Rabu, 13 Agustus 2008

Peran Pers Mengantisipasi Potensi Konflik Pilkadal di Jatim

Dua tulisan meluncur seputar konflik pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkadal) di harian Kompas Jatim dari dua intelektual muda, masing-masing Ach Rubaidi (16/2/2005) dengan judul EWS dan Antisipasi Konflik Pilkada dan Mohammad Ilham B (17/2/2005) dengan judul Mengurai Potensi Konflik Dalam Pilkada Langsung. Untuk kedua tulisan tersebut, penulis menyatakan sebagai bagian gerakan dan peran yang sedikitnya bisa dilakukan kaum intelektual untuk mengurangi potensi konflik pilkadal Jatim.

Tanpa mengurangi keterlibatan kaum intelektual dalam mencerahkan masyarakat utamanya dalam mencegah konflik pilkadal. Sebenarnya, secara langsung atau tidak langsung dengan dimunculkannya dua tulisan intelektual muda tersebut oleh media ini, menunjukkan bahwa “pers (koran)” adalah bagian dan alat atau perangkat early warning system (EWS) yang cukup efektif untuk mencegah konflik pilkadal.

Tulisan ini dimaksudkan sebagai pelengkap dan pengurai betapa pentingnya “pers” dalam mengantisipasi potensi konflik pilkadal Jatim. Dalam fenomena Kompas Edisi Jatim ini pers (koran) sudah otomatis sudah memainkan peran dan menyebarluaskan peringatan dini akan potensi konflik pilkadal yang dikhawatirkan terjadi. Seperti tulisan Ach Rubaidi, konsep early warning system (EWS) atau sistem peringatan dini sangat tepat dipergunakan untuk mengantisipasi (bukan mengatasi) kemungkinan terjadinya konflik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung (Kompas, 16/7/2005).

Coba bandingkan dengan tulisan saya di harian ini dengan judul Ada Lima Potensi Konflik dalam Pilgub Jatim (Kompas, 14/7/2003), tulisan ini dimunculkan oleh Harian Kompas Jatim sebagai bagian pers sebagai early warning system kepada masyarakat tentang bahaya dan potensi konflik seputar pemilihan Gubernur Jawa Timur yang marak pada masa itu. Dengan hadirnya tulisan dan teriakan kaum intelektual lain, ternyata pemilihan Gubernur Jawa Timur di Gedung DPRD Propinsi Jatim berlangsung aman tanpa konflik yang berarti.

Dalam even besar seperti pilkadal di 16 daerah pada pertengahan tahun 2005 di Jatim ini. Media massa mempunyai posisi penting dalam menyebarluaskan informasi dan komunikasi. Dalam menyampaikan informasi dan komunikasi itulah pers bisa terjebak pada ranah yang negatif dan positif. Untuk mengalisa peran pers dalam kaitannya dengan potensi konflik pilkadal ini, sedikitnya ada tiga hal pokok yang aktual dan biasa digulirkan.

Pertama, peran pers memperkeruh suasana. Dalam peran ini pers bisa memainkan peran negatif dengan mengeluarkan pemberitaan tendensius. Dengan demikian pers menjadi bagian dari konflik. Pers model ini juga mempunyai kecenderungan untuk bisa memancing orang untuk marah dan untuk berkelahi. Peran pers ini sama seperti model jurnalitik perang yang mengedapankan provokasi dengan isu-isu tertentu dengan tujuan membuat orang melakukan gerakan atau tindakan yang agresif menyerang.

Dalam kaitannya dengan pilkadal ini, model media ini sangat mungkin muncul, sebagai wahana menciptakan ruang-ruang konflik baru dengan menjadikan pilkadal hanya sebagai momentum untuk meniupkan isu-isu yang negatif dan lama seperti SARA dengan tujuan merusak keharmonisan dalam masyarakat Jawa Timur.

Kedua, pers berperan menjadi corong kandidat kepala daerah tertentu. Dengan pentingnya pers sebagai penyampai informasi dan komunikasi, maka tak ayal media massa pada akhirnya juga bisa digunakan sebagai alat kampanye bagi kandidat kepala daerah. Maka pers juga mempunyai kecenderungan menjadi bagian dari konflik.

Dalam kaitannya dengan 16 pilkadal di beberapa daerah Jatim, model media massa ini diperkirakan juga bisa muncul. Alasan utama memunculkan media dengan isi tendensius adalah semata-mata sebagai perang psikologi (psywar) antar kandidat kepala daerah. Tujuannya untuk menjelekkan lawan tanding pada pemilih. Selain itu untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kandidat tertentu di hadapan publik.

Ketiga, pers berperan sebagai juru damai. Peran pers juga bisa sebagai tempat persemaian perdamaian bagi semua orang. Artinya, pers model ini benar-benar memiliki visi dan misi tentang perdamaian menyeluruh dalam masyarakat, tanpa tendensi yang menyudutkan pihak-pihak tertentu yang berpotensi berhadap-hadapan dalam konflik. Baik berita atau tulisan mengajak orang untuk berpikir jernih dan bijaksana.

Dari ketiga uraian tersebut di atas, pers (koran) bisa diibaratkan seperti mata uang dan sebilah pisau. Ibarat mata uang, ia memiliki dua sisi (ganda) yang bisa ditampilkan, pers bisa tampil menjadi pemicu pertengkaran dan pers bisa tampil menjadi pembawa damai. Ibarat sebilah pisau, ia bisa digunakan alat bantu potong khususnya di dapur dan ia bisa menjadi senjata pembunuh yang sadis. Tinggal bagaimana memaknai peran pers itu sendiri dalam pilkadal ini.

Dalam kaitannya dengan mengantisipasi konflik pilkadal di Jatim. Sejatinya pers perlu diarahkan pada jurnalistik perdamaian. Artinya media massa (koran) tampil dengan kecerdasan tanpa tendensius terhadap isu-isu kotor yang menggelisahkan masyarakat. Sehingga ia menjadi media refleksi, media pencerah, media pengubah ke arah yang lebih baik, tidak ke arah destruktif. Tanpa terjebak pada peran pers yang cenderung provokatif dan terlibat dalam dukung-mendukung calon kepala daerah tertentu.

Dengan demikian, selain pers yang mendamaikan, yang terlebih penting pers mendorong penyampaian visi-misi semua kandidat kepala daerah kepada masyarakat secara positif. Dengan demikian pers menjadi mediasi yang baik antar pemilih dan yang dipilih dengan proporsi yang berimbang.

Jangan sampai, dalam momentum pilkadal ini pers menjadi pers-kadal yang sekedar menjadi kadal atawa pembohong publik. Ibarat oncor, pers harus mampu menerangi jalan yang liku dan gelap, agar dapat dilewati dengan selamat tanpa konflik fisik sedikitpun dari semua elemen masyarakat termasuk kandidat kepala daerah dan pendukungnya.

Untuk mewujudkan pers pembawa damai memang diperlukan kebijakan dan garis haluan bersama dari insan pers sendiri. Di samping itu diperlukan fungsi kontrol dari semua elemen dalam mengontrol pers agar tidak terjebak dalam pers konflik. Memang diperlukan kebesaran semua pihak, agar memanfaatkan pers secara positif. Sehingga lingkaran pengaruh pers pembawa damai semakin meluas dan mengakibatkan masyarakat manjadi tenang tidak terganggu berita dan tulisan provokatif yang cenderung merusak dalam momentum pilkadal di 16 daerah di Jawa Timur. Semoga.

K A N I S I U S K A R Y A D I

Pemerhati Perubahan Sosial-Politik Tinggal di Sidoarjo. Mantan Ketua Presidium D P C Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (P M K R I) Surabaya-Sanctus Lucas 1998-1999

Per(tobat)an Pemerintah Menyelenggarakan Pelayanan Publik

Oleh K A N I S I U S K A R Y A D I

Kalau tidak ada aral melintang 25 Juli–14 Agustus 2006, rekrutmen anggota Komisi Pelayanan Publik (KPP) Jawa Timur (Jatim) digelar.

Pembentukan ini seperti diamanatkan Peraturan Daerah (Perda) Propinsi Jatim No 11 Tahun 2005, Tentang Pelayanan Publik yang ditetapkan 6 Desember 2005. Pasal 29 menyebutkan, Perda ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan dan berlaku efektif 9 (sembilan) bulan sejak Peraturan daerah ini diundangkan.

Apakah ini sinyal bahwa lonceng perbaikan pelayanan publik di Jatim dimulai? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita perlu mengetahui sejauh mana pelayanan publik di Jawa Timur.

Harus diakui secara jujur bahwa selama ini pelayanan publik di berbagai daerah di Jatim identik dengan image dan praktik yang buruk. Misalnya, alur birokrasi berbelit-elit, pungutan liar (pungli) tinggi, manipulasi, kerja santai, tidak produktif, tidak disiplin, semau sendiri dan lain-lain.

Harus diakui pula, selama ini Pemprop Jatim puyeng menghadapi negatifnya pelayanan publik di Jatim. Dari data Sekretariat Daerah Propinsi Jatim, tercatat setiap bulannya menerima keluhan (komplain) tentang kualitas pelayanan publik sebanyak 825 kasus. Jumlah kasus ini terdiri dari keluhan mengenai pertanahan 31persen, pendidikan 26 persen, kesehatan 18 persen, administrasi dasar 14 persen, dan lain-lain 11 persen.

Pemerintah juga merasa kurang enak, mengingat publik selama ini terkesan diperas demi meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Publik melalui pajak dan retribusi telah menyumbangkan kepada APBD Jatim sekitar 80-90 persen. Sementara timbal balik pemerintah ke publik masih mengecewakan.

Merujuk Perda Propinsi Jatim No 11 Tahun 2005 Bab II Pasal 3, tujuan pelayanan publik adalah, pertama, mewujudkan kepastian tentang hak, tanggung jawab, kewajiban, dan kewenangan seluruh pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pelayanan publik di Propinsi Jawa Timur.

Kedua, mewujudkan sistem penyelenggaraan pelayanan publik yang baik sesuai dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik di Propinsi Jawa Timur. Ketiga, terpenuhinya hak-hak masyarakat dalam memperoleh pelayanan publik secara maksimal. Keempat, mewujudkan partisipasi dan ketaatan masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik sesuai mekanisme yang berlaku.

Dilihat dari munculnya tujuan pelayanan publik di atas dengan perangkatnya, termasuk Komisi Pelayanan Publik. Ada indikasi positif dari pihak pemerintah, memberikan sinyal lampu hijau bagi perbaikan pelayanan publik di Jatim.

Pemerintah yang selama ini cenderung apatis terhadap pelayanan publik di wilayahnya. Seolah muncul kesadaran untuk merubah dan membenahi diri. Dari beragam cemohan dan tudingan negatif yang dilontarkan masyarakat. Pemerintah mulai menggunakan panca inderanya untuk merespon gejolak masyarakat.

Pada babak ini, setidaknya Pemprop Jatim perlu melakukan pertobatan total dan sejati dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Pemprop Jatim perlu secara jujur mengakui kerja dan kinerja dalam memberikan pelayanan publik kurang maksimal dan kurang memuaskan bagi masyarakat di Jatim.

Tidak berhenti di situ, yang lebih penting adalah pasca pertobatan penyelenggaraan pelayanan publik. Buah-buah pertobatan pelayanan publik ini benar-benar menyadarkan pihak penyelenggara pelayanan publik. Baik yang dilakukan pihak pemerintah atau melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Untuk melakukan koreksi menyeluruh atas kesalahan, kelemahan dan kekurangan menuju kerja dan kinerja yang lebih maju, efektif, dan baik.

Apalah arti dibuatkan Perda pelayanan Publik, jika perjalanan ke depan tidak membawa perbaikan bagi semua kalangan. Maka diharapkan ada timbal balik yang positif dan saling menguntungkan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan pelayanan publik, baik pemerintah, badan usaha bisnis dan masyarakat secara umum.

Dengan tumbuhnya pertobatan sejati itu, diharapkan peran pemerintah menyelenggarakan pelayanan publik benar-benar nyata dihayati dan diamalkan. Dari banyak pungli menjadi nirpungli, dari banyak manipulasi menjadi tanpa-manipulasi, dari produktifitas rendah menjadi produktifitas tinggi, dari acuh tak tak acuh kepada publik menjadi simpati dan empati kepada publik, dari serba dilayani publik menjadi serba melayani publik dan seterusnya.

Sehingga nantinya publik benar menjadi percaya kepada pemerintahnya sendiri. Tentu, partisipasi warga sangat diharapkan untuk mewujudkan gagasan itu.

K A N I S I U S K A R Y A D I

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

Opini Daerah Versus Pembangunan Daerah

Oleh K A N I S I U S K A R Y A D I

Kolom surat pembaca Harian Kompas edisi Jatim, Sabtu, 24 Juni 2006 menampilkan tulisan tanggapan Djunaedi Mahendra SH MSI, Bupati Madiun atas tulisan Ainur Rofiq Sophiaan, 15 Juni 2006 di kolom forum. Mengenai pakta integritas dan tranparansi sebagai salah satu unsur yang sangat penting untuk menciptakan clean government. Model komunikasi ala opini daerah dalam rangka menciptakan pembangunan daerah ini menarik didiskusikan lebih lanjut.

UU RI No 34 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan daerah mempunyai wilayah otonomi. Di era otonomi daerah ada perkembangan menarik yaitu munculnya koran daerah. Di bagian halaman koran daerah didapati kolom artikel yang ditulis sebagian besar oleh orang luar redaksi atau masyarakat luas.

Yang menarik isi artikel/tema mensyaratkan berbagai tema permasalahan / persoalan / fenomena daerah setempat. Kita ambil contoh, Koran Jawa Pos menyediakan kolom ”metropolis” sebagai ruang publik bagi orang luar redaksi untuk menulis berbagai persoalan Kota Surabaya. Koran Kompas edisi Jatim menyediakan kolom ”forum” sebagai wahana publik untuk bicara dan tulis yang menyangkut persoalan Jawa Timur.

