sidoarjo yang mengarah pada kota modern perlu mendapat apresiasi. Dalam tempo yang tidak lama, Sidoarjo bisa menjadi barometer atau ikon baru bila membicarakan Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan.

Di balik sisi pembangunan fisik, dan sebentar, tepatnya 11 September 2005, akan ada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sidoarjo. Ada sebuah hasil studi yang memperlihatkan keunikan kegemaran bermusik warga Sidoarjo pada umumnya.

Studi yang dilakukan penulis di Sidoarjo selama bulan Juni-Juli 2005 mengcu pada pementasan seni dalam acara perkawinan atau khitanan di Sidoarjo. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya dominasi musik dangdut di atas jenis musik lain seperti samroh, pop, keroncong dan hiburan lainnya. Warga Sidoarjo kerap memperdengarkan musik dangdut, baik lewat pementasan hiburan dangdut bersifat live show atau memperdengarkan irama dangdut lewat kaset dengan sistem audio yang berkekuatan besar yang memekakkan telinga.

Sebenarnya pertunjukan musik dangdut sudah merakyat di Sidoarjo. Boleh dikatakan musik dangdut menjadi ikon Sidoarjo baru sebagai Sidoarjo Kota Dangdut.

Menggemari dan menggandrungi musik dangdut bagi mayoritas warga Sidoarjo, seperti diungkapkan seorang petani dan karyawan perusahaan swasta di Sidoarjo, Amari meliputi tigaa alasan. Pertama, sebagai hiburan yang menyegarkan. Kedua, musik dangdut bisa dibuat goyang atau joget badan walaupun tanpa keahlian menari secara khusus. Ketiga, pada umumnya Amari yang juga merupakan warga RT 01 RW 01 Jalan Flamboyan, Desa Siring, Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, suka melihat penyanyi perempuan dangdut yang rata-rata menawan hati.

Dalam catatan studi tentang dominannya musik dangdut di Sidoarjo, ada pula beberapa perkembangan yang lumayan positif dari sisi seni dan bisnis bagi warga Sidoarjo sendiri. Pertama, bermunculannya kelompok musik dangdut di Sidoarjo. Mereka banyak membentuk Orkes Melayu (OM) bak jamur di musim hujan. Tentu mereka muncul karena ada kebutuhan hiburan atau pesanan manggung dari warga Sidoarjo sendiri. Sebut saja OM Palapa atau OM Dahlia pimpinan Sueb Aryanto di Krembangan, Taman. Selain itu, OM Devita pimpinan Soliman di Wonokoyo dan lain-lain.

Perkembangan OM di Sidoarjo menunjukkan kegairahan pemusik dangdut yang semakin baik dan naik. Proses regenerasi musik dangdut relatif berlangsung mapan. Hal itu terbukti dari banyaknya pemusik dangdut muda yang mendominasi dibandingkan dengan generasi tua. Kegandrungan dan regenerasi pemusik dangdut di Sidoarjo dipastikan relatif lebih lestari di banding kesenian lain, seperti perkembangan ludruk di Surabaya yang kian luluh saja.

Kedua, tak ketinggalan dalam catatan studi ini menunjukkan pula perkembangan munculnya penyanyi muda dangdut di Sidoarjo ini. Mereka lahir berkat lingkungan yang kondusif bagi perkembangan musik dangdut itu sendiri. Karena lingkungan yang maniak dangdut, sengaja atau tidak sengaja hal itu membentuk karakter kedangdutan dalam diri mayoritas kawula muda Sidoarjo. Ada istilah yang cukup membanggakan, kalau belum menyanyi atau mendengarkan musik dangdut serasa hidup belum lengkap. Mereka muncul pula karena ada kebutuhan untuk menyanyi dan menghibur atau pesanan manggung dari warga Sidoarjo sendiri.

Ketiga, studi ini menunjukkan bermunculannya usaha bisnis penyewaan sistem audio di Sidoarjo. Di lihat dari sisi bisnis lainnya, acara keramaian baik acara perkawinan atau khitanan selama bulan Juni-Juli 2005 di Sidoarjo ini menunjukkan keunikan, yaitu munculnya ekonomi pasar malam.

Ekonomi pasar malam lahir dari pengusaha-pengusaha kecil yang memanfaatkan keramaian untuk berdagang seperti mainan anak-anak, makanan kecil, pakaian, sepatu dan lainnya.

Jika dikaitkan dengan perkembangan politik mutakhir di Sidoarjo yang akan menghadapi pilkada secara langsung, irama dangdut bisa menjadi sarana yang baik dan pas bagi peran kampanye media di Sidoarjo, di samping sarana kampanye yang lain seperti pendekatan kiai dan lain sebagainya. Musik dangdut bisa sangat strategis dan politis bila dikaitkan dengan pilkada di Sidoarjo.

Hal itu strategis karena dominasi musik dangdut bisa digunakan sarana untuk menggaet pemilih. Misalnya, kampanye melalui media VCD atau kaset yang diisi dangdut dengan disisipi seruan kampanye yang mencerdaskan. Hal tersebut politis karena musik dangdut digunakan sebagai alat politik untuk meraih suara pilkada, seperti sudah banyak digunakan sewaktu Orde Baru dengan menggunakan media wayang untuk kampanye.

Kompas Edisi Jawa Timur, 27 Juli 2005

Peta Politik Menjelang Pemilihan Wali Kota Malang

Oleh Kanisius Karyadi

Hiruk-pikuk suasana politik di kota Malang akan memasuki babak super panas dan klimaks sebab kalau tidak aral melintang pada hari ini, Kamis (28/8), akan digelar pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang periode 2003-2008. Sejumlah nama calon sudah ”unjuk gigi-putih” yang menandakan siap bersaing, bertarung dan berebut kursi.

Pemilihan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang ini akan ditentukan 45 anggota DPRD kota Malang. Dalam ”peta suara” tergambar bahwa Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) memiliki 17 suara, Fraksi Partai Golkar (F-PG) 7 suara, Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) 8 suara, fraksi Gabungan(F-Gab) 8 suara dan Fraksi F-TNI/Polri memiliki 5 suara.

Dalam peta calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Malang mengerucut menjadi empat pasangan. Mereka adalah pasangan Peni Suparti-Bambang Priyo (F-PDIP dan F-PG), Mohammad Nur-Poernomo (F-KB). Kemudian Gandi Yogatama-Dewanti Ruparin Diah dan Suhardi-Agus Sukiranto yang dijagokan F-Gab.