Di era otonomi daerah, tampaknya tidak hanya pergeseran pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Tampaknya koran daerah turut pula mengikuti irama pergeseran itu. Kalau dulu sebelum otonomi daerah, kolom opini/artikel selalu didominasi isu yang berskala nasional. Tampaknya dengan pemberlakuan otonomi daerah, redaksi koran menyediakan ruang bagi penulis luar untuk menulis dengan isi/tema tulisan/artikel opini dengan ritme isu-isu lokal daerah tertentu.

Gejala ini menandakan kebebasan pers juga mulai dirasakan di daerah. Kalau semasa orde baru hal itu mungkin mustahil, tetapi di era otonomi daerah seperti sekarang. Masyarakat bisa bebas menulis gagasan/ide tanpa dikungkung oleh pemerintah. Tentu tidak semaunya-asal tulis, tetapi juga perlu memperhatikan etika dan kesantunan publik.

Pada hakikatnya menulis artikel/opini di daerah seperti dikatakan Tony D Widiastono (2004) menyatakan sebagai proses olah pikir (intellectual exercise). Tulisan itu merupakan hasil pemikiran atas persoalan dalam masyarakat yang dikerangka secara logis. Tulisan didasarkan pada bidang ilmu/pengalaman yang didalami oleh penulis secara mendalam dan mendetail. Bahkan sangat mungkin, seperti ditulis I Basis Susilo (1978) menulis artikel di media massa sekaligus bisa dijadikan profesi oleh sebagian orang di tanah air untuk hidup.

Mohammad Bakir (2005) menyatakan, menulis artikel opini di media massa lokal sedikitnya mempunyai tiga tujuan. Pertama, memetakan persoalan yang terjadi di daerah sehingga menjadi jelas dan terbuka. Kedua, memberikan masukan jalan keluar/solusi atas persoalan masyarakat yang terjadi di daerah sehingga bisa selesai dan tuntas. Ketiga, memprediksi persoalan dalam masyarakat bakal berlanjut atau berhenti.

Bakir menyatakan dari ketiga tujuan yang dikemukakan itu, ia lebih memprioritaskan tujuan yang bersifat solutif terhadap persoalan, mengingat masyarakat kita sudah kenyang beragam persoalan, dan butuh solusi pemecahannya.

Otonomi daerah melahirkan opini daerah tersebut membawa beberapa turunan positif untuk perkembangan/pembangunan daerah. Pertama, semakin banyak orang tertantang secara intelektual baik secara pribadi atau organisasi untuk menulis tema/isu dalam kandungan lokal.

Di era sebelum itu, kita banyak mendapati penulis mapan yang sudah mempunyai reputasi profesi di berbagai bidang yang menjadi penulis. Sangat jarang dijumpai masyarakat biasa menulis artikel di media massa. Kini, kita bisa mendapati penyebaran itu. Bahkan, penulis pernah menjumpai tulisan yang ditulis oleh tukang becak yang tampil di media massa ”Kompas” Edisi Jawa Timur.

Kedua, mendorong tumbuhnya kaderisasi penulis muda secara alami. Tidak dapat disangkal, koran daerah khususnya di Surabaya melahirkan penulis muda berbakat yang sering kita jumpai tampil membahas persoalan-persolan lokal di Surabaya atau Jawa Timur. Tentu gejala ini sungguh menggembirakan, di tengah kelesuan dunia sastra, tampaknya dunia tulis-menulis artikel/opini daerah banyak dari kalangan muda yang berminat menekuninya.

Di lapangan kita menjumpai sejumlah penulis muda yang banyak menghiasi media massa Surabaya/Jawa Timur, seperti I Dewa Gde Satrya Widiaduta, Dewa Made Ramawidia Swara, Anton Novenanto, Anggun Dewara, Binsar Gultom, Wahyu Kuncoro, Machsus Fawzi, Muh Cholid AS, Choirul Mahfud dan lain-lain.

Ketiga, pemerintah/lembaga bisnis/masyarakat mempunyai kekuatan penyeimbang kebijakan. Tidak dapat disangkal tulisan-tulisan yang ditulis oleh penulis lokal mempunyai potensi menjadi penyeimbang/referensi intelektual dalam pengambilan kebijakan daerah tertentu.

Tulisan itu mempunyai kekuatan publikasi luar biasa, sehingga bisa mempengaruhi opini publik di pemerintahan/lembaga bisnis/masyarakat lain. Bisa atau tidak tulisan di media massa lokal itu turut pula menjadi bagian penentu kebijakan daerah baik yang dileluarkan kalangan pemerintahan, dunia bisnis, atau masyarakat secara umum.

Seperti kita ketahui bersama, kadang-kadang tulisan dimuati banyak kritik tajam-pedas. Seperti kita tahu bersama nuansa kritik di media massa kadang-kadang cenderung kontraproduktif dan tidak membangun. Sepertinya, kalau tulisan hanya mengkritik hanya menimbulkan apatisme bagi yang dikritik kepada penulis.

Memang seperti yang dilontarkan Mohammad Bakir, harapannya tulisan-tulisan di media massa daerah adalah juga memberikan solusi, tidak sekedar asal kritik. Sehingga isi tulisan benar-benar bermanfaat bagi instansi-instansi tertentu. Sehingga kehadiran penulis dan isi tulisannya dinantikan oleh pembaca sehingga masyarakat menjadi lebih maju dan cerdas.

Yang jauh lebih penting dari ketiga gejala turunan tersebut adalah ide/gagasan membawa pencerahan masyarakat. Sehingga ada kesadaran kolektif untuk melakukan koreksi/kontrol/tindakan atas perilaku/kebijakan dari semua elemen menjadi lebih baik.

Harus disadari di lapangan, masih banyak ketimpangan/persoalan dalam masyarakat yang walaupun sudah berkali-kali ditulis atau dicarikan jalan keluarnya, jarang muncul tindakan nyata/konkret untuk memperbaiki keadaan.

Harapan ke depan, otonomi daerah yang melahirkan opini daerah itu semakin menerjemahkan atau mendekatkan pada kenyataan pembangunan kesejahteraan daerah bersama baik secara materi maupun non materi pada masyarakat di daerah tersebut. Sehingga masyarakat daerah Surabaya atau daerah lain #Jatim# benar-benar memperoleh rahmat di era otonomi daerah, tidak malah sebaliknya mendapatkan mudarat belaka.

K A N I S I U S K A R Y A D I, Kolumnis muda pemerhati ekonomi-politik

Memaknai Pilkada Langsung dengan Bijaksana, Mungkinkah?

Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah telah melegalkan pelaksanaan pilihan kepala daerah secara langsung. Dalam waktu dekat sedikitnya 16 daerah di Jawa Timur, seperti Kota Surabaya, Kota Blitar, Kabupaten Gresik dan lainnya dipastikan akan memiliki “kepala daerah” baru hasil pilihan masyarakat. Lantas, apa makna hakiki dari pemilihan langsung kepala daerah ini di Jawa Timur?

Selama ini praksis hidup dalam birokrasi kenegaraan dan pemerintahan di Jawa Timur dimaknai sebatas mengejar “jabatan”. Jabatan masih dianggap senjata ampuh menaikkan status sosial dalam masyarakat. Maka tak ayal, ratusan bahkan ribuan orang gencar merebut jabatan, termasuk jabatan kepala daerah ini.

Berangkat dari paradigma (cara pandang) itu, maka tidak dapat disangkal bahwa sangat jarang kita jumpai kepala daerah yang benar-benar mengerti, memahami, memaknai fungsi kepemimpinan yang benar. Perilaku bak pejabat telah banyak menutup mata, hati, telinga mereka dari data dan fakta.

Dalam momentum pilkada langsung ini, hal yang secara khusus perlu dipahami secara mendalam bukan sekedar perubahan sistem pemilihan belaka, dari kepala daerah dipilih DPRD kabupaten/Kota atau propinsi menjadi kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat pemilih. Namun lebih dalam yakni ada perubahan pemaknaan pemilihan itu sendiri. Dari kepala daerah yang sekedar diisi pejabat menjadi perubahan dasar pada makna “kepemimpinan” yang lebih luhur

Di bawah ini ada beberapa pemaknaan dari Pilkada langsung, yang bisa digunakan sebagai pembanding landasan pikir dan praksis calon kepala daerah di berbagai daerah di Jawa Timur. Terutama dalam meningkatkan kinerja dan efektifitasnya di kemudian hari.

Pertama, pilkada langsung sejatinya melahirkan pemimpin. Dalam banyak kasus sebelumnya, pemilihan kepala daerah yang dipilih DPRD Kota/Kabupaten dan propinsi hanya melahirkan pejabat. Dalam kerangka pejabat itulah kepala daerah sebatas berfungsi manajer. Artinya, ia hanya sebatas melaksanakan tugas dan target dalam bayang-bayang pemerintah pusat yang sentralistik.

Dalam kapasitasnya sebagai manajer, ia tidak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah pusat. Ia jarang sekali memanfaatkan inovasi dalam mengembangkan daerah. Dalam makna baru ini sebagaimana diutarakan Peter F Drucker, pemimpin ibaratnya orang yang mengarahkan kendali ke mana biduk dijalankan. dalam kalimat Steven R Covey, pemimpin mengerti benar visi yang ditujunya.

Kedua, pilkada langsung sebenarnya mendorong perjuangan idealisme. Dalam pemaknaan lama, sudah diketahui publik bahwa pada pemilihan kepala daerah selalu diembel-embeli mengejar kesejahteraan pribadi. Tak jarang, para pejabat kepala daerah selama ini hanya sekedar bekerja pragmatis demi kesejahteraan pribadi dan keluarga, misal uang gaji, tunjangan dan fasilitas.

Mestinya dalam makna baru, pilkada langsung adalah momentum bersama untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum (Kaplan dan Laswell). Idealisme mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat secara konkret adalah inti makna perjuangan idealisme ini. Sebab jika tanpa ini, daerah-daerah akan terperosok dalam kesenjangan kesejahteraan, antara pejabat kepala daerah dengan kebanyakan rakyat. Sebaiknya ia benar-benar mengurangi kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketiga, inspirasi program kerja bersifat dua arah dari pemimpin (pemerintah) dan masyarakat. Program itu mendialogkan seperti(a)visi-misi pemimpin (b)kebutuhan kebanyakan masyarakat (c)partisipasi masyarakat dan lain-lain. Pemaknaan pada tahap ini bersifat mendialogkan hal-hal ingin dicapai kepala daerah dan didialogkan dengan kebutuhan mayoritas dan minoritas masyarakat. Dengan demikian, dalam praktik organisasi sosial, didalamnya mempunyai apa yang disebut perencanaan strategis dalam masa depan.

Selama ini program pemerintah sebagaimana dilaksanakan kepala daerah bersifat top down. Sehingga program itu kurang menyentuh pokok permasalahan masyarakat. Dalam pemaknaan ini, sebaiknya kepala daerah baru benar-benar mengetahui apa yang ingin ditujunya dan kebutuhan-permasalahan masyarakat.

Ketiga makna di atas adalah sesuatu yang penting dalam proses kepemimpinan kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat. Namun demikian, pilkada langsung ini bukan berarti tanpa kendala. Kendala atau jebakan langsung dari proses ini di bawah ini.

Kendala itu tidak terakomodasinya seluruh masyarakat pemilih. Ada jebakan, kepala daerah terpilih tidak mengindahkan masyarakat pemilih yang tidak memilihnya. Atau sebaliknya, masyarakat pemilih yang merasa kalah jagonya, lantas mengabaikan kepemimpinan kepala daerah yang bersangkutan. Pada kendala ini, kepala daerah terpilih sejatinya berkewajiban tetap mengakomodasi kepentingan sebagian masyarakat pemilih yang tidak memilihnya.

Yang jelas tugas berat ke depan kepala daerah hasil pilihan masyarakat memberikan teladan hidup dalam kerja keras, kesederhanaan dan kesahajaan. Peran kepala daerah untuk membawa pada kondisi kesejahteraan dan kecerdasan umum hendaknya menjadi prioritas, tidak terjebak pada paradigma lama kepala daerah yang jauh dari masyarakat, hidup mewah berlebihan, memanfaatkan kesempatan dengan suap, korupsi, kolusi dan nepotisme, mungkinkah?

KANISIUS KARYADI

Direktur Lembaga Studi Pengembangan Masyarakat (LSPM)

Ketika Ancaman Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup di Depan Mata

Oleh : K A N I S I U S K A R Y A D I

Sudah tiga orang yang meninggal dalam suasana banjir lumpur. Meski demikian pihak rumah sakit membantah meninggalnya ketiga orang tersebut akibat menghirup gas dari semburan lumpur (Kompas edisi Jatim, 24/6/2006). Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan akibat semburan gas dan lumpur panas membuat ratusan warga desa dirawat di rumah sakit dengan gejala perut mual, kepala pusing, dada sakit dan tenggorokan kering.

Lumpur panas telah merusak tanaman padi dan tebu. Sedikitnya 170 hektar sawah dan 12 kebun tebu terancam tergenangi lumpur panas. Pohon-pohon yang diterjang lumpur turut menguning dan mengering. Sedikitnya 5000 warga di empat desa di Kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo mengungsi karena takut lumpur panas dan gas menggangu kesehatan, keamanan dan kenyamanan mereka.

Tidak berhenti di situ, bau gas juga menimbulkan polusi udara kecamatan Porong –Sidoarjo yang meresahkan semua warga. Sebutlah Eko Nurhadi (35 Tahun) seorang pekerja di bagian maintenance di PT. Tjahaja Agung Tunggal Desa Siring, Kecamatan Porong yang berjarak satu kilometer dari lokasi muncratnya lumpur panas. Setiap hari ia bekerja sembari menutup hidung dengan masker. Sebab bau gas menyebarkan bau tidak sedap yang mengganggu pernapasannya.

Penulis teringat pada tulisan/artikel di Harian Kompas Edisi Jawa Timur, 29 Juli, berjudul Sidoarjo Butuh Pembangunan Ekologi, tulisan itu mengambarkan potensi ancaman dan solusi lingkungan hidup dan manusia berkaitan dengan kegiatan pembangunan ekonomi yang overdosis yang bergulir di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur seolah tanpa memperhatikan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya.

Kutipan pendeknya sebagai berikut, Sidoarjo sebagai penyangga Kota Surabaya agaknya mulai meniru perkembangan Kota Surabaya yang mengarah pada pembangunan yang overdosis dan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup dan manusia. Sidoarjo mempunyai potensi alam yang relatif lebih terjaga daripada Surabaya. Sidoarjo tampaknya perlu waspada terhadap perubahan sosial yang merambahnya. Bisa-bisa potensi alam Sidoarjo yang ibarat madu, perlahan namun pasti bisa rusak akibat perkembangan dan pembangunan (Kanisius Karyadi, Sidoarjo Butuh Pembangunan Ekologi, Harian Kompas Edisi Jawa Timur, 29 Juli 2004).

Kekhawatiran penulis akan kondisi manusia dan lingkungan hidup dalam tulisan tersebut. Diturunkan dalam kasus PT Lapindo Brantas dan lumpur panas, tampaknya kini benar-benar menemukan momentumnya. Betapa kegiatan ekonomi yang dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (Amdal) berakibat buruk bagi manusia dan lingkungan hidup.

Uripan (23 Tahun) pemuda Desa Siring RT 4 RW I Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tidak menyangka desanya kini menjadi desa terkenal seantero tanah air karena bencana lumpur dan gas ini. Desa yang dulu tenang kini hiruk pikuk dengan ancaman lingkungan hidup dan manusia.

Ia pada 12 Juni 2006 terpaksa minta izin tidak masuk bekerja dengan alasan membantu keluarganya mengungsi dan mengangkut perabot rumah tangga ke saudara di Kabupaten Pasuruan. Ia dan keluarganya takut akan bahaya lumpur panas dan gas.

Persoalan sekarang harus disadari bersama bahwa belum ada kesadaran secara kolektif akan pentingnya analisis dampak lingkungan hidup pada kegiatan bisnis. Di lapangan masih dijumpai jenis industri yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup dan manusia, justru banyak tidak mempunyai analisis dampak lingkungan. Namun dengan bebas dan seenaknya beroperasi mengeruk laba.

Inilah problem dasar dan besar dalam khasanah ekonomi lingkungan hidup kita, betapa kesadaran menghargai lingkungan dan manusia masih begitu rendah. Sektor industri di Indonesia, semata hanya memperhitungkan aspek ekonomisnya belaka. Sehingga jauh membuang hal-hal yang dianggap mengecilkan perhitungan ekonomis. Persoalan lingkungan dan perkembangan masyarakat masih belum dianggap sebagai isu penting dalam berusaha. Maka tidak heran, banyak kasus industri bermunculan kuat dalam modal ekonomi, namun lemah dalam konsep dan modal sosial dan ekologisnya.

Akibatnya sektor lingkungan hidup dan kemanusiaan manusia yang akan dihajar total. Atas nama pengangguran tinggi mereka berinvestasi namun lupa pada tanggung jawab sosial dan tanggung jawab ekologisnya (lingkungan hidup). Dengan seenaknya mengekploitasi sumber daya alam yang berlimpah ruah di Indoensia. Lupa akan ada risiko di setiap usaha-usaha tersebut.

Paradigma semacam ini harus diubah, setidaknya ada kesadaran bersama bahwa kegiatan bisnis itu tidak an sich bisnis. Namun juga ada semacam koridor lingkungan hidup dan kemanusiaan yang menaunginya. Paradigma ini penting, sebab jika tanpa paradigma itui dikhawatirkan, bencana lumpur tidak menjadi pelajaran baik untuk berubah, namun justru menjadi pelajaran yang baik untuk mengulang karena aturan hukum dan aturan Lingkungan di Indonesia tidak pernah secara serius dijalankan.

Pada umumnya pendekatan penyelesaian masalah ekonomi dan lingkungan dengan suap kanan-kiri, persoalan akan tuntas sementara. Ini juga adalah problem besar dalam penegakan hukum lingkungan di Indoensia. Atas nama uang, kasus-kasus rusaknya lingkungan hidup akibat kecerobohan dunia industri bisa tidak muncul. Jadi kasus kerusakan lingkungan akibat industri kelihatannya kecil, namun sejatinya seperti tumbukan gunung es semata.

Belajar dari kenyataan ini, sebenarnya ada hikmah besar yang perlu di renungkan dan diamalkan pada periode ke depan. Pertama, pemerintah daerah dan pusat perlu dan harus belajar dari kejadian ini, untuk selektif menerima, mengizinkan dan menempatkan industri bekerja di wilayahmya. Pemerintah daerah atau pusat melalukan seleksi superketat pada jenis industri berbahaya yang berpotensi merugikan manusia dan lingkungan hidup.

Jika tanpa menyertakan analisis dampak lingkungan (amdal) yang benar-benar sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah daerah/pusat berhak menolak usaha itu bekerja di wilayahnya. Karena terbukti di lapangan, banyak kejadian yang mengarah pada rendahnya kesadaran melakukan analisis dampak lingkungan sebelum melakukan kegiatan ekonomi, baik itu industri pengolahan, pertambangan dan lain-lain pada akhirnya hanya merugikan masyarakat dan pemerintah belaka. Setidaknya kasus yang terjadi pada areal pertambangan PT Lapindo Brantas Inc menjadi pelajaran moral yang baik bagi pemerintah daerah/pusat dan tidak terjadi di daerah lain.

KANISIUS KARYADI, Peneliti lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

Konsep Semu Perbaikan Nasib Buruh

Oleh KANISIUS K A R Y A D I

Hampir setiap tahun, pengusaha, buruh dan pemerintah dihadapkan persoalan penentuan jumlah nominal upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Jatim. Selama itu pula rata-rata muncul ketegangan di sana-sini.

Sebagai pengamat hubungan industrial dan hampir tiap tahun menulis artikel UMK dan perburuhan di Harian Kompas Jatim. Saya merasa pesimistis bahwa pembahasan dan penetapan UMK tahun 2007 mampu mengangkat derajad kemanusiaan dan mensejahterakan buruh secara maksimal.

Paling-paling hasil akhirnya ya itu-itu saja, kenaikan UMK tidak lebih dari 20 persen titik. Kalaupun naik lebih dari 30 persen, itu keajaiban murni dalam praktik UMK di Jatim, kecuali zaman Gus Dur yang benar-benar menaikkan UMK sampai 40 persen.

Persoalannya sekarang adalah, pertama tidak ada atau minimal grand design dari perusahaan-perusahaan untuk mengangkat kesetaraan kesejahteraan dan derajad karyawannya. Hal ini dibuktikan dengan sangat minimalnya atau bahkan tidak ada kerangka konsep perusahaan yang merencanakan kenaikan / perbaikan nasib buruh.

Paradigma perbaikan selalu dikaitkan dengan alat produksi. Ketika dikaitkan dengan alat produksi berarti semakin menjauhkan dari kesejahteraan buruhnya, mengingat pada akhirnya alat produksi itu murni asset pengusaha bukan milik buruh. Maka jangan terlalu heran ketika perubahan dan konsep UMK berjalan di tempat. Karena yang selalu dipikirkan adalah bagaimana memperbaiki dan memperbesar aset perusahaan ketimbang memperbaiki kesejahteraan buruhnya.

Sangat jarang kita jumpai, perusahaan yang mampu berjalan seiring antara perbaikan mesin dan manusia. Seringkali aspek mesin yang didahulukan, dan aspek manusia dibiarkan begitu saja. Maka akibatnya terjadi ketidakseimbangan dalam perusahaan, mesinnya baik tapi SDM kurang dihargai.

Kedua, minimalnya bahkan tidak ada kesadaran universal dari para pengusaha kita untuk berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kapital dengan buruhnya. Hal ini dikaitkan dengan tranparansi pendapatan pengusaha dan buruhnya. Sangat banyak kita jumpai paradigma, buruh mau diajak susah berjalan bersama, ketika masa jaya buruh ditelantarkan.

Ketiga, sedikitnya perusahaan bonafid di Jatim. Pada umumnya perusahaan yang bonafid dan besar di Jatim telah lama meninggalkan konsep UMK. Mereka mempunyai standar penggajian di atas area UMK. Persoalannya, tidak semua perusahaan di Jatim seperti itu, bahkan sangat dominan perusahaan yang masih kuat memegang kultur UMK. Jadi kita tidak usah kaget dengan kondisi perburuhan kita semakin muler mungkret.

Keempat, hal ini diperparah dengan fenomena migrasi besar-besaran pengusaha yang semula memakai karyawan tetap menjadi karyawan kontrak. Fenomena ini banyak kita jumpai di lapangan, atas nama efisiensi, reengineering, tidak mau terikat, tidak mau menanggung upah besar, tidak mau menanggung tunjangan hari raya, tidak mau menanggung biaya kesehatan buruh dan lain-lain, pengusaha kita mulai banyak yang hijrah ke pedoman baru itu.

Akal-akalan bin siasat-siasatan untuk mempersempit ruang gerak buruh semakin gencar terjadi. Uniknya, pemerintah kita mau saja mengikuti alur pedoman itu. Dengan alasan ada dasar hukumnya dan lain-lain, pemerintah kita sudah tidak berdaya membendung kekuatan dan gelombang perubahan itu.

Sehingga saya merasakan konsep memperbaiki secara umum nasib buruh adalah semu belaka. Kelihatan memperbaiki tetapi ujung-ujungnya menggerogoti buruh.

Yang diperlukan sekarang adalah, pertama kesadaran pengusaha akan tanggung jawab sosial kepada buruh, bahwa ke depan aspek mesin dan manusia perlu minimal mendapat proporsi yang sama. Sehingga ketika ada perbaikan mesin, ada baiknya aspek manusia juga diperbaiki dari sisi pendapatan dan morilnya. Tanpa menunggu penetapan cas-cis-cus UMK yang berkepanjangan.

Kedua, pengusaha kita dominan menerapkan konsep UMK, namun ada baiknya jika penghasilan pengusaha jauh di atas break even point (titik impas), keuntungan itu tidak semua masuk ke kantong pengusaha, ada baiknya buruh mendapat jatah proporsional persentase dari keuntungan tersebut. Saya kira dengan model pendekatan seperti itu, pengusaha turut memperbaiki kesejahteraan buruh dengan tanpa paksaan dan hasilnya bisa lebih baik.

Ketiga, pemerintah sebagai eksekutor regulasi tampaknya perlu berkaca, bahwa selama ini konsep UMK yang berjalan dan migrasi kontrak yang menggila perlu mendapat perhatian serius, mengingat konsep itu bukan konsep asli meningkatkan kompetisi tenaga kerja kita, melainkan diselewengkan sebagai alat mengurangi dan menekan biaya produksi semata. Pada akhirnya buruh yang manusia itu menjadi tumbal/korban.

K KARYADI, peminat ekonomi politik

Menyongsong Tahbisan Uskup Surabaya, 29 Juni 2007

HIDUP DALAM KELIMPAHAN

OLEH KANISIUS KARYADI

Tidak disangka-sangka 3 April 2007 pukul 18.16 WIB Duta Besar Vatikan, Mgr Leopoldo Girelli mengumumkan Romo Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr menjadi Uskup Surabaya. Pengumuman itu akhirnya menjawab kebuntuan setelah takhta Keuskupan Surabaya lowong tiga tahun empat bulan, semenjak Mgr Johanes Sudiarna Hadiwikarta, Pr mangkat (meninggal) 13 Desember 2003.

Sejak 19 Desember 2003, tampuk Keuskupan Surabaya dikoordinasi oleh Administrator Keuskupan Surabaya, Romo Julius Haryanto, CM. Seperti diketahui bersama, kehadiran Administrator bukanlah sebagai pemimpin yang mengarahkan, tugasnya secara hukum gereja sangat terbatas, sebatas meneruskan kebijakan lama uskup terdahulu. Sementara membuat dan menyangkut kebijakan baru sangatlah riskan.

Maka dengan hadirnya uskup baru yang ditahbiskan 29 Juni 2007 di Stadion Jala Krida Mandala, Bumimoro, Surabaya, sebenarnya menimbulkan tanda tanya, mau dibawa dan diarahkan ke mana kapal Keuskupan Surabaya di bawah komando Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono? Tentu untuk menjawab pertanyaan itu memerlukan penyelidikan khusus yang mendalam dan mendasar. Atas dasar itu tulisan ini menerawang dengan seksama.

Seperti pada umumnya, dipilihnya Uskup berdasarkan Kanonik Gereja 378 (1-2) Lengkapnya berbunyi:

(1) Untuk kecakapan calon Uskup, dituntut bahwa ia:

1. Unggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarium), kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut;

  1. Mempunyai nama baik;
  2. Sekurang-kurangnya berusia tiga puluh lima tahun;
  3. Sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam;
  4. Mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam kitab suci, teologi atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan tinggi yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu.

(2) Penilaian definitif tentang kecakapan calon ada pada takhta Apostolik.

Hal yang tak kalah penting dalam penilaian adalah didasarkan pada pemahaman dan praktika tentang tiga hal utama dalam ajaran Katolik yang menyangkut pertimbangan tiga sumber ajaran Katolik, (1) tradisi para rasul. (2) Ajaran magisterium Gereja (3) Kitab Suci. Uskup dipilih oleh Bapa Paus berdasarkan ketaatan, kemurnian menjalankan roda kepemimpinan Gereja dalam konteks tiga hal tersebut. Kecil kemungkinan pihak Vatikan memilih Calon Uskup yang mempunyai pemikiran dan praktika hidup menyimpang dari ketiga hal tersebut.