Dilihat dari ”peta kekuatan suara” dan ”peta kekuatan calon” yang sudah terpampang di atas sebenarnya sudah sejak awal bisa diprediksi hasil akhirnya. Secara matematis-logika formal– pasangan Peni Suparto-Bambang Priyo Utomo yang dikawal merupakan pasangan paling tangguh dan unggul.

Peni Suparto didukung 17 suara dari unsur F-PDIP dan Bambang Priyo Utomo didukung F-PG yang berjumlah 7 orang. Jika anggota F-PDIP dan F-PG solid, koalisi kedua fraksi ini akan meraup 24 suara. Adapun pasangan Muhammad Nur-Poernomo yang dicalonkan F-KB dengan modal 8 suara tampaknya akan sulit menghadapi gempuran pasangan Peni Suparto-Bambang Priyo Utomo.

Kalaupun F-KB mampu menggandeng F-Gab dan F-TNI/Polri, hanya menghasilkan 21 suara, dan pasangan ini masih kalah dengan duet Peni Suparto dan Bambang Priyo Utomo. Yang menarik diperhatikan adalah dua pasangan calon wali kota dan wakil Wali kota yang dicalonkan F-Gab.

Kedua pasangan tersebut dipastikan akan menghadapi dilema ketidaksinkronan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 151 Tahun 2000 Pasal 18 Ayat 6 yang menyebutkan, setiap fraksi hanya berhak mengajukan satu pasangan calon kepala daerah. PP tersebut memang berbenturan dengan Tata Tertib DPRD Kota Malang yang tertuang dalam Surat Keputusan Nomor 8 Tahun 2003 Pasal 11 Ayat 6, memperbolehkan setiap fraksi sebanyak-banyaknya menetapkan dua pasangan calon wali kota dan wakilnya.

Di balik kontroversi itu, dua pasangan dari F-Gab, yaitu Gandi Yogatama-Dewanti Ruparin Diah dan Suhardi-Agus Sukiranto, merupakan aktor figuran yang tidak utama, tetapi mempunyai kekuatan pemecah belah suara bagi pemilik suara besar dalam event ini. Kita ambil contoh, Dewanti Ruparin Diah yang juga termasuk salah satu tokoh Partai Golkar Kota Malang yang dipasangkan dengan Gandi Yogatama bisa juga merusak keutuhan suara F-PG. Kehadirannya dalam pencalonan itu sangat mungkin sengaja dimunculkan untuk merusak koalisi F-PDIP dan F-PG untuk mendukung calon yang lain.

Yang lebih menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah F-TNI/Polri yang memiliki 5 suara. Sejak awal F-TNI/Polri tidak mempunyai jago secara khusus. Belajar dari pengalaman pemilihan kepala daerah lain, khususnya pada pemilihan Gubernur Jawa Timur beberapa waktu lalu, F-TNI/Polri tampaknya akan tetap tenang-tenang saja.

Dalam pemilihan Gubernur Jatim beberapa waktu lalu, ketenangan F-TNI/Polri sebenarnya cukup menghanyutkan. Suara F-TNI/Polri yang berjumlah 10 suara, mayoritas justru lari ke Imam Utomo-Soenarjo yang merupakan koalisi F-PDIP dan F-Gab. Sangat tampak sekali, bandul politik F-TNI/Polri selalu mengarah pada kekuatan yang menurut hitungan matematis kuat, secara otomatis suara itu akan ditambatkan.

Tampaknya 5 suara F-TNI/Polri di DPRD Kota Malang tidak akan lari jauh dari prediksi itu. F-TNI/Polri akan melaksanakan kelenturan tubuhnya di tengah perebutan suara. F-TNI/Polri akan oportunis kepada kekuatan yang nyata-nyata akan menang. Seandainya suara F-TNI/Polri abstain, juga tidak akan berpengaruh besar dalam penggalangan suara koalisi F-PDIP dan F-PG.

Sementara itu, potensi konflik dan potensi terjadinya politik uang dalam pemilihan Walikota Malang tidak bisa diremehkan begitu saja sebab hal itu bisa merusak perhitungan matematika-logika formal di atas.

Potensi konflik yang sudah tercium oleh berbagai kalangan di Kota Malang adalah benturan massa pendukung masing-masing calon. Adapun politik uang masih sebatas pada dugaan yang masih perlu dicari kebenarannya. Yang lebih penting sebenarnya, potensi konflik dan kemungkinan terjadinya politik uang selayaknya diminimalkan atau dihilangkan.

Dengan demikian, kita bisa benar-benar ”belajar” cara berdemokrasi yang jujur dan bersih. Sebab tanpa itu, kita tetap membudidayakan politik yang kotor. Kita berharap wakil rakyat, khususnya anggota DPRD Kota Malang yang berjumlah 45 orang ini, dapat memberikan pendidikan politik yang benar kepada pemilihnya dengan tidak menggelar konvoi massa karena bisa berpotensi menimbulkan kerusuhan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 28 Agustus 2003

Pemecatan Alisjahbana akibat Desakan Politis dan Struktural

Oleh Kanisius Karyadi

Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono mengatakan, ”Saya seorang pejabat politik dan mungkin sesaat menjadi pejabat politik. Tapi Pak Ali adalah pejabat karier yang perlu diselamatkan. Saya tidak rela kalau pejabat seperti Pak Ali yang merupakan aset di kota ini dan di Jatim, menjadi bulan-bulanan. Kalau Pak Ali disia-siakan begini, mungkin ya kalau orang main sepak bola lapangannya masih becek. Bagi pemain profesional, tidak bisa bermain di lapangan becek bukan karena tidak mampu, tetapi karena lapangan memang becek. Kalau bicara kerugian, saya rugi (dengan mencopot Alisjahbana)” (Kompas, 18/9).

Ungkapan Wali Kota Surabaya Bambang DH tentang Sekkota Surabaya Alisjahbana yang telah dipecatnya ini, kalau diteliti secara seksama sejatinya merupakan pernyataan sangat tajam yang menukik pada inti persoalan di Kota Surabaya. Yaitu masih buruknya kualitas lingkungan dan sistem yang ada dalam tata pemerintahan di Kota Surabaya secara keseluruhan. Sekaligus menunjukkan kepada publik Surabaya bahwa Alisjahbana merupakan ”korban” lingkungan kerja yang tidak kondusif dan tidak bersahabat pada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di Kota Surabaya.

Ini berarti sejak awal pemecatan Alisjahbana memang tidak berdasarkan pada kesalahan, keteledoran, dan kegagalan Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya ataupun sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang menyusun Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) di Kota Surabaya itu semata. Namun, lebih karena desakan politis dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Surabaya dan desakan struktural dari internal Pemkot Surabaya.

Kasus pemecatan Sekkota Surabaya Alisjahbana ini adalah pukulan maut bagi lembaga eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya. Ada tiga pukulan maut yang menyembul ke permukaan atas kasus pemecatan Sekkota Surabaya. Pukulan pertama, mengarah pada belum siapnya perangkat internal Pemkot Surabaya dalam menjalankan budaya (etos) kerja yang profesional.

Ada ciri umum yang selama ini melekat dalam diri Sekkota Surabaya Alisjahbana yang sering didengungkan Wali Kota Surabaya Bambang DH bahwa sosok Alisjahbana adalah profesional, beretos kerja tinggi, dan mempunyai kredibilitas tidak diragukan. Maka tak ragu, ketika Wali Kota Surabaya, Bambang DH membutuhkan pengganti M. Jasin, ia memilih Alisjahbana yang ketika itu bertugas di Kota Batu sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekko) Batu.

Tampaknya, tiga watak unggul Sekkota Surabaya Alisjahbana ini yang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dengan watak unggulnya ternyata ia dimusuhi banyak kalangan internal Pemkot Surabaya kemudian didepak dari lapangan birokrasi di Kota Surabaya secara mengenaskan. Ternyata lapangan kerja birokrasi di Kota Surabaya tidak cocok dengan ketiga watak unggul Alisjahbana itu.

Selama ini Pemkot Surabaya terlanjur ada label dan fakta bahwa birokrasi Kota Surabaya itu kerjanya santai, tidak produktif, tidak disiplin, alur birokrasi berbelit-belit, pungutan liar (pungli) tinggi, dan lain sebagainya. Dalam internal Pemkot Surabaya kurang dinamis dan cenderung statis dalam bekerja secara penuh menghadapi gejolak zaman yang terus berubah. Ketidaksiapan ”mentalitas” internal Pemkot Surabaya dalam struktur, personal dan sistem, jelas sekali tercermin dengan ”tertinggalnya” Kota Surabaya dengan kota lainnya.

Pukulan kedua, menghantam pada lambannya melakukan respon, perubahan yang penting dalam internal Pemkot Surabaya. Langkah kerja efektif yang banyak didengungkan Alisjahbana untuk memperbaiki kinerja Pemkot Surabaya secara keseluruhan ternyata mengundang polemik internal di Pemkot Surabaya sendiri. Ia dianggap duri dalam daging di Pemkot Surabaya.

Program inovasi Alisjahbana dianggap akan menggusur lahan kerja pejabat di lingkungan kerja Pemkot Surabaya. Langkah-langkah inovasi yang mengarah pada perubahan menuju yang lebih baik, terhambat oleh kendala-kendala internal birokrasi Pemkot Surabaya. Ini menunjukkan semangat berubah dari Pemkot Surabaya kurang sekali. Padahal, perubahan di luar begitu cepatnya. Ketika pemkot kurang bisa mengikuti irama perubahan, maka dipastikan Pemkot Surabaya akan jauh tertinggal.

Pukulan ketiga, menyerang pada sinergi yang lemah antara lembaga eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya. Lingkungan kerja yang tidak harmonis antara pihak eksekutif dan legislatif selama ini hendaknya perlu diperbaiki secara terus-menerus. Jika lembaga eksekutif dan legislatif yang terus berurusan saling mengganjal, berakibat pada terganggunya pembangunan fisik Kota Surabaya bahkan mengganggu psikis masyarakat.

Sekarang kita mengetahui, kericuhan soal PAK merupakan satu pintu untuk menganjal Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya. Namun, juga sangat kentara bahwa perebutan jabatan lebih mengemuka dan perebutan lahan basah terus bergulir di Kota Surabaya. Betapa harga profesionalis kerja, nilai etos kerja yang tinggi, dan dedikasi yang loyal terhadap tuntutan perubahan telah terpinggirkan di Kota Surabaya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 19 September 2003

Masih Soal Sekkota Surabaya, Ada Kepentingan Apa di Balik PAK?

Oleh Kanisius Karyadi

Pimpinan DPRD Surabaya Armudji akhirnya menemui Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, menyusul meruncingnya hubungan antara Pemkot Surabaya dan DPRD Surabaya. Memanasnya Hubungan kedua lembaga tersebut terkait dengan permasalahan pembahasan rancangan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) yang berbuntut pada sorotan tajam terhadap kinerja Sekretaris Kota Surabaya Alisjahbana (Kompas Edisi Jatim, 11/9).

Pihak eksekutif dan legislatif sama-sama ngotot dengan pendirian masing-masing. Pihak eksekutif diwakili tim anggaran merasa sudah menjadi haknya untuk menyusun PAK, namun di sisi yang lain pihak DPRD Kota Surabaya tidak puas karena merasa tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan PAK tersebut. Konflik klasik ini berbuntut isu pemecatan Alisjahbana, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya.

Konflik mutakhir antara eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya ini setidaknya melahirkan dua pertanyaan mendasar untuk dikemukakan terkait hubungan kedua lembaga. Pertama, apa ’’kesalahan” dan ’’pelanggaran” fatal yang telah dilakukan Alisjahbana dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya sebagai Sekkota?

Ketika DPRD Kota Surabaya melontarkan ancaman pemecatan Sekkota Surabaya, DPRD Kota Surabaya perlu memaparkan berbagai bentuk kesalahan dan kegagalan yang telah dilakukan Alisjahbana secara transparan kepada publik Surabaya, mengenai berbagai penyimpangan dalam PAK atau sisi lain yang dirasa akan atau sudah merugikan keuangan negara dan menyengsarakan rakyat.