Maka banyak orang menyebut, kebanyakan Uskup terpilih (tidak hanya untuk kasus Keuskupan Surabaya), adalah orang yang cukup setia dan taat dan masih memegang teguh ajaran para rasul, ajaran magisterium gereja dan kitab suci. Atau boleh dikatakan Gereja Katolik memilih Uskup yang mempunyai standar-standar konvensi Gereja Katolik Universal, entah dalam perjalanan menyimpang atau melakukan manuver di luar konteks, itu merupakan persoalan lain.

Membicarakan visi dan tantangan ke depan bagi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, memang tidak boleh sembarangan. Kita akan menengok faktor kesejarahan dari pemimpin terdahulu. Di batasi dari periode Mgr Dibjakarjono (1992-Sekarang).

Ut Omnes Unum Sint

Di era, Mgr Dibjakarjono, Pr menganut matra atau motto, Ut Omnes unum Sint. Semoga mereka menjadi satu (Yohanes 17:21). Kondisi pada periode 1982-1994 ditandai dengan kondisi saling menghilangkan (menegasikan-merendahkan) antar lembaga satu dengan yang lain. Maka Mgr Dibja mengeluarkan motto itu dengan harapan tercipta trimatra persatuan di antara manusia.

Matra pertama, persatuan dalam internal gereja, jangan ada lagi semangat merendahkan/menegasikan kelompok-kelompok dalam wilayah kristiani, utamanya persatuan dalam internal Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya. Secara khusus bagi internal Gereja Katolik Keuskupan Surabaya, tercipta sinergi antar lembaga yang bernaung dalam Hirarki Katolik.

Matra kedua, persatuan dengan masyarakat dan agama lain. Harus diakui pada tahun itu ketegangan umat beragama maupun kelompok dalam masyarakat juga semakin runcing, maka diperlukan upaya saling membina kerjasama antar berbagai macam pihak dalam masyarakat dalam rangka menciptakan keutuhan dan kerukunan.

Matra ketiga, kerukunan dengan pemerintah. Yaitu supaya pemerintah dan Gereja katolik tidak saling curiga terhadap segala bentuk aktivitasnya masing-masing. Harus diakui kondisi pemerintah saat itu terkesan garang terhadap kelompok-kelompok agama tertentu. Harapannya tercipta kerja sama dan kerukunan dalam mensejahterakan masyarakat lainnya.

Pastor Bonus

Diera Mgr. Hadiwikarta (1994-2003) motto yang disandang berasal dari Yohanes 10:11, ”Gembala yang baik memberikan nyawa bagi domba-dombanya”. Kemudian di singkat Pastor Bonus (gembala yang baik). Pada 20-22 Nopember 1996 diadakan Sinode Keuskupan Surabaya yang dihadiri oleh semua imam Keuskupan Surabaya, perwakilan biarawan/wati, awam, organisasi Katolik yang ada di Keuskupan Surabaya merumuskan Visi-Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001

Visi Keuskupan Surabaya 1997-2001

”Persekutuan Umat Allah yang dinamis, profetis, misioner,berkualitas, akrab dalam persaudaraa, yang hidupnya berpusat pada Yesus Kristus, Pastor Bonus, serta dibimbing oleh Roh Kudus, sebagi musafir yang peka melihat tanda-tanda jaman, punya kepedulian pada sesamanya, terutama yang kecil dan menderita, berani memperjuangkan keadilan dan kebenaran, membina persaudaraan sejati dengan semua orang demi terwujudnya Kerajaan Allah”.

Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001

Demi tercapainya visi di atas maka ada beberapa langkah yang perlu diambil:

  1. membuka diri dalam dialog kehidupan dan karya dengan semua umat beragama yang ada, serta membina persaudaraan sejati dengan semua orang.
  2. membangun solidaritas proaktif bagi merea yang lemah dan menderita, membela kehidupan dan martabat manusia sebagi citra Allah.
  3. membangun komunitas persaudaraan kristiani yang kokoh imannya, yang berakar pada Kitab Suci, Tradisi, dan sakramen, serta kebudayaan setempat.
  4. membangun persaudaraan di antara umat, mulai dari keluarga, lingkungan, paroki dengan melalui pola kepemimpinan yang partisipatif, komunitas basis gerejani.
  5. membentuk orang-orang kristiani yang tangguh, dapat dipercaya, setia, mempunyai dedikasi, yang berjiwa misioner, mampu menjadi garam dan terang masyarakat, melalui pendidikan iman dan kaderisasi.
  6. membina dan memdampingi keluarga-keluarga agar dapat menjadi dasar atau basic dalam hidup menggereja dan memasyarakat.

Di tengah melaksanakan ide-ide tersebut, muncul surat domba yang mengemparkan. Sebagai pembanding kalau dalam pemerintahan zaman Soeharto sampai sekarang, pernah ada Kelompok Kerja Petisi 50. Surat domba 5 Februari 2002 itu mengkritisi berbagai persoalan kehidupan Gereja Katolik Keuskupan Surabaya dibawah Uskup Mgr. Hadiwikarta, Pr antara lain: (1) Mega proyek keuskupan; (2) Marjinalisasi pendidikan Katolik; (3) Tranparansi dan akuntabilitas; (4) Keprihatinan imam; (5) Ajakan kembali ke visi Keuskupan 1997-2001. Selain itu didukung tuntutan dan Ajakan. Surat 12 halaman itu memang memukul Hirarki dan umat saat itu.

Demikian juga ketika membicarakan arah Keuskupan Surabaya kita bisa berpedoman pada pengalaman sejarah itu. Hal penting yang perlu ditindak lanjuti menyangkut kepemimpinan Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono adalah arah penggembalaannya tentu berfokus pada Yesus Kristus yang merupakan sumber inspirasi utama dalam Gereja Katolik.

Ada nats kitab suci yang dipegang dan dijadikan pedoman penggembalaan itu, yaitu diambil dari Injil Yohanes 10:10. Berbunyi, ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahannya” (Ut Vitam Abundatius Habeant).

Yang mengisyaratkan arah hidup kristiani yang beriman akan Kristus yang memberi hidup ilahi sudah sejak hidup di dunia (bukan sembarang dan asal hidup, Yohanes memakai kata zoe, bukan bios dalam istilah Yunaninya). Iman yang semakin dewasa di tengah arus gelombang hidup menghayati hidup ilahi di dunia sehingga mengalami hidup yang penuh berkelimpahan.

Hidup ilahi di dunia sejatinya bisa dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, itu inti yang mau diangkat Mgr Tikno dalam penggembalaannya. Jadi nilai hidup berkelimpahan diartikan pengejawantahan nilai-nilai hidup kejujuran, kesetiaan, kerja keras, kebaikan dan lain sebagainya dalam hidup sehari-hari. Jadi selama hidup di dunia, kita dipersilakan mempraktikkan hidup ilahi secara duniawi dengan jalan melakukan perbuatan jujur, tidak korupsi, tidak mencuri, tidak berzina, tidak mencela orang tua, orang lain (manusia), memberlakukan lingkungan hidup dengan baik, tidak mengekspolitasi manusia dan lingkungan hidup dan lain-lain.

Orang yang kebetulan mempunyai kelimpahan hidup secara duniawi dalam arti kekayaan materi/barang tidak dipersalahkan. Namun bagaimana kelimpahan materi itu bisa mendorong orang melakukan perbuatan-perbuatan bajik (baik) di tengah hidup dalam masyarakat. Kekayaan materi tidak memicu orang untuk menindas sesamanya, justru itu adalah kesempatan memanusiakan manusia dan memuliakan Allah dalam kehidupan nyata.

Bagaimana merealisasikan hal itu dalam praktik hidup. Ada banyak bidang dan sisi kehidupan yang bisa dimasuki untuk semakin membawa keadaban publik Menyimak secara dasar dua motivasi utama Uskup Sebelum Mgr Tikno, bukan berarti gagasan kedua Uskup menjadi tidak aktual untuk dibicarakan dalam kepemimpinan Mgr Tikno. Justru masih sangat menonjol apa yang pernah disampaikan dua Uskup terdahulu, misalnya untuk mencermati pertama, menguatnya kelompok-kelompok yang cenderung show a force (unjuk kekuatan), yang beropotensi saling berbenturan satu dengan yang lainnya. Kedua, menguatnya isme-isme masa kini, sensualisme, seksualisme, materialisme, hedonisme yang cenderung mengobarkan rasa kenikmatan sesaat, apatisme, mau menang sendiri yang memperkeruh hubungan kemanusiaan.

No

Nama

Jabatan

Keterangan

1

Mgr. Th de Backere, CM

Prefek Apostolik Surabaya

Prefek Apostolik Surabaya 16 September 1928–24 Desember 1936). Meninggal di Veghel 4 Juli 1945 dimakamkan di Panningen

2

Mgr. M. Verhoeks, CM

Prefek Apostolik Surabaya

12 Maret 1937–11 Februari 1942).

3

Mgr. M. Verhoeks, CM

Vikaris Apostolik Surabaya

8 Mei 1942–8 Mei 1952). Meninggal dunia 8 Mei 1952 di Surabaya

4

Mgr. Johanes Klooster, CM

Vikaris Apostolik Surabaya

Diangkat menjadi Vikaris 21 Februari 1953, tahbisan 1 Mei 1953–3 Januari 1961).

5

Mgr. Johanes Klooster, CM

Uskup Surabaya

9 September 1961 – 16 Desember 1982) Meninggal dunia 30 Desember 1990 di Surabaya.

6

Mgr. A.J Dibjokaryono, Pr

Uskup Surabaya

Diangkat 2 April 1982, ditahbis uskup 16 Desember 1982 – 15 Maret 1994). Meninggal dunia di Surabaya, 23 Januari 2002.

7

Mgr. J. Hadiwikarta, Pr

.

Uskup Surabaya

Pemberitahuan Pro Nuncio 5 April 1994. pengumuman resmi 24 April 1994. Ditahbis menjadi Uskup 25 Juli 1994–meninggal dunia 13 Desember 2003, dimakamkan di Puh Sarang 16 Desember 2003.

8

Rm. Julius Haryanto, CM

Administrator Keuskupan Surabaya

19 Desember 2003 – 2007

9

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr

Uskup Surabaya

Diangkat 3 April 2007, ditahbiskan menjadi Uskup 29 Juni 2007– sekarang).

Data petinggi Prefekur Apostolik Surabaya, Vikariat Apostolik Surabaya hingga Keuskupan Surabaya, diolah Kanisius Karyadi

Kanisius Karyadi, Penulis Buku ”Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, Sang Maestro dari Perak”

Pemetaan Peran Orang Muda Katolik (OMK) dalam Gerakan Politik di Indonesia*

K A N I S I U S K A R Y A D I**

I BASIS SUSILO, di Tabloid Jubileum, Maret 2008 menulis,”Barangkali ada kesalahan dalam melihat dan menyikapi pengertian politik. Politik dianggap sebagai kegiatan perebutan kekuasaan. Yang tidak bermoral. Yang menghalalkan segala cara. Kasar. Licik. Penuh tipu muslihat. Dan sebagainya. Akibatnya, tugas-tugas politik diabaikan seakan-akan orang beriman harus punya sikap politik-fobi.”

Masih menurut Basis, padahal politik, dari kata Yunani “polis”, berarti kota atau negara. “Polis” adalah organisasi yang bertujuan memajukan kehidupan yang baik dan tenteram bagi para warga negaranya. Politik ialah segala apa yang berhubungan dengan usaha yang baik demi negara atau polis. Pengertian berkembang, yaitu semua tindakan yang bertujuan memperjuangkan apa yang baik bagi seluruh rakyat dalam situasi tertentu.

Unsur mutlak dalam kesejahteraan umum adalah: kebebasan, perdamaian dan keadilan. Dalam bidang politik pun berlaku hukum moral yang mengikat tindakan semua manusia sehari-hari, seperti: jangan berdusta, jangan menipu, jangan mencuri, jangan membunuh, dan sebagainya. Tujuan yang baik tidak menghalalkan semua cara. Tetapi perbedaan besar dengan tindakan pribadi ialah bahwa semua tindakan politik harus dinilai juga dari sudut baiknya bagi masyarakat seluruhnya.

Masalahnya sekarang, bagaimana mendudukkan pengertian politik pada porsi dan esensinya, yaitu usaha memajukan kehidupan bersama yang baik. Setelah itu, mendorong organisasi-organisasi melakukan fungsi pendidikan, pembinaan dan pendampingan agar kaum muda punya wawasan dan ketrampilan yang memadai untuk berperan dalam dinamika sosial-politik bangsanya.

Dari uraian Basis, kita melihat politik dalam tarikan dua kutub, yang mendorong pada perbuatan negatif dan positif. Dilihat dari pengalaman masa lalu, baik Orde Lama dan Orde Baru pada tata negara dan tata masyarakat membuat dua bentangan. Tidak dapat dimungkiri, politik di negeri ini memberikan rasa trauma mendalam bagi sebagian orang. Demikian sebaliknya, ada yang mendapat kue kekuasaan empuk dan enak.

Seperti diluruskan Basis, sejatinya pada era reformasi kita diarahkan pada mengenal politik secara benar. Namun, kita masih menyaksikan atraksi politik hasil reformasi. Seperti misalnya pilkada langsung (atau lainnya) memberikan peluang baik, sekaligus terbuka ancaman menjerumuskan politik pada wacana buruk. Bagaimana peran masyarakat atau khususnya warga Katolik (orang muda Katolik) sehingga menjadikan wilayah politik cemerlang? Kita meneropong.

Kecenderungan Peran Politik Masyarakat

SEBELUM membahas peran orang muda Katolik (OMK) dalam gerakan politik di Indonesia. Dalam lapangan praktik politik kita, dijumpai berbagai perubahan dalam peran politik masyarakat Indonesia. Pertama, peran militer/TNI pasca Orba dikurangi, sementara peran sipil mendapatkan hati. Penulis merefleksikan dalam Dari HUT Ke-58 TNI, Kaderisasi Sipil Gagal, Fokus TNI pada Pertahanan di harian Kompas Edisi Jatim, 6 Oktober 2003, berikut petikannya.

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-58 Tentara Nasional Indonesia, yang dipusatkan di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, akan dijadikan titik awal pembaharuan di tubuh TNI. Pembaharuan tersebut terkait dengan Pemilu 2004 yang akan mengembalikan fungsi TNI sebagai alat pertahanan nasional (Kompas, 3/10/2003). Ini adalah pernyataan ”sejarah” yang mutakhir, penting dan inti dalam perkembangan TNI di Tanah Air. Hal ini mengindikasikan iklim keterbukaan mulai menyembul dalam lembaga TNI.

SEBELUMNYA, dalam panggung politik nasional di era Orde Baru peran TNI begitu dominan. Namun dengan bergulirnya arus reformasi 1998 di Indonesia, pada waktu itu ditandai dengan derasnya isu pencabutan Dwifungsi TNI (saat 1998, ABRI), sedikit demi sedikit TNI mulai menyadari arti penting pembagian porsi kerja dan ladang garapan TNI.

Menurut rencana, pada Pemilu 2004 nanti, TNI hanya menempatkan kader pada MPR saja dan pada Pemilu 2009, TNI akan benar-benar bebas dari kancah politik nasional. Arah pembaharuan TNI yang difokuskan pada ruang ”pertahanan nasional” Indonesia memang cukup menarik untuk disimak, karena ini merupakan suatu pertanda ada hawa segar dalam demokrasi Indonesia menuju partisipasi sipil yang lebih besar dalam menggerakkan roda demokrasi secara baik dan dinamis.

Ini adalah kesempatan emas bagi TNI sendiri dalam memfokuskan kerjanya untuk lebih profesional dalam pertahanan nasional, demikian juga ini adalah ruang subur dan hijau bagi pertumbuhan supremasi sipil di Indonesia.

Namun demikian, cita-cita TNI untuk fokus dalam wilayah pertahanan nasional dan meninggalkan wilayah sosial politik, masih menyisakan pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa khususnya warga negara Indoensia yang di luar TNI yaitu area sipil. Pada hakekatnya, pasca-Pemilu 2004, peran sosial politik TNI akan banyak digantikan sipil yang notabene secara umum kurang berpengalaman dalam kancah politik dan kurang persiapan dalam berbagai hal.

Hal ini adalah persoalan baru dalam demokrasi Indonesia, semangat yang tercurah untuk mewujudkan demokrasi tanpa dominasi militer ternyata terkendala dengan perangkat penggantinya yaitu kurang tersedianya kaum sipil secara merata di Tanah Air untuk mendukung momentum politik itu. Ada beberapa tokoh sipil yang siap menghadapi gejolak itu, namun sebagian besar kaum sipil banyak yang menghadapi (perubahan) reformasi hanya sekedar eforia politik belaka dan kurang didukung perangkat sistem dan perangkat sumber daya manusia.

Pernyataan Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam acara Gerakan Moral Nasional di Surabaya, 2001, pada intinya mengemukakan bahwa kaderisasi yang masih berjalan, berjenjang, dan berkesinambungan secara baik adalah dilakukan TNI. Jabatan struktural ataupun politis yang disandang oleh kader TNI dilalui dengan pentahapan berjenjang.

Lain halnya dengan sipil yang keteter dalam masalah kaderisasi, akibatnya setelah reformasi bergulir banyak kaum sipil yang maju namun dengan latar belakang kaderisasi yang lemah. Tukang becak yang tidak berpendidikan tinggi dan tidak berpengalaman menjadi politisi bisa menjadi anggota DPRD, makanya reformasi hanya berjalan di tempat.

Menurut hasil temuan Lembaga Survei Indoensia di Jakarta menyebutkan komitmen TNI untuk bersikap netral dalam pemilu demi demokrasi yang sehat tidak dapat segera dilakukan secara total. Pasalnya, politisi sipil yang diharapkan menggantikan peran sosial politik TNI selama puluhan tahun di era Orde Baru justru tidak siap dengan sikap netral TNI. Banyak politisi, yang lewat partai politiknya, berlomba-lomba menarik kembali peran TNI (Kompas, 1/10/2003). Ini menunjukkan betapa gagalnya kaum sipil yang diwakili dalam parpol dalam mempersiapkan kaderisasinya.

Ada dua dimensi yang perlu digarap pada momentum penting ini, yakni kaderisasi sipil secara benar dan upaya berkesinambungan untuk memfokuskan kerja TNI dalam wilayah pertahanan nasional. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang menguntungkan, serta menghapus dikotomi sipil dan militer. Selama ini ada benteng yang kuat memisahkan sipil dan militer, tentu berangkat dari momentum ini semuanya menjadi setara dalam satu kesaudaraan yang tidak disekat-sekat oleh batas yang membodohkan.

Momentum peringatan HUT ke 58 TNI di Surabaya, Jawa Timur, memang berdimensi politis, namun ini sekaligus sebagai saat-saat penting menjadikan Jatim sebagai daerah yang bisa mempelopori konsistensi gerakan TNI sebagai kekuatan pertahanan nasional, dan ajang refleksi sekaligus aksi di masa depan memelopori gerakan kaderisasi sipil secara baik dalam mempersiapkan kader-kader sipil profesional yang bekerja pada wilayah sosial politik.

Yang dibutuhkan adalah keharmonisan kerja dan tidak melanggar satu dengan yang lainnya, berbekal pada kemampuan mencoba mengarahkan kerjanya secara maksimal pada bidang kerjanya masing-masing. Yang lebih penting pascaagenda besar itu diharapkan TNI tetap menjadi milik bangsa dan pelindung semua golongan, sekaligus kaum sipil mulai terbuka dalam kancah politik Indonesia menjadi teladan hidup dalam pluralisme, menghargai manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan. Semuanya diharapkan mampu bekerja sinergi demi kepentingan bangsa Indonesia khususnya Jawa Timur.

Kedua, peran perempuan yang mulai diangkat. Sejak digulirkanya reformasi di tanah air mendorong kesetaraan gender. Kesetaraan dalam politik setiap warga dihargai termasuk peran dan partisipasi perempuan dalam politik.

Menurut UU RI No 2 Tahun 2008 Tentang PARTAI POLITIK, Bab 2 Pasal 2 (2)Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 20, Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.

Pasal 31, (1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain: dst...

Menurut UU RI No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, Pasal 8 (1) Partai politik dapat menjadi peserta Pemilu setelah memenuhi syarat.... (d) menyertakan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik di tingkat pusat.

Pasal 15, Dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) meliputi...(d) Surat keterangan dari pengurus pusat partai politik tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 53, Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 55 ayat (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon.

Pasal 57 (ayat 1), KPU Melakukan verifikasi terhadap kelengkapan kebenaran dokumen persyaratan administrasi bakal calon anggota DPR dan verifikasi terhadap terpenuhinya jumlah sekurang-kurangnya 30 % (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. (ayat 2 dan 3 juga membahas untuk DPRD Propinsi dan Kabupaten/kota). Demikian juga pasal 58 ayat (2)

Ini adalah perubahan baru dalam politik, yang dulunya perempuan dianggap warga kelas dua, kini dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk ruang politik, perempuan dihargai secara baik. Ini adalah momentum baik, untuk menciptakan sinergi politik yang mensejahterakan.

Namun demikian, jumlah kader perempuan yang siap masuk wilayah itu, masih perlu dipertanyakan. Menurut pengalaman pemilu 2004 yang lalu, penulis masih mendapati partai politik yang asal comot dalam memasang ke dalam daftar legislatifnya. Ini menunjukkan kurang tersedianya perempuan dalam politik. Sekaligus ini peluang yang besar bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam politik.

Ketiga, peran politik kaum nasionalis sangat diperhitungkan. Tidak dapat dimungkiri bahwa eksistensi kaum nasionalis masih besar. Peran kaum nasionalis dalam politik bisa dilihat dari partai besar seperti PDIP, Golkar yang masih menguasai parlemen.

Nama partai

Kursi

Nama Partai

Kursi

Partai Golkar

128

Partai Karya Peduli Bangsa

2

PDI Perjuangan

109

PKP Indonesia

1

Partai Persatuan Pembangunan

58

PNI Marhaenisme

1

Partai Demokrat

55

Partai Penegak Demokrasi Indonesia

1

Partai Amanat Nasional

53

Partai Nasional Banteng Kemerdekaan

0

Partai Kebangkitan Bangsa

52

Partai Patriot Pancasila

0

Partai Keadilan Sejahtera

45

Partai PNU

0

Partai Bintang Reformasi

14

Partai Merdeka

0

Partai Damai Sejahtera

13

Partai Sarikat Indonesia

0

Partai Bulan Bintang

11

Partai Persatuan Daerah

0

Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan

4

Partai Perhimpunan Indonesia Baru

0

Partai Pelopor

3

Partai Buruh Sosial Demokrat

0

Daftar Partai politik yang memperoleh kursi di DPR RI pada Pemilu 2004, yang menunjukkan peta kekuatan partai di parlemen tingkat pusat.

Keempat, peran politik warga Islam yang besar yang terbagi-bagi. Warga Islam di Indonesia merupakan mayoritas. Pada masa orde baru, peran politik umat Islam berada dalam semua ring baik di Golkar maupun PDI, dan tercermin nyata dalam PPP.

Pasca Orba, peran politik umat Islam termanisfestasi dalam beragam aliran Islam masing-masing. PPP tetap eksis, sementara Islam berbasis NU hadir dengan PKB. Islam berbasis Muhamadiyah hadir dengan PAN. Sedangkan PBB lahir dari Forum Ukhuwah Islamiah (FUI) dan secara historis sebagai pendukung dan anggota istimewa yaitu parpol di era Orla yakni Partai Masyumi.

PKS merupakan partai Islam yang tidak mempunyai hubungan historis dengan parpol masa lalu. Lahir dari gerakan cendekiawan muslim yang berdakwah di kampus atau kelompok pengajian, usroh (keluarga). Pada mulanya tidak terlalu terlibat demonstrasi, namun karena ada momentum perubahan signifikan 1998, kelompok usroh bermetamorfosis menjadi KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), yang menjadi penyangga (PK)S, dan seterusnya

Kelima, peran warga Tionghoa mulai diperhitungkan. Dalam Orde Baru wacana dikumandangkan etnis Tionghoa tidak mendapat tempat dalam wilayah politik. Sejatinya wacana itu ada benarnya, namun tidak sepenuhnya benar, pada Orde Baru walaupun minimal ada saja politisi tionghoa yang tetap eksis.

Pada era reformasi, momentum politik membuka kesempatan kepada semua pihak termasuk selama ini yang dianggap minoritas, baik dari kalangan etnis atau kelompok agamis selain Islam. Semuanya mempunyai kesetaraan dalam bidang apapun termasuk politik.

Kelompok Tionghoa tidak ketinggalan menanggapi momentum politik, walaupun masih ada perasaan takut, grogi, dan trauma masa lalu. Kini mulai muncul bibit-bibit dan kader etnis Tionghoa yang muncul ke permukaan. Di beberapa daerah dikabarkan sudah ada kepala daerah yang dipimpin etnis Tionghoa. Anggota legislatif baik di level pusat dan daerah mulai bermunculan.

Menelisik Peran OMK

Data terbaru, regulasi politik berubah menghadapi Pemilu 2009, yang ini tidak dibahas penulis terkait UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu.

Kita perlu melihat peluang dan peran politik yang bisa dimainkan oleh warga Katolik di Indonesia khususnya bagi orang muda Katolik (OMK). Bagaimana kiprah yang bisa dimainkan dalam gerakan politik di Indonesia setelah ada sedikit gambaran peran umum yang dimainkan masyarakat Indonesia di atas.

Sebagai warga negara Indonesia, warga Katolik punya hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya. Termasuk berorganisasi politik secara mandiri. Sejatinya sejak Orla hingga kini, warga katolik sudah menunjukkan geliat politiknya. Di era Orla, warga Katolik bermanifestasi dalam Partai Katolik. Kemudian di era Orba, eksistensi partai Katolik dileburkan ke dalam PDI. Secara personal ada warga Katolik yang eksis di Golkar.

Pada era reformasi, sebagian umat Katolik ada yang terbawa eforia seperti umat yang lain, ada yang mendirikan Partai Katolik Demokrat. Yang membedakan partai berbasis Katolik di era Orla dan reformasi. Partai katolik di era Orla relatif mendapat angin dari Hierarki Gereja Katolik Indonesia, namun partai pasca Orba (reformasi) relatif jauh dari angin hierarki.

Warga Katolik yang kontra partai berbasis Katolik, mengatakan secara statistik basis dukungan partai sangat kecil sehingga partai sulit berkembang. Selain itu tidak zamannya partai berbasis agama yang menjebak pada pola sektarianisme. Biasa aliran ini biasa disebut aliran garam dunia.

Sementara, warga katolik yang pro partai berbasis Katolik, mengatakan walaupun kecil, bisa setara dengan yang besar. Eksistensi dan geliat Katolik dalam politik juga perlu dihadirkan. Aliran ini biasa kita sebut aliran terang dunia.

Secara realistis, kita melihat kehadiran partai politik berbasis Katolik sulit mendapatkan banyak kursi. Ada beberapa alasan, basis dukungan terlalu sempit. Dalam wilayah yang sempit itu, belum tentu semua sepakat dengan partai itu, mengingat tidak semua warga katolik melek politik. Di samping itu, eksistensi partai tidak mendapat dukungan real dari hierarki Katolik pemegang massa Katolik. Selanjutnya, parpol tidak mempunyai nilai manfaat dan nilai beda yang sungguh lain dengan partai lain.