Selama ini belum ada data penting dan sahih tentang kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan Sekkota Surabaya ini. DPRD Kota Surabaya tidak boleh sekedar ’’mencari-cari” kesalahan dari Alisjahbana karena hal itu akan menunjukkan tingkah bobrok dan rakus dari anggota DPRD Kota Surabaya. Jika tidak ditemukan data yang benar, nyata, dan dapat dipertanggungjawabkan tentang keganjilan pekerjaan Alisjahbana, sebaiknya DPRD Kota Surabaya tidak membuat isu macam-macam karenanya nantinya mengancam legitimasinya sendiri sebagai lembaga wakil rakyat.

Pertanyaan kedua, ada kepentingan apa di balik PAK Kota Surabaya itu sehingga perseteruan itu berujung pada keinginan untuk melengserkan Alisjahbana? Meski pertanyaan tersebut belum ada jawaban yang pasti, penulis memperkirakan ada tiga kemungkinan mengapa DPRD Kota Surabaya sangat bersemangat untuk melengserkan Alisjahbana.

Kemungkinan pertama, memburuknya kinerja (prestasi) Sekkota Surabaya. Alasan ini sering dilontarkan anggota DPRD untuk menilai perlunya diadakan pemecatan terhadap Alisjahbana. Akan tetapi hingga sekarang DPRD kota Surabaya belum memberikan klarifikasi atas kegagalan Alisjahbana dalam menjalankan tugasnya sebagai Sekkota. Dalam hal ini, DPRD Kota Surabaya terkesan buru-buru, subjektif, dan lebih mengedepankan unsur suka atau tidak suka. Padahal di tempat kerja sebelumnya di Kota Batu, Alisjahbana dianggap mempunyai prestasi besar dalam mengembangkan Kota Batu.

Kemungkinan kedua, perebutan posisi Sekkota yang dianggap sebagai jabatan prestisius dan strategis di Kota Surabaya. Kemungkinan ini bisa terjadi mengingat dari sejarah penentuan awal Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya, sudah menimbulkan polemik di kalangan internal Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya atau di kalangan anggota DPRD Kota Surabaya. Pada dasarnya riak-riak ketidaksukaan terhadap Alisjahbana sudah mengalir sejak dia mengawali jabatannya sebagai Sekkota Surabaya.

Harus diakui jabatan Sekkota Surabaya banyak diincar orang, sehingga sangat mungkin muncul keinginan pihak-pihak tertentu dengan jabatan prestisius tersebut. Nah, dengan mendongkel Alisjahbana dari jabatannya, diharapkan oleh orang-orang yang berkepentingan akan ada kekosongan jabatan Sekkota. Dengan demikian memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk menggantikannya sehingga segala bentuk akses atau fasilitas bisa diraih dan dinikmati.

Kemungkinan ketiga, perebutan ”lahan basah” dalam proyek-proyek di Kota Surabaya yang tercantum dalam PAK Kota Surabaya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik semua fenomena politik atas jargon ”mensejahterakan rakyat” di Kota Surabaya, dipastikan ada perebutan lahan-lahan basah yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Kemungkinan ini sangat besar karena ada kecenderungan arah politik di Jatim seperti itu, yaitu mengelembungkan perut pribadi, kelompok, namun mengabaikan kepentingan rakyat kecil (wong cilik).

Perseteruan DPRD Kota Surabaya dengan Pemkot Surabaya sudah mengarah pada konflik personal dengan muatan politis yang sangat tinggi. Konflik ini tidak ada faedahnya untuk kepentingan umum. Akan tetapi, mencari solusi damai atas masalah tersebut juga agak sulit dilakukan.

Komunikasi yang agak terputus antara eksekutif dan legislatif, sebaiknya dibangun atas dasar ”ketulusan” karena itu adalah pintu masuk menuju keharmonisan kerja. Tanpa itu, pihak eksekutif dan legislatif sama-sama buta, pincang bahkan mungkin lumpuh dalam mengemban amanat suci pemerintahan yang baik di Kota Surabaya. Jangan lagi kepentingan rakyat kecil terabaikan daan terpinggirkan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 15 September 2003

Ada Lima Potensi Konflik Dalam Pilgub Jatim

Oleh Kanisius Karyadi

Potensi konflik yang dapat menimbulkan ”kekerasan” dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim periode 2003-2008, sangat besar. Tanda-tanda dalam kekerasan mulai tersaji dalam panggung politik Jatim. Contohnya, menjelang rapat Panlih di Gedung DPRD Jatim beberapa waktu lalu, terdapat tabloid yang sengaja menampilkan judul besar berbunyi, “Brigjend (Purn) Abdul Kahfli Bakri Munafik”.

Tabloid itu sengaja disimpan di meja anggota DPRD Jatim. Di halaman yang sama terpampang foto pasangan Imam Utomo yaitu Soenarjo dengan judul ”Soenarjo Wagub Ideal”. Ini adalah bentuk kekerasan ”psikis” konkret dalam even itu yang dilakukan kubu-kubu yang bersaing.

Tulisan yang belum tentu kebenarannya sengaja dilontarkan untuk menyakiti ”hati” dan perasaan seseorang. Kekerasan psikis lebih pada menyerang wilayah privasi seseorang. Kekerasan psikis yang terjadi dalam putaran panas ini sebenarnya benih-benih dari kekerasan fisik.

Kekerasan merupakan satu fenomena sosial yang sering muncul ke permukaan dengan alih-alih menuntaskan masalah akibat perbedaan yang muncul. Kasus kekerasan dalam politik Indonesia mutakhir adalah pemukulan Ali Marwan Hanan, Menteri Koperasi RI oleh Djamal Doa di rumah dinas Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz. Ini merupakan satu fenomena panggung politik yang hiruk pikuk bernuansa emosional.

Pada perkara politik, kekerasan timbul karena perbedaan pada dua orang atau lebih yang bertemu secara tidak sengaja atau disengaja. Satu dengan yang lain mempunyai (kepentingan) tujuan sama atau beda dalam satu momentum waktu tertentu. Kemudian ada pihak yang merasa puas dan ada pihak yang tidak puas terhadap sebuah proses dan hasil.

Pada saat itu memungkinkan terjadinya benturan-benturan fisik atau psikis di masing-masing pihak. Rasa amarah yang menggebu inilah awal orang untuk melakukan tindak kekerasan.

Dalam peta politik Jatim menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim setidaknya ada 5 potensi konflik yang dapat menimbulkan kekerasan. Pertama, kekerasan terselubung. Kekerasan ini tidak kentara sebab biasa dilakukan dengan cara tersembunyi, misalnya dengan melakukan penekanan terhadap anggota DPRD supaya memilih calon tertentu.