Kondisi bisa berkata lain jika, menyerupai kasus PKS (Partai keadilan Sejahtera), ada konsolidasi internal yang solid, dengan kelompok pengajian yang tersebar di banyak kampus yang dengan segera mudah digerakkan, mereka telah berakar dulu. Kelompok itu punya basis ikatan iman (agama) dan intelektual yang kuat. Di Katolik budaya itu, ”maaf” kurang terkonsolidasi.

Sejatinya ada bagian kelompok Katolik yang mirip gejala PKS, yakni gerakan Karismatik Katolik. Namun sayang kelompok ini kurang bersentuhan langsung dengan diskusi sosial kemasyarakatan, akibatnya menjadi gejala gerakan ibadat tetapi sulit diarahkan menjadi kekuatan sosial-politik kayak PKS. Dan harus diakui para tokohnya kurang memiliki visi politik kesejahteraan bagi Indonesia,

Peran Pergerakan Mahasiswa

PERAN politik yang bisa dimainkan orang muda Katolik bagaimana? Menurut hemat saya ada banyak peluang peran yang bisa dimasuki. Pertama, peran pergerakan mahasiswa. Saya cuplik dari tulisan saya Tahun 2004 untuk MABIM PMKRI Surabaya, Butir-Butir Tersisa: Gerakan Mahasiswa dan Perhelatan Gerakan PMKRI Surabaya.

Gerakan mahasiswa hakikatnya adalah suatu tindakan/perbuatan yang dilakukan sekelompok mahasiswa dengan maksud dan tujuan tertentu, baik yang berorientasi pada kepentingan kelompok atau demi kepentingan umum. Bisa dilakukan secara terorganisasi atau sporadis.

  1. Gerakan ini pada umumnya bersentuhan dengan kondisi (moral) sosial-politik di Indonesia.
  2. Kelompok ini menjadi motor perubahan (agen perubahan).
  3. Gerakan mahasiswa kadang disebut sebagai “gerakan moral” karena dianggap independen yang tidak berorientasi kekuasaaan, berjuang demi kepentingan umum.
  4. Bisa dilakukan secara terbuka atau tertutup (underground).

Tujuan Umum (Eksternal)

  1. Melaksanakan fungsi kontrol kepada sistem pemerintahan (politik), sosial kemasyarakatan atau lainnya agar tercipta tatanan yang dinamis, tanggap kepada perubahan yang lebih baik.
  2. Mempengaruhi kebijakan publik yang akan ditetapkan oleh pemerintah supaya berpihak kepada publik (mayoritas), tidak kepada segelintir oknum/lembaga tertentu.
  3. Menekan institusi agar melakukan kebijakan yang dikonsep secara bersama dan menguntungkan mayoritas masyarakat.
  4. Menyerap dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada lembaga-lembaga publik yang berwenang.
  5. Menyumbangkan pemikiran/gagasan kepada institusi yang berwenang merumuskan kebijakan publik.
  6. Mengkritisi atau memprotes suatu kebijakan atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan institusi tertentu.

Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral dan politik

  1. Moral dan politik dalam gerakan mahasiswa memang berjarak tipis.
  2. Moral atau politik akan selalu menyertai dalam setiap gerakan yang dilakukan mahasiswa.
  3. Secara khusus saya mencoba untuk mengklasifikasi gerakan mahasiswa sebagai

A. Gerakan mahasiswa berbaju “moral” :

- Dalam pernyataan sikap dan tindakan non partisan.

- Menyuarakan aspirasi masyarakat tertindas.

    1. Gerakan mahasiswa berbaju “politik”

- Dalam pernyataan sikap dan tindakan sangat kentara berafiliasi atau berpayung kepada organisasi politik atau kepentingan politik golongan tertentu. (kepanjangan tangan).

- Berorientasi pada ring kekuasaan.

- Kadang menutupi kedok dengan bingkai menyuarakan aspirasi masyarakat.

    1. Bauran gerakan mahasiswa berbaju moral dan politik.

- Menyuarakan kepentingan moral (sosial) dengan jalan (kalau bisa) memasuki sistem (masuk ring kekuasaan).

Kondisi-kondisi yang bsa meletupkan gerakan mahasiswa:

  1. Peristiwa sosial/politik menonjol yang terjadi.
  2. peristiwa-peristiwa penting lain yang memicu solidaritaas dan keprihatinan.
  3. Penyimpangan-penyimpangan dalam sistem pemerintahan.

Sifat gerakan mahasiswa :

  1. Temporal dan mendesak : gerakan mahasiswa meledak menjelang momentum-momentum penting, jika ada forum pengambilan keputusan yang penting dan mengikat.
  2. reaktif : gerakan mahasiswa muncul apabila ada situasi dan kondisi yang menggugah kesadaran, terutama ada penindasan kaum miskin oleh pemerintah, atau peristiwa-peristiwa yang bisa memicu solidaritas.
  3. Berkesinambungan : gerakan mahasiswa aktif mengkritisi situasi dan kondisi (kebijakan) dari sistem pemerintahan atau lainnya lewat media-media ilmiah dan sekali-sekali turun ke jalanan sebagai bentuk protes dan lain sebagainya.

Metode gerakan mahasiswa

1. Aksi Massa (demontrasi) = pengerahan massa dalam jumlah tertentu.

2. Pernyataan sikap = Memberikan sikap terhadap situasi tertentu dalam momentum waktu tertentu.

3. Bawah tanah = melakukan aksi tertutup tanpa diketahui publik dengan maksud menghindari konfrontasi lansung dengan pihak-pihak tertentu.

4. Mogok makan = melakukan gerakan mencari perhatian publik dan tekanan kepada pihak tertentu.

5. Mimbar bebas = ada unsur pengerahan massa, tetapi penekanannya pada pengungkapan ekspresi peserta lewat suara, gerak dan lain-lain.

6. Selebaran = melakukan kegiatan publikasi untuk mempengaruhi pendapat publik.

7. turun ke bawah = melakukan proses adaptasi kehidupan masyarakat, dari situ muncul gagasan untuk mengaspirasikan ide atau bahkan menciptakan proses belajar dari kedua pihak (saling mendidik).

8. Menduduki instalasi vital pemerintahan (negara).

9. Negosiasi.

10. dan lain-lain.

Institusi gandengan dalam gerakan mahasiswa

  1. Media cetak / elektronik : lembaga pers ini bisa membantu dalam publikasi isu dan gerakan mahasiswa secara terpadu, sehingga apa yang dilakukan bisa diketahui secara luas oleh publik. Pers punya daya tekan tersendiri bagi perubahan. Kekuatan pers tidak bisa diremehkan begitu saja.
  2. Elemen-elemen intelektual kampus : kalangan ini sebagai penguat landasan bertindak, sebab mereka merupakan cerminan kekuatan intelektual yang mapan dalam masyarakat.
  3. LSM (NGO) “putih” yang senafas dengan gerakan.
  4. dan lain-lain.

Modal gerakan mahasiswa

  1. Modal idealisme dan spiritualitas = api yang membakar dalam hati dan pikiran untuk melakukan suatu tindakan dengan sadar yang berguna bagi kepentingan publik.
  2. Modal mentalitas = kekuatan batin siap menerima setiap konsekuensi, risiko, tantangan yang bakal muncul dalam perhelatan gerakan.
  3. Modal intelektualitas = landasan berpikir bebas, luas bertangggung jawab dengan referensi yang baik.
  4. Modal massa mahasiswa = jumlah massa solid mahasiswa yang siap menjadi motor penggerak bagi mahasiswa lain.
  5. Modal dana = sejumlah uang partisipasi mandiri dari kelompok/organisasi untuk membiayai gerakan.
  6. Modal jaringan mahasiswa = kerja sama antar elemen mahasiswa untuk bahu membahu menyukseskan program gerakan.

Tudingan miring

1. Tukang kritik tanpa solusi program yang jelas.

2. Rok-rok asem (sekedar ikut-ikutan tanpa visi yang jelas).

3. Tukang bikin macet jalan.

4. gerakan sekedar sebagai ajang batu loncatan untuk mendapatkan “sesuatu”.

5. Tukang bikin rupiah semakin terpuruk di mata dolar (US).

6. “pesanan dan dibayar”.

Jebakan gerakan mahasiswa

  1. Idealisme gerakan digadaikan dengan iming-iming pekerjaan, uang dan benda material lain oleh pejabat. (Hanya digunakan kepentingan jangka pendek, untuk sekedar mencari peluang kepada kekuasaan).
  2. Konflik dan polarisasi kepentingan antarelemen gerakan mahasiswa.
  3. Fokus isu dan gerakan melebar (terlalu banyak muatan)
  4. Demontrasi tandingan
  5. kontra isu

Mengatur isu gerakan mahasiswa

1. prinsip : tidak terbawa arus pemikiran kelompok lain, sudah jauh hari menyiapkan sikap-sikap yang akan diambil.

2. Mempersiapkan isu-isu gerakan, misal dari kliping pemberitaan koran semisal Kompas, atau lainnya, yang pemuatannya belum menjadi berita utama (biasanya kecil-kecil), dari berita kecil-kecil itu mulai tahap mencari referensi buku atau diskusi dengan intelektual. Kemudian didiskusikan secara mendalam, dari situ tercipta iklim intelektual yang siap melandaasi gerakan mahasiswa secara terpadu.

3. Harus rajin-rajin membaca “momentum”, karena ini mempengaruhi kecepatan bersikap, berisue dan bergerak. Sekali terlambat membaca momentum, sama seperti bebek yang digiring majikannya.

4. Pergeseraan isu, sejak muncul undang-undang otonomi daerah, isu gerakan mahasiswa mengalami pergeseran. Dari isu yang besifat nasional bergeser menjadi isu-isu lokal.

Catatan Kritis

1. Tidak semua hasil yang telah dicapai dan diperjuangkan gerakan mahasiswa dapat bermanfaat secara langsung bagi publik. Maka sangat berhati-hati dengan suara-suara miring itu.

2. Aktifitas belajar / studi tetap harus dikerjakan, karana ini modal kompetensi diri kita pasca menjadi aktivis gerakan mahasiswa.

3. Tidak jarang aktivis gerakan mahasiswa terjun dalam panggung politik praktis, itu baik-baik saja, asal tidak sekedar menjadi pecundang apa yang diperjuangkan selama aktif dalam gerakan mahasiswa.

4. Tak jarang, beberapa aktivis gerakan mahasiswa harus menggadaikan idealisme demi mobil, uang, sepeda motor. Maka demi menjaga api idealisme dan mentalitas, batin dan spiritual harus selalu diolah dan diasah agar tidak tumpul.

Pada umumnya, aktivis yang terbiasa dalam pergerakan mahasiswa, relatif mudah dihubungkan dengan dunia politik. Menurut pengalaman banyak sekali aktivis yang purna, duduk dalam lembaga-lembaga politik, baik yang bersifat agamis maupun nasionalis-sekuler. Kader HMI, GMNI, PMII, dan lain-lain adalah penyumbang besar dalam kancah politik nasional. Mereka perlu mendapat apresiasi-kritik agar tetap eksis.

Peran dan Gerak Cendekiawan

KEDUA, merintis peran dan gerak cendekiawan. Menurut hemat saya, ini adalah wilayah dasar kita berpolitik. Bagaimanapun peran cendekiawan pada saat nanti bisa di bawa ke mana-mana.

Bagi cendekiawan Katolik yang tetap independen, ia bisa menjadi pemikir konsep politik yang berguna bagi bangsa. Atau pula menjadi pengamat/peneliti politik yang disegani baik kawan maupun lawan mirip Josep Kristiadi, Ignatius Basis Susilo, Daniel Dhakidae dan lain-lain. Bagi cendekiawan yang tertarik pada wilayah politik, ia minimal menjadi jago kuat anggota parlemen atau orang terpandang di partai kayak Sonny Keraf atau Benny K Harman. Bagi Cendekiawan yang ingin terlibat dalam wilayah publik minimal ia menjadi sumber rujukan, kayak Antonius Ramlan Surbakti. Berikut cuplikan tulisan saya tentang Meneropong Peran Intelektual Katolik, Majalah Warta Paragonz, Oktober 2005.

Banyak intelektual Katolik yang turut berperan mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Namun demikian, Romo YB. Mangunwijaya, Pr memberikan kritiknya, tidak sedikit pula hasil pendidikan Katolik yang tampil gagah sembari menindas rakyat kecil. Lebih spesifik, A Cahyo Suryanto, kini aktif di Universitas Surabaya dan di Pusdakota, pernah melontarkan kritik tajam dan pedas, ia menyatakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman, tidak sedikit sarjana jebolan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang tampil dalam dinamika masyarakat menindas orang lemah.

Bertitik tolak pada kritik dan praxis Mangunwijaya dan Cahyo Suryanto itu, bisa digambarkan bahwa intelektual Katolik sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada intelektual Katolik bisa berperan dalam mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Sisi yang lain, ada intelektual Katolik menjadi penindas rakyat. Intelektual bisa dijadikan alat legitimasi pemerintah dan modal untuk mempertahankan kekuasaan dengan membodohkan rakyat.

Lalu bagaimana menilai peran formal intelektual Katolik kini? Penulis membedakan menjadi empat peran intelektual Katolik berdasarkan kecenderungan, fokus peran dan garapan, tetapi klasifikasi ini tidak terpaku satu jenis klasifikasi. Ada beberapa intelektual Katolik yang tidak hanya berkiprah mengajar di kampus, kadang mereka terlibat dalam garapan bidang profesional ataupun menjadi penggerak LSM dan lain sebagainya. Seperti umumnya kehidupan umat Katolik lainnya, para intelektual Katolik itu pun berasal dari kalangan awam Katolik dan kaum klerus Katolik.