Kekerasan terselubung dapat juga dilakukan melalui tudingan supernegatif dengan tujuan menyerang privasi, contohnya melalui selebaran gelap seperti yang telah terjadi di arena DPRD Jatim itu.

Kedua, kekerasan internal partai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam partai manapun mudah timbul konflik. Partai Golkar atau Partai Kebangkitan Bangsa sudah mengalami hal itu. Konflik berkisar pada ketidakpuasan terhadap calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan. Konflik itu belum mengarah pada kekerasan tetapi potensi kekerasan tidak bisa diremehkan begitu saja karena bisa meledak kapan saja apabila ada pihak-pihak yang tidak kuat mengendalikan.

Ketiga, kekerasan satgas dan massa. Potensi kekerasan dalam pilgub Jatim kali ini terletak di wilayah ini sebab dua partai besar yakni PDIP dan PKB masing-masing mempunyai jago Gubernur dan Wakil Gubernur. Kedua partai ini memiliki basis massa yang kuat dan memiliki satgas yang terorganisasi. Kekhawatirannya jika massa dan satgas tidak bisa saling mengendalikan diri maka akan pecah kekerasan.

Keempat, kekerasan antar anggota DPRD Jatim. Pemilihan ini akan akan ditentukan oleh 100 anggota DPRD Jatim. Mereka adalah ujung tombak di lapangan dalam pemilihan. Bisa saja terjadi keributan ”murni” yang menimbulkan kekerasan di antara mereka. Bisa juga terjadi keributan ’’rekayasa’’ yang menimbulkan kekerasan dengan maksud mengacaukan jalannya sidang paripurna DPRD Jatim supaya acara tertunda dan agenda-agenda terselubung bisa dilancarkan.

Kelima, kekerasan aparat penegak hukum. Dalam pengamanan wilayah DPRD Jatim melibatkan polisi. Kalau ditinjau dari track record polisi dalam mengamankan gejolak-gejolak yang terjadi di masyarakat, sebagian besar pendekatan yang digunakan dengan kekerasan (represif), contohnya main pentung, main sepak, main popor dan lain-lain. Korban bisa dari massa partai, massa umum, pers dan lain-lain.

Potensi kekerasan ini patut dicermati sebab wilayah ini adalah lingkup lingkaran setan kekerasan yang tidak berujung. Karena polisi selalu berdalih mengamankan tetapi terlibat dengan kekerasan itu sendiri.

Tawaran Stephen R Covey, mengenai solusi menang-menang (win-win solution) secara ”harfiah” memang tidak bisa diterapkan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, karena proses pemilihan yang muncul adalah dua kemungkinan kondisi, yaitu menang-kalah (win-lose) dan kalah-menang (lose-win).

Solusi menang-menang (win-win solution) dalam pemahan yang mendalam bisa diterapkan ketika pihak yang terpilih (menang) dan pihak yang tidak terpilih (kalah) dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Guibernur Jatim sama-sama menunjukkan etika yang baik dan tulus untuk saling menerima realitas sosial yang terjadi.

Jika realitas sosial telah ada, kemudian satu pihak atau dua pihak sama-sama tidak puas dengan menggunakan cara yang tidak halal termasuk cara kekerasan, berarti pilihan jatuh pada posisi kalah-kalah. Kita mengharapkan dalam proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim ini tidak menimbulkan kekerasan.

Potensi konflik yang menimbulkan kekerasan sangat mungkin pecah terutama pada pasca Pilgub Jatim. Yang lebih penting adalah mengendalikan laju kekerasan politik sehingga mengurangi beban traumatis pada semua lapisan masyarakat Jawa Timur. Rasionalitas dan kebesaran jiwa masing-masing pihak mestinya yang diperlukan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 14 Juli 2003

Menanti Pilgub Jatim yang Jujur

Oleh Kanisius Karyadi


Duel perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur memasuki babak ”panas”. Masing-masing kubu mengeluarkan jurus-jurus maut dan mematikan. Bagai sebuah perang, kedua kubu melakukan perang urat syaraf untuk menjatuhkan mental lawan sebelum bertanding. Baik kubu Imam-Soenarjo yang didukung F-PDIP, maupun kubu Abdul Kahfi-Ridwan yang didukung F-KB dan F-PG berupaya tampil prima dengan berbagai jargon, taktik dan strateginya.

Senjata yang berbau ”akademik” dengan pemaparan visi, misi dan program yang bertujuan mencari dukungan dan simpati rakyat Jatim sudah diluncurkan. Kini senjata negatif sudah mulai ditembakkan. Hal ini untuk menghancurkan benteng pertahanan lawan. Senjata itu berupa pemunculan isu-isu negatif yang berembus di arena kompetisi. Satu di antaranya, aroma politik uang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim tercium menyengat di antara anggota DPRD Jatim (Kompas, 2/7/2003).

Menilik budaya politik Jatim, secara umum ”isu politik uang” itu sudah merebak di semua lini lembaga yang ada di Jatim. Hal itu menjadi pakem budaya politik Jatim. Coba bandingkan pengalaman-pengalaman masa Orde Baru, pemilihan kepala desa penuh dengan iming-iming uang dan kedudukan.

Secara lebih tegas, pengalaman ini pernah diungkapkan Drs Krernayana Yahya MSc, dalam suatu diskusi ”Prospek Perekonomian Surabaya” di Universitas Widya Kartika Surabaya (2000). Dia mengaku pernah ditawari ”makelar politik” menjadi calon Wali Kota Surabaya. Untuk ”uang jasa” itu, dia dimintai uang ratusan juta rupiah. Ini sebagai bentuk politik uang dalam kasus versi yang lain.

Dalam kasus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, sampai sekarang belum terdapat bukti konkret tentang adanya politik uang itu. Namun ada dua dugaan kuat pemunculan isu politik uang itu. Pertama, politik uang adalah benar menjadi realitas politik dalam proses pemilihan itu.

Dalam hal ini, kubu Imam-Soenarjo (F-PDIP) perlu membuktikan dengan data dan bukti-bukti otentik yang tingkat validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, tentang upaya-upaya penggembosan anggota fraksinya oleh kubu Kahfi-Ridwan (F-KB dan F-PG).