Pertama, peran mengembangkan ilmu pengetahuan. Area ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Mereka bekerja dalam sekolah atau universitas Katolik swasta dan negeri. Di Jawa Timur kita mengenal nama besar Pater Josef Glinka, SVD, I Basis Susilo, Edi Suhardono, Johan Silas, Armada Riyanto, CM, termasuk guru-guru di sekolah Katolik mulai dari TK, SD, SMP, SMU dan lain-lain.

Kedua peran profesional. Wilayah ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam praktik keprofesian tanpa meninggalkan basis keilmuannya dalam masyarakat. Model intelektual Katolik ini tersebar dalam berbagai macam profesi seperti wartawan, dokter dan lain sebagainya. Di Jawa Timur kita mengenal Errol Jonathans, Jangkung Karyantoro, Wolly Baktiono, dr Yudhayana, Max Margono, Anita Lie dan lain-lain.

Ketiga, peran elitis dan politis. Di samping memainkan peran keilmuan, ada beberapa intelektual Katolik yang berupaya tampil ke publik sebagai pimpinan organisasi (elit) atau tampil dalam dunia politik praktis dalam mengembangkan masyarakat. Mereka tergerak membadankan teori-teori keilmuan dalam praksis kemasyarakatan. Dari Jawa Timur, kita mengenal Ramlan Surbakti, Anton Prijatno, Adrianus Harsono, YA Widodo dan lain-lain.

Keempat, peran kultural (populis). Di sini diisi intelektual Katolik selain aktif dalam kegiatan akademik juga langsung terlibat dalam gerakan-gerakan rakyat. Misalnya aktif dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka terlibat dalam praksis langsung kehidupan masyarakat. Pada umumnya, mereka terbiasa dengan diskursus teologi pembebasan (pemerdekaan) yang banyak dikembangkan di daratan Amerika latin atau semangat Vincentius A Paulo pendiri CM yang terkenal dengan “Aku diutus untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin”.

Bagaimana orang muda Katolik (OMK) berperan seperti seniornya. Saya mulai mulai melihat kawan-kawan muda memulai gerakan cendekiwan tersebut. Di Jakarta sana ada Sebastian Salang, yang sering dimintai pendapat Kompas mengenai pandangan politiknya terkait parlementaria. Ada Boni Hargens yang mulai menunjukkan kekritisannya terhadap rezim SBY-Kalla. Ada juga Robert Endi Jaweng, yang saya amati sering menulis di Kompas terkait soal otonomi daerah. Ada juga Setyo Budiantoro, yang telaten dan peduli ekonomi-politik kaum bawah dan seterusnya.

Sejatinya kawan-kawan perlu didorong dan disokong, bahu-membahu dalam gerakan mewujudkan kesejahteraan dengan semua orang yang berkehendak baik, baik itu Islam, Kristen, Budha, Hindu, Khonghucu, aliran Kepercayaan dan lain-lain. Kawan-kawan muda perlu segera di sekolahkan lagi supaya secara keilmuan dan kemumpunian mendapat pengakuan dari publik, dengan demikian semakin mudah mendapat kepercayaan publik.

Kalau mau lebih jauh, dengan gerakan cendekiawan ini. Orang muda Katolik bisa merintis di banyak tempat kelompok-kolompok diskusi yang digabungkan dengan kelompok doa. Niscaya dalam hitungan tahun ke depan muncul kader yang secara rohani dan intelektual bisa dikatakan siap terjun dalam wilayah publik.

Sejatinya dengan kelompok itu kawan-kawan muda telah menciptakan kashun (kaderisasi setahunan-mungkin lebih) yang lebih mandiri, dan secara organisatoris bisa digerakkan seperti kasus kelompok pengajian usroh yang kelak menjadi sokoguru PKS. Ingat PKS tidak mempunyai ikatan sejarah dengan parpol mandiri, lahir karena konsolidasi kelompok pengajian, yang awalnya tidak demonstran, ketika menemukan momentum mereka berganti wujud menjadi salah satu lokomotif reformasi di tanah air. Karena kesiapan kader-kader mudanya berhasil merebut simpati masyarakat.

Peran Anggota/Pemain/Pengurus Politik

KETIGA, peran anggota/pemain/pengurus politik. Peran ini bisa dirintis orang muda Katolik, dengan terlibat dalam parpol politik yang dikehendaki dan memiliki prospek ke depan. Dengan terlibat dalam parpol, orang muda katolik bisa berkiprah secara nyata, di sana ia menemukan kawan atau lawan yang saling membesarkan.

Medan politik sesungguhnya mengkader secara alami orang muda Katolik. Dengan masuk wilayah itu, diharapkan mampu membangun basis massa dan jaringan dengan semua orang yang berkehendak baik. Sehingga suatu saat nanti, datangnya momentum, kita menjadi lebih siap menghadapinya.

Pertanyaannya orang muda Katolik mau masuk partai apa? Kita bisa memberi gambaran, partai berbasis sekuler-nasionalis relatif terbuka bisa dimasuki. PDIP, Golkar merupakan celah. Kita perlu mengingatkan, bahwa kompetisi juga terjadi dalam parpol. Kader GMNI, HMI, PMII, PMKRI, non ormas dan lain-lain berusaha masuk partai itu. Jadi orang muda Katolik perlu menunjukkan komitmen, nilai lebih yang lain sehingga tetap diperhitungkan.

Partai berbasis Islam terbuka, misalnya PKB, PAN memberikan peluang yang relatif bisa dimasuki. Kedua partai ini, walaupun berbasis Islam namun menerima kader yang beriman berbeda. Partai berbasis Islam lain seperti PKS, PBB, PPP relatif sulit ditembus orang di luar agama Islam.

Tidak menutup kemungkinan orang muda Katolik terlibat mengurus partai berbasis Katolik sendiri. Namun seperti diingatkan di atas perlu digarisbawahi kembali. Jika partai independen berbasis katolik ini mampu menyaring suara diluar Katolik itu akan memperbesar partai. Namun kalau basis dukungannya sekedar menyaring suara Katolik yang ingin mendirikan parpol sendiri, saya kira sulit untuk berkembang besar.

Sedikit Peta Katolik-Politik

BERIKUT adalah refleksi saya, terkait ”Ke Manakah Suara Umat Katolik Dalam Pilpres II?” (Harian Kompas Edisi Jawa Timur, 14 September 2004) beberapa waktu yang lalu sedikitnya bisa memberikan gambaran kekuatan Katolik.

Pemilihan presiden putaran kedua 20 September 2004 mendatang menyisakan dua pasangan, Mega-Hasyim dan Yudhoyono-Kalla. Dalam perjalanan menuju momentum itu menyisakan pertanyaan, ke manakah suara umat Katolik dalam pemilihan umum presiden kedua difokuskan?

Pertanyaan itu sering dilontarkan umat Katolik, maupun kalangan luar, yang ingin tahu sebenarnya ke arah mana pendulum dukungan dan gerakan moral dan politik dari Hierarki Gereja Katolik (kaum klerus) dan awam Katolik. Memang tidak ada data angka-angka yang menunjukkan peta suara umat Katolik dalam pemilihan presiden (pilpres) kali ini.

Lain halnya dengan umat Kristen, sebagian umat Kristen bisa langsung memilih pasangan Mega-Hasyim. Hal ini mengingat Partai Damai Sejahtera (PDS) merupakan mesin politik sebagian umat Kristen Indonesia, dan sejak awal mencoblos Mega-Hasyim, yang kini dikukuhkan dalam Koalisi Kebangsaaan.

Kalangan Katolik tidak mempunyai mesin politik khusus yang berbau Katolik. Pada periode 1998-2004, sebagian besar kalangan Katolik merasa tidak perlu membentuk Partai seperti era tahun 1950-1970 dikarenakan sebagian besar umat Katolik tidak mau terjebak dalam politik aliran yang cenderung sektarian.

Untuk mengetahui, ke manakah kekuatan Katolik diarahkan, sebelumnya kita perlu menyimak peta umum kekuatan Katolik. Secara umum kekuatan Katolik disangga dua kekuatan yang rata-rata dilandasi intelektualitas dan kristianitas, yang dirupakan dalam jenis panggilan hidup orang Katolik sendiri, yaitu panggilan khusus dan panggilan umum.

Panggilan khusus, orang Katolik yang terpanggil untuk melayani Tuhan dan umat, biasanya ditandai dengan hidup selibat, seperti pastor, suster, bruder, frater. Secara organisasi, mereka terikat dalam ordo/kongregasi/tarekat religius tertentu dalam kerangka hierarki Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan. Hierarki Gereja Katolik, pada periode ini sengaja menjauhkan diri dari keterlibatan dari politik praktis. Ia ingin tetap konsisten memisahkan wilayah negara dan agama. Ia tidak ingin terlibat terlalu jauh, seperti pengalaman masa lalu yang suram di dataran Eropa, yang pernah terlibat perselingguhan antara negara dan gereja.

Panggilan umum (biasa) yaitu panggilan hidup bagi orang Katolik untuk hidup dan berpartisipasi dalam masyarakat. kedua kekuatan tersebut tersebar dalam hampir semua lini, terutama jaringan pendidikan Katolik. Kaum awam mempunyai porsi lebih besar dalam bermain politik praktis, sedangkan Hierarki Gereja Katolik bermain dalam sisi moral.

Bila kedua kekuatan itu berpadu, sejatinya kekuatan Katolik tidak bisa diremehkan. Namun, saat ini masih berkembang pemikiran bahwa kaum selibat yang tergabung dalam hierarki Gereja Katolik, seperti pastor, suster masih dianggap sebagai kekuatan panggilan lebih tinggi dibanding dengan panggilan umum (kaum awam) yang berkeluarga.

Dalam Katolik masih berkembang apa yang disebut pastorcentris, sustercentris, di mana pastor atau suster masih dianggap sebagai sumber inspirasi berpikir dan bertindak, misalnya tidak afdal jika mengambil keputusan atau tindakan tanpa diputuskan pastor atau suster terlebih dahulu.

Pada dasarnya sampai saat ini, keputusan Hierarki Gereja Katolik, dalam hal ini Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) sangat dihormati oleh semua lapisan dalam lingkaran Gereja Katolik. Untuk mengetahui suara umat Katolik dalam pilpres, setidaknya ada dokumen KWI yang perlu dipelajari bersama. Teks ini penting dalam mempengaruhi secara moral pemilih Katolik dalam menentukan suara dalam pilpres mendatang. Teks itu adalah “Sapaan Pastoral KWI”, tertanggal 7 Mei 2004 yang berjudul Pilihan Anda Sangat Menentukan, Sapaan Pastoral Menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004.

Mendengar langsung sosialisasi Sapaan Pastoral KWI oleh Benny Susetyo, Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, KWI. Ada kesan Penjelasan Benny Susetyo,Pr yang berasal dari Keuskupan Malang ini, secara implisit memberi angin surga bagi pasangan Mega-Hasyim.

Ia mengemukakan latar belakang sisi positif dan negatif dari masing-masing capres. Dari penjelasannya, di situ dapat terlihat dan terbaca, penilaian positif yang terlontar paling banyak diarahkan pada pasangan Mega-Hasyim. Misal, terukur dan teruji, pertumbuhan ekonomi relatif stabil, penghargaan pluralitas dan lain-lain, Sedangkan pasangan lain lebih banyak disorot negatifnya. Selanjutnya ia mengemukana prinsip ”minus malum”, memilih yang terbaik dari semuanya yang relatif buruk.

Sapaan Pastoral KWI yang dituduh mendukung Mega-Hasyim. Sempat ditangkal J. Soedjati Djiwandono, tokoh awam Katolik, dalam tulisannya di majalah HIDUP, Nomor 32 Tahun ke-58, 8 Agustus 2004, dengan judul,”Sapaan Pastoral KWI Disalahmengerti”. ”Secara langsung atau tidak langsung, saya mendengar dari sementara umat Katolik awam bahwa “KWI menganjurkan kita memilih Mega-Hasyim.”

Ia membeberkan kesalahan pemahaman tekstual “masyarakat sipil yang menolak kekerasan”. Kalau Teks ini dibaca secara awam memang memberikan angin kepada Mega-Hasyim yang notabene sipil. Ia menyebut kesalahan tafsir terutama dalam butir ke 11 yang berbunyi,”Janganlah kita terlalu pendek ingatan. Hendaknya kita tidak mudah lupa sehingga mengulangi kesalahan di masa lampau. Kata pepatah “orang bertongkat pun tidak tersandung pada batu yang sama untuk kedua kalinya....”

Secara pribadi, penulis melihat ada kebingungan kecil umat Katolik dalam menentukan pilihannya. Kalau dilihat secara kultural, sebenarnya Katolik lebih dekat ke Nahdlatul Ulama (NU). Menurut pengalaman, NU masih bisa diajak kerja sama membangun persaudaraan sejati dalam semangat pluralisme masyarakat. Sosok Hasyim Muzadi yang mantan Ketua Pengurus Besar NU, memang menjadi ”ikon” NU dalam pilpres mendatang. Sehingga sangat mungkin akan dipilih umat Katolik dengan pertimbangan itu. Ini adalah sebuah cara menjaga hubungan baik dan keutuhan Katolik-NU. Apalagi hubungan aktivis Katolik dan NU di akar rumput sungguh dinamis, bila dibanding hubungan Katolik-Muhammadiyah yang lebih sering tersendat-sendat.

Di luar perkiraan itu, kita juga perlu menghitung arah suara awam awam Katolik berpengaruh. Sebenarnya, sejak tahun 1998, sebagian tokoh-tokoh awam Katolik, seperti Harry Tjan Silalahi, J. Kristiadi sempat mengincar dan menjagokan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam setiap forum pada tahun 1998, mereka sudah mulai mewacanakan Yudhoyono sebagai calon pemimpin dan presiden RI. Membaca polah Harry Tjan Silalahi, tokoh awam Katolik berpengaruh, yang banyak terlibat dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Front Pancasila, Partai Katolik era 1970-an, Centre for Strategic and International Studies, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan lain-lain ini sudah lama berhasil mengkolaborasi Katolik-NU-Militer.