Ketika kubu Imam-Soenarjo (F-PDIP) berhasil membuktikan politik uang tersebut, maka semakin kuat posisi Imam dan Soenarjo dalam menapaki kursi nomor satu dan nomor dua di Jatim. Tanpa itu, masyarakat tidak akan percaya dengan berita itu. Pemunculan isu itu akan menjadi isapan jempol belaka dan menjadi blunder bagi F-PDIP.

Kedua, politik uang sebagai sekedar gerakan menjatuhkan nama baik di hadapan publik Jatim. Pertarungan isu politik uang dalam proses pemilihan ini menjadi komoditas dalam menjatuhkan lawan. Permainan ini adalah upaya untuk menggalang opini publik. Isu politik uang yang dianggap murahan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Edy Wahyudi (Kompas, 2/7/2003), bisa jadi benar-benar murahan bila tidak terbukti. Kemungkinan besar, isu ini disengaja dilontarkan untuk memprovokasi masyarakat Jatim yang kadangkala percaya dengan elite politik tanpa pertimbangan data, bukti dan fakta (kebenaran).

Sejatinya, isu politik uang dalam proses politik ini patut dicermati secara dini, sebab masalah ini akan menunjukkan jujur atau tidaknya proses pemilihan gubernur dan wakilnya. Jika benar isu politik uang itu yang berkembang di kalangan anggota DPRD Jatim, maka semakin mengukuhkan bahwa ”politik itu kotor”. Paradigma lama ini menjadi pedoman bagi semua politisi dan kadernya bila ingin mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Ada tidaknya politik uang menjelang proses pemilihan Gubernur Jatim, hanya anggota-anggota DPRD Jatim yang mengetahui. Dalam sistem politik seperti sekarang, dalam memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, rakyat hanya bisa menunggu ngaplo, menyaksikan tingkah-langkah anggota DPRD Jatim.

Mestinya dalam paradigma baru, aktivitas politik itu bersih dan jujur dan mengedepankan hukum serta kesejahteraan rakyat. Ajang kompetisi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim sejatinya harus jujur, sebab dari proses ini akan tercermin budaya politik Jatim. Seandainya pada level pimpinan puncak di Jatim rentan terhadap politik uang, bagaimana dengan level-level di bawahnya.

Pemilihan Gubernur Jatim sebenarnya merupakan momentum politik yang penting bagi masyarakat Jatim kalau saja proses politik tersebut bisa membangun budaya politik yang jujur dan bersih. Dengan menepis praktik politik uang di arena pertandingan, niscaya ini adalah periode sejarah baru perpolitikan Jatim.

Kompas Edisi Jawa Timur, 4 Juli 2003

Fadhilah Budiono

Oleh Kanisius Karyadi

Fadhilah Budiono menjadi kontroversi di masyarakat Jawa Timur (Jatim). Belum lega mendudukkan pantat di kursi Bupati Sampang, yang diraihnya dengan susah payah, ia kini menghadapi pengadilan dengan tuduhan penyelewengan beras operasi pasar (Kompas, 21/3/02). Suatu fenomena tren sebagai pelengkap budaya politik Indonesia yang carut-marut.

Begitu selaras budaya politik Indonesia itu sehingga bisa serasi antara pusat dan daerah. Di level nasional, preseden Buloggate II mulai digelar dengan tersangka utama Akbar Tandjung, Ketua DPR. Di level daerah Sampang, Jatim, sedang berlangsung "Sampanggate" yang melibatkan bupatinya sendiri, Fadhilah Budiono.

Jika proses pengadilan itu berlangsung, maka hal tersebut tergolong unik dan menarik. Sebab, Fadhilah termasuk penjabat kuat dan masih berkuasa. Lagi pula, ia memiliki massa pendukung militan yang rajin menguntitnya. Keyakinan untuk meruntuhkannya, ibarat semut melawan gajah.

Proses pengadilan itu memang tak terlepas dari riwayat masa lalunya, yang masih menyisakan kegamangan proses politik pra-pemilihan Bupati Sampang. Masih banyak pihak-pihak anti-Fadhilah yang bercokol dalam lingkaran perpolitikan Sampang sehingga posisi Fadhilah akan terus terancam oleh bayang-bayang oposisinya.

Dalam kasus ini, proses politik yang terjadi sedang dibingkai dalam proses hukum. Artinya, sudah ada pembusukan-pembusukan terhadap Fadhilah yang dilakukan oleh lawan-lawan politiknya. Dengan cara menguliti habis kemungkaran Fadhilah dan kawan-kawan, kemudian menjalankan tata cara dan permainan hukum.

Fadhilah Budiono mengungkapkan kesiapannya untuk menghadapi pengadilan dan menyambut baik mekanisme hukum. Pernyataan ini layak digarisbawahi, sebab nantinya masyarakat bisa tahu siapa yang benar dan salah.

Persoalannya sekarang, apakah lembaga hukum (pengadilan) itu benar-benar teruji keandalannya. Sebab, sudah menjadi rahasia umum lembaga peradilan Indonesia (Jatim) itu gudangnya "penyamun berbulu domba berhati ular dan serigala". Atas nama uang dan jabatan, kebenaran bisa dijual, yang benar bisa salah, yang salah bisa benar.

Jangan sampai, proses hukum atas Fadhilah Budiono ini menjadi mandek (stagnan) di level aparatur hukum sendiri. Kita mengharapkan proses itu berjalan obyektif dan transparan. Budaya kongkalikong, wolak-walik grembyang sudah saatnya dibuang habis.

Menilik hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC), 10 Maret 2002, menempatkan Indonesia sebagai negara paling korup di Asia dengan skor 9,92. Semoga proses hukum itu bisa mengikis habis atau meminimalkan hasil survei PERC di kemudian hari sehingga terciptalah pemerintah yang bersih, sehat, dan benar.

Kompas Edisi Jawa Timur, 9 April 2002

Mengubah Diri

Oleh Kanisius Karyadi

Sufi Bayazid adalah pemuda revolusioner, demikian dikisahkan Antony de Mello SJ dalam karya buku Burung Berkicau. Dalam setiap doa, Sufi selalu memohon kekuatan kepada Tuhan, agar ia dapat "mengubah dunia" seturut cita-citanya.

Dalam perjalanan waktu, sang Sufi merasa tidak mampu mengubah dunia sesuai cita-citanya. Maka diubah komitmen dan doa permohonan kepada Tuhan, agar ia diberi kekuatan untuk bisa mengubah masyarakat di lingkungannya.

la berjuang bak era mahasiswa proreformasi Indonesia tahun 1998 yang progresif-revolusioner. Tetapi mau bilang apa, ternyata sampai umur tua, Sufi juga belum mampu mengubah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sufi kembali bersembah sujud kepada Tuhan, agar diberi kekuatan untuk mampu mengubah orang-orang dekat, saudara-saudara, atau handai taulannya agar sesuai dengan cita-citanya.

Sakratul maut telah siap menjemput Sufi Bayazid. la bergumam dalam hati sanubari. Betapa bodoh dirinya, ketika bercita-cita mengubah dunia, masyarakat, orang dekat, dan semua itu sekarang tidak berubah sama sekali. Mengapa tidak pernah terbayang untuk mau mengubah diri sendiri.

Sependapat dengan Sufi Bayazid saat mendekati ajalnya, Steven R Covey sedikitnya telah memberikan pelajaran dini yang bermanfaat bagi kita semua. Umumnya terhadap proses reformasi Indonesia yang bingung, dalam bukunya Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif yang laris di pasar.

Covey memberikan inspirasi perubahan paradigma. Tawarannya, perubahan itu dimulai dari dalam ke luar, bukan dari luar ke dalam. Dalam bahasa Covey, setiap orang perlu mengubah dirinya sendiri melalui kebiasaan hidup yang efektif, sebelum mengubah yang lainnya, orang dekat, masyarakat, bahkan dunia. Dengan konsep memperbesar lingkaran pengaruh, maka diyakini semua bisa berubah.

Ada pengalaman menarik, yang sedikit bisa mewakili kegamangan kita dalam reformasi. Saat ramai demonstrasi seputar reformasi tahun 1998, para tokoh mahasiswa kelompok Cipayung Surabaya sering mengadakan pertemuan untuk larut membahas reformasi.

Ternyata, setiap kali pertemuan dipastikan jam karet alias molor minimal tiga jam. Ada seorang teman nyeletuk, bagaimana kita mau reformasi bangsa jika kita sendiri tidak pernah mereformasi diri. Buktinya kita sering pakai jam karet dan tidak konsisten. Reformasi yang bejalan sekarang dinilai berbagai kalangan telah kebablasan. Lagipula, banyak pihak yang telah memanfaatkan wacana reformasi sekadar sebagai gincu pemanis mulut.

Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhormat bersembunyi di ketiak reformasi. Banyak aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), menilep dana-dana liar dari luar negeri, tanpa program pengentasan kemiskinan yang konkret. Banyak di antara kita berteriak-teriak menegakkan hak asasi manusia, namun di rumah menindas pembantu rumah tangga.

Jangan sampai reformasi yang telah kita canangkan menjadi reformasi "cap gombal" atawa janji-janji belaka. Reformasi diri layak dilakukan daripada bicara reformasi bangsa tanpa jelas juntrungannya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 16 Januari 2002

Jujur

Oleh Kanisius Karyadi

Bani Israil mengkaryakan tiga orang hakim. Tujuannya, untuk menjamin penegakan hukum dan keadilan di masyarakat. Jika ada ketidakadilan akan diputuskan hakim pertama. Jika ada pengadu yang tidak menerima keputusan itu, dapat mengadu ke hakim kedua, kemudian hakim ketiga. Sampai orang yang mengadu menjadi terlindungi dan tenteram.

Pagi yang cerah itu ada malaikat yang menyaru sebagai manusia. Tujuannya, menguji para hakim Bani Israil. Ia menunggang kuda, kemudian istirahat di dekat sumur. Saat itu menghampiri penggembala sedang menggembala sapi dan anak sapi (pedet), untuk sekedar istirahat dan minum air dari sumur.

Atas kuasa Allah, malaikat penyaru itu membisiki supaya pedet ikut dengannya. Walhasil, pedet lengket kayak perangko kepada malaikat, bak kena ajian Semar mesem atau jaran goyang. Penggembala itu gelagapan, karena segala panggilan dan hentakan kepada pedet miliknya tidak digubris sama sekali.

Penggembala itu mendatangi malaikat penyaru. Dengan tujuan untuk meminta pedetnya kembali. Anahnya, malaikat penyaru itu mengatakan bahwa pedet itu miliknya yang telah dilahirkan kudanya. Penggembala dengan sengit membantah, bahwa pedet itu miliknya dan dilahirkan sapinya.

Kemudian, mereka berdua mendatangi hakim pertama untuk minta kepastian hukum dan keadilan. Atas kekuatan daya linuwihnya, malaikat penyaru itu telah menemui terlebih dahulu hakim pertama, untuk menyuap dengan lantakan emas supaya hakim pertama mengatakan pedet itu benar miliknya.

Ketika diputuskan benar bahwa pedet itu milik malaikat penyaru, penggembala itu tidak puas. Segera ia bergegas melapor ke hakim kedua. Hasilnya sama, pedet itu anak kuda milik malaikat penyaru, lantaran hakim kedua juga disuap malaikat. Akhirnya penggembala melapor pada hakim ketiga.

Pada saat malaikat akan menyuapnya, hakim ketiga mengatakan, ia tidak dapat mengadili masalah ini, lantaran ia sedang ”menstruasi”. Malaikat penyaru itu tampak punyeng tujuh keliling, bagaimana mungkin seorang laki-laki bisa menstruasi?

Hakim ketiga berkata kepada malaikat penyaru, ”Engkau mengatakan aneh padaku, namun engkau tidak merasa aneh dengan perkataanmu, bagaimana mungkin kuda bisa melahirkan pedet (anak sapi).” Malaikat penyaru itu kelincutan, dan memberikan kesimpulan hakim ketiga berhak atas surga, hakim pertama dan kedua masuk liang neraka.

Bangsa ini pailit bukan kekurangan sumber daya alam, tetapi kasus korupsi yang melanda. Kasus-kasus penyalahgunaan dana, wewenang, suap, dan lain sebagainya, masih cukup mendominasi kehancuran bangsa ini. Ketamakan manusia seperti model hakim pertama dan kedua masih sering kita jumpai di lapangan.

Kasus yang menonjol adalah kasus para pembesar, pengusaha, seperti Edi Tansilgate, Tommygate, dan lain sebagainya. Namun tak dapat dipungkiri sifat ketamakan dan ketidakjujuran banyak juga melekat di antara kita. Kalau kita sama saja dengan mereka, mau dibawa ke mana lagi bangsa kita. Lalu, kapan kita memulai berpikir dan bertindak jujur, sehingga kita lepas dari kebobrokan mental dan materiil ini?

Kompas Edisi Jawa Timur, 11 Januari 2002

Raperda Sempadan Sungai Jangan Menindas Rakyat Kecil

Oleh Kanisius Karyadi

Hari Senin ini, sedikitnya seribu warga stren kali se-Surabaya akan mendatangi DPRD Provinsi Jatim. Rencananya, mereka yang berasal dari seluruh warga stren kali dari 16 kelurahan dan enam kecamatan ini akan mencari keadilan atas nasib mereka (Kompas, 13/10/2003). Hal ini ada kaitannya dengan sidang paripurna DPRD Jatim yang memproses Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Sempadan Sungai.

Ada kekhawatiran yang besar di antara mereka pasca disahkannya Raperda itu menjadi Perda Sempadan Sungai, yaitu nasib pribadi dan nasib ”kepemilikan” rumah-aset mereka menjadi terkatung-katung di area sempadan sungai. Dipastikan dengan hadirnya perda ini akan ada gejolak dan masalah baru di Jawa Timur. Tentu kita masih ingat penggusuran perumahan ”liar” di daerah Panjang Jiwo, Surabaya dan sekitarnya beberapa tahun lalu.

Peristiwa itu telah banyak menimbulkan masalah kemanusiaan di Jawa Timur. Setidaknya pengalaman itu bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. DPRD Jatim dan Pemerintah Provinsi Jatim perlu berpikir ulang tentang solusi atas penggusuran itu karena terbukti pihak eksekutif sekedar menggusur, namun tidak mempunyai rencana penataan warga stren kali yang digusur itu.

Memang ada dilema berkepanjangan antara eksistensi Perda Sempadan Sungai dan eksistensi warga stren kali. Di satu sisi kehadiran Perda Sempadan Sungai sangat dibutuhkan untuk melindungi ekosistem lingkungan hidup dan menjaga fungsi sungai di Jawa Timur dengan baik dan benar. Namun di sisi lain, eksistensi warga stren kali yang telah lama menghuni lahan tersebut untuk keperluan sehari-hari dengan berbagai kepentingannya.

Dalam kesempatan ini, perlu sekali kita tampilkan beberapa efek negatif dari Raperda Sempadan Sungai itu, jika hal itu disahkan tanpa perubahan yang berarti, ada enam ”bahaya kemanusiaan” yang bakal terjadi di area sempadan sungai itu. Pertama, konflik vertikal antara warga stren kali dengan aparat pemerintahan di Jatim.

Pada umumnya setiap upaya penggusuran atas warga akan menimbulkan riak-riak konflik yang mendalam antara pemerintah dengan pihak warga stren kali. Di satu sisi warga stren kali akan berupaya mempertahankan eksistensi rumahnya, di sisi yang lain aparat pemerintah dengan ”tega” akan melibas rumah-rumah yang dianggap illegal namun berfasilitas legal, seperti sarana PLN, telepon dan lain sebagainya.

Kedua, kerugian material atas hasil kerja mandiri pemilik rumah warga stren kali. Dengan pemberlakuan Raperda Sempadan Sungai tersebut identik dengan legalisasi atau dasar hukum yang kuat bagi Pemprov Jawa Timur untuk melakukan penggusuran rumah yang ada di areal sempadan sungai. Ini berarti mereka akan kehilangan rumah tinggal. Rumah yang berdiri atas dana mandiri warga stren kali itu dipastikan hancur dan kemungkinan besar tanpa imbalan yang berarti dari pemerintah.

Ketiga, hilangnya mata pencaharian atau pekerjaan warga stren kali. Tidak dapat dipungkiri ada banyak warga stren kali itu yang mengais rezeki di sempadan sungai. Di daerah itu ada banyak warga stren kali yang menjadi pedagang kecil, seperti berdagang toko palen, jual helm, jual peralatan pancing, dan lain sebagainya. Mereka menggantungkan harapan hidup dari keringatnya sendiri di tengah pemerintah yang tidak maksimal mengusahakan lapangan pekerjaan bagi warganya.

Keempat, beban kesedihan dan traumatis warga stren kali. Tak bisa dimungkiri bahwa dengan hilangnya mata pencaharian dan rumah tinggal mereka akan mengalami beban kesedihan dan rasa traumatis yang mendalam. Betapa ’’kepemilikan dan kekayaan” yang dikumpulkan bertahun-tahun hilang tanpa bekas. Hilangnya mata pencaharian warga stren kali juga menyisakan ”dendam sejarah” tak terbalaskan di antara mereka terhadap aparat pemerintahan di Jawa Timur.

Kelima, pudarnya kepercayaan warga atas legitimasi pihak eksekutif dan legislatif. Selama reformasi ini sebenarnya banyak warga yang berharap akan banyak hal terutama kebijakan politik atau kebijakan publik yang berpihak pada warga yang berekonomi miskin. Namun pada kenyataannya, seringkali pihak-pihak eksekutif atau legislatif dengan sengaja melupakan itu. Hal ini semakin memudarkan kepercayaan mereka kepada pemerintah dan DPRD Jatim.

Keenam, adanya riak-riak kejahatan. Tanpa maksud menuduh atau menggeneralisasi warga stren kali yang tergusur. Dipastikan ada riak-riak tajam masalah kejahatan di antara mereka akibat penggusuran yang sewenang-wenang itu. Sangat mungkin beberapa orang yang kehilangan rumah atau mata pencaharian nekat melakukan aksi kejahatan yang mengganggu warga lainnya akibat desakan ekonomi dan pekerjaan yang sulit.

Dengan memperhatikan potensi-potensi negatif di atas yang merupakan ancaman kemanusiaan di Jawa Timur, setidaknya kita semua perlu berhati-hati dalam pelaksanaan di lapangan. Setidaknya gambaran di atas perlu direnungkan sebelum sebuah peraturan daerah benar-benar dijalankan.

Kita tidak mengharapkan sebuah peraturan daerah hanya digunakan untuk menindas rakyat kecil tanpa solusi yang jelas, sementara ada banyak konglomerat dengan segala penyimpangannya tetap bisa menikamati ”fasilitas” dan menghirup udara segar di Jawa Timur.

Kompas, Edisi Jawa Timur, 14 Oktober 2003