Sejak generasi demonstran 1966, ia sudah runtang-runtung dengan Subchan, ZE, maestro muda NU di zamannya dan Gus Dur di era kini. Sejak 1970-an, sudah dekat dengan tokoh-tokoh militer sekaliber Ali Murtopo, LB Moerdani. Dalam skenario ini, sangat mungkin ia berupaya mengkombinasikan kekuatan Yudhoyono-Gus Dur untuk memenangkan Yudhoyono pada putaran kedua ini. Dengan meninggalnya tokoh misteri dan kunci di Republik Indonesia, tokoh awam Katolik daan purnawirawan militer, LB Moerdani pada 29 Agustus 2004 ini, kelompok ini akan sangat kehilangan satu pilarnya.

Melihat sekilas perkembangan itu, tampaknya suara umat Katolik sangat mungkin terbelah, tidak terfokus kepada salah satu capres tertentu. Di tingkatan internal Katolik aktivis Katolik, terdapat friksi tajam. Namun, saya menilai, golput bagi umat Katolik kemungkinan sangat kecil, mengingat seruan KWI yang menganjurkan kepada umat untuk memilih capres-cawapres. Jumlah umat Katolik tidak besar, akan tetapi bila dilihat dari kualitas suaranya seharusnya tidak bisa diremehkan. Tetapi untuk membulatkan satu pilihan tidak segampang membalikkan tangan.

Peran Pemodal-Politik

KEEMPAT, peran pemodal-politik. Peran ini mungkin sulit dilaksanakan bagi kaum muda Katolik, yakni terkait menjadi pemegang modal. Mengingat usia muda biasanya jauh dari modal. Namun demikian, ini bisa dirintis orang muda kita. Mengingat persoalan politik itu bukan semata politik, namun banyak gandengannya, yang relatif dekat adalah ekonomi.

Kawan-kawan muda Katolik, selain diarahkan melek politik ada juga yang diarahkan menguasai ekonomi baik dari sisi ilmu, bisnis dan modalnya. Mengingat apapun namanya yang namanya politik butuh sentuhan ekonomi (dari sisi ilmu ekonomi (kebijakan), bisnis dan modal.

Secara demografis, Umat Katolik di Indonesia sejatinya lebih diuntungkan. Mengingat umat Katolik banyak yang berasal dari etnis Tionghoa yang relatif banyak kuat dari sisi ekonomi. Namun demikian itu tidak otomatis bisa digerakkan. Namun dari sisi pembelajaran ekonomi, kaum muda Katolik mempunyai ruang belajar yang lebih besar dengan persoalan ekonomi (bisnis, modal dan ilmu).

Tidak dapat disangkal, kekuatan modal (ekonomi) yang akan mengarahkan gerakan politik Indonesia ke depan. Jika dipadukan kekuatan ekonomi dan politik bisa mengarahkan pada kesejahteraan bersama. Dengan catatan jika diatur dan diregulasi dengan baik dan dipimpin pemimpin dan staf yang baik, benar dan jujur.

Peran Kelompok Kepentingan dan Masyarakat

KELIMA, peran kelompok kepentingan dan Masyarakat. Peran ini bisa dimainkan manakala orang muda Katolik terlibat dalam NGO/LSM politik, baik yang bersifat garapan intelektual maupun akar rumput. Organ ini menyerukan seruan-seruan moral/politik yang mempunyai dasar intelektual, bisa disuarakan lewat selebaran/tabloid/buku kajian atau ditulis ke media massa untuk membangun opini publik.

Rupa NGO politik bisa macam-macam, bisa bersifat kajian, penelitian, survei, pemantauan pemilu/pilpres/pilkada dsb. NGO mempunyai anggota dan sistem, jika sistem dan anggota NGO mempunyai kredibilitas, tak ayal menjadi bahan rujukan ke mana mencari sumber berita/penelitian/ dan lain sebagainya.

Lembaga pun mempunyai daya tawar pada jaringan politik. Hingga suatu saat nanti ada yang membutuhkan baik yang bersifat kajian atau tenaga perorangan untuk menangani suatu kasus/lembaga. Person bisa direkrut dalam lembaga/komisi negara yang mempunyai nilai strategis, baik dari sisi kajian atau kebijakan.

Peran Penyelenggara Negara

KEENAM, peran penyelenggara negara. Salah satu tujuan politik mensejahterakan (rakyat) negara. Maka peran sangat strategis dalam politik adalah peran penyelenggara negara. Penyelenggara negara bisa dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga negara yang lain.

Menurut UU RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari KKN, KETENTUAN UMUM Pasal 1, Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam BAB II PENYELENGGARA NEGARA Pasal 2,
Penyelenggara Negara meliputi :
1. Pejabat Negara pada Lembaga tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara;
3. Menteri;
4. Gubernur;
5. Hakim;
6. Pejabat negara yang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, dan
7. Pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Anak tangga berpolitik adalah masuk wilayah itu. Apakah mudah? Ya, semua sekarang zaman kompetisi. Di samping kompetisi kita juga masih melihat problem nepotisme masih kuat. Siapa dan dari mana asal/latar belakang orang kadang mempengaruhi masuk wilayah itu. Di samping soal pengalaman, keahlian kompetensi, aksepbilitas, kredibilitas dan lain-lain. Wilayah ini memang sangat strategis dalam politik. Maka banyak orang mengincar wilayah posisi ini. Tidak mengherankan menjadi ajang rebutan.

Peran Penyelenggara, Pengawas dan Pemantau Pemilu

KETUJUH, peran penyelenggara, pengawas, pemantau Pemilu. Penyelenggara Pemilu dimaksud di sini adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik dari level pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Peran ini bersifat independen dari partai politik, lembaga ini berkontribusi besar bagi kelancaran Pemilu.

Pengawas Pemilu, berfungsi mengawasi Pemilu agar sesuai tahapan. Ini adalah lembaga dari pusat hingga daerah yang ditetapkan UU. Sedangkan Pemantau Pemilu bersifat kemandirian dari kelompok masyarakat yang independen guna memantau pelaksanaan Pemilu sebagaimana diatur UU.

Untuk berperan menjadi anggota penyelenggara dan Pengawas Pemilu diperlukan keahlian, ketrampilan, pengetahuan tentang tata caranya. Biasanya diisi oleh para ahli yang dianggap kompeten dan pengalaman. Namun demikian tidak ada salahnya untuk diusahakan oleh orang muda Katolik.

Mengenai Pemantau Pemilu memang bersifat mandiri dan independen, namun demikian perlu mendapat pengesahan KPU dan memenuhi syarat-syarat yang diatur UU. Namun tidak salah apabila kita mencoba. Menurut pengalaman banyak aktivis muda yang terlibat dalam pemantauan pada Pemilu terdahulu, baik dari KIPP, JPPR atau yang lainnya.

Peran Media Massa

KEDELAPAN, peran media massa. Media massa banyak dikatakan pisau bermata dua. Bisa berperan positif atau negatif dalam perkembangan masyarakat (politik). Banyak dikatakan media massa adalah pilar demokrasi, disamping eksekutif, yudikatif dan legislatif.

Media massa dipandang dari kacamata yang lebih positif, sejatinya mampu mendorong dan mengedukasi masyarakat tentang perubahan dan perkembangan politik. Dari sanalah opini publik dibangun.

Namun demikian, di tengah gencarnya arus media. Kadang ada kebimbangan, bahwa media massa terjebak dalam permainan bisnis belaka, unsur edukasi dan keberdayaan masyarakat kadang kurang diperhatikan.

Namun demikian, kita tidak perlu pesimis, bahwa sampai kini masih ada saja media massa yang relatif netral dalam pemberitaan dan opininya yang berorientasi kepentingan umum. Inilah modal yang sedikitnya membawa pada perubahan dan perkembangan Bangsa menuju yang lebih baik.

Tantangan Internal Katolik

INI dicuplik dari tulisan saya, Catatan Pasca Pilpres II: Setelah SBY-Kalla, Katolik Mau Apa? (Tabloid Jubileum Edisi 55. Tahun V. Oktober 2004). Katolik tidak perlu khawatir terhadap gelombang perubahan kepemimpinan di RI. Dulu, manajemen yang dianggap tangguh ada tiga, yaitu komunis, militer dan Katolik. Pasca hancurnya komunisme, organisasi militer dan organisasi Katolik masih tetap eksis. Konteks Indonesia, sebenarnya Katolik tinggal mempertajam atau merevitalisasi beberapa poin di antaranya: pertama, kaderisasi bersistem yang perlu disiapkan antara ”kader dan leader”. Kedua, pendidikan atau sekolah Katolik. Ketiga, budaya intelektualitas Katolik.

Tanpa bermaksud meremehkan kualitas lembaga-personal yang bekerja pada wilayah kaderisasi umat Katolik yang telah ada. Saya percaya, itu bisa digenjot lagi di tengah tarik-ulur konflik yang pernah melanda. Hal ini digunakan untuk memberdayakan kantong-kantong organisasi Katolik yang sudah mulai melemah untuk aktif dalam proses kaderisasi dan perjuangannya. Saya kira, pemimpin bisa lahir akibat proses kaderisasi yang berlangsung dalam organisasi. Contoh, TNI merupakan lembaga kader potensial di tanah air yang bisa menghasilkan leader (pemimpin).

Saya kira, dalam proses kaderisasi di lingkaran Katolik perlu ada tindakan legawa dari para senior. Legawa berarti tidak mengangkangi lembaga kader Katolik terlalu lama, demi kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat pribadi dan parsial. Karena tidak jarang organisasi kader Katolik rusak akibat ditempati terlalu lama oleh kadernya sendiri. Alhasil, proses kaderisasi tidak berjalan. Kalau tidak berjalan kemudian menyalahkan orang lain, seperti tidak ada perhatian hierarki Gereja Katolik, tidak ada peminat yang mau masuk organisasi dan seribu alasan lain, ketika ambang kehancuran di depan mata, tinggal berkata, ya..sudahlah..

Para awam Katolik harus mulai aktif turun gunung melakukan kaderisasi yang berkelanjutan. Kita boleh bangga kepada organisasi/ordo/kongregasi kaum selibat masih cukup konsisten dalam lembaga kaderisasi “seminari”. Kiranya, kaum awam harus mulai menyadari arti penting kaderisasi. Selama ini ada image, kaderisasi hanya hak pastor, misal pada kasus Lukas, SJ. Padahal umat awam Katolik yang cerdas dalam kaderisasi juga tidak sedikit. Memang diperlukan kesadaran kaderisasi umat, khususnya datang dari kalangan umat awam Katolik sendiri. Tanpa itu, Katolik akan kehilangan akarnya.

Selama ini berkembang dikotomi yang cukup mengganggu dan merisaukan, bahwa kaderisasi selalu dikaitkan dengan ”separasi” kasbul-non kasbul (madha-non madha), PMKRI-non PMKRI, seminari-non seminari dan lain-lain. Kadang di antaranya saling claim ”dirinya” yang paling jago. Tanpa maksud mengurangi ”spirit kesatuan, mereka terjebak dalam pertarungan internal yang kurang menguntungkan.

Di tambah lagi jebakan pada keterlibatan umat yang saling klaim antara menyuarakan aspirasi Katolik tidak harus membawa bendera Katolik, sampai menyuarakan aspirasi Katolik harus membawa bendera Katolik. Saya kadang kala tersenyum dengan perdebatan itu, belum seberapa menyuarakan aspirasi Katolik, sudah berdebat masalah klasik, yang menjebak tidak berbuat apa-apa, kaku, buntu alias nihilisme sejati. Agenda ke depan umat Katolik, lebih bersifat gerakan dengan mengkolaborasikan dengan “konsep”.

Katolik sejatinya bekerja pada wilayah ”general interest group” (kelompok berkepentingan umum). Dalam buku, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial karya Phil Astrid S. Susanto (Binacipta, 1979) didefinisikan, kelompok berkepentingan umum merupakan kelompok-kelompok yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan kelompoknya, melalui dan bersama dengan realisasi tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Walaupun demikian, maka Lasswell dan Kaplan mengatakan, bahwa setiap kelompok mempunyai kepentingan khususnya.

Untuk ini maka setiap kelompok mengenal ”pembagian ataupun tahap kepentingan, yang disebutnya principled interests dan expediency interests. Menurut mereka, principled interests adalah kepentingan pokok dari kelompok, yang itu sebab utama kelompok itu dibentuk. Sebaliknya expediency interests merupakan kepentingan-kepentingan yang menunjang kepentingan pokok tadi. Biasanya dalam merealisasikan kepentingan pokok maka kepentingan penunjang lebih dahulu direalisasikan daripada kepentingan pokok.

Memang agak sulit juga mensinergikan elemen-elemen Katolik dalam satu gerakan kaderisasi sekaligus. Butuh waktu untuk itu, apalagi setiap elemen juga mempunyai kepentingan-kepentingan sendiri, yang kadang kala harus berbeda dan berbenturan satu dengan yang lain.

Dikisahkan di sebuah pantai kumuh ”Maya”, ada dua sahabat yang tinggal, namanya Telaten dan Dabrus. Setiap hari mereka mengeluh akibat kotor dan kumuhnya kawasan pantai itu. Suatu ketika mereka benar-benar frustasi dengan keadaan lingkungannya. Tergeraklah hati Telaten untuk ”turun gunung”, hampir setiap sore ia mengambil sapu, lalu dari tangannya menata lingkungannya. Sementara itu, Dabrus mengetahui Telaten aktif menyapu, ia malah menggerutu dan mengeluh.

Hari berganti hari, tiada dinyana dan diduga, Telaten duduk di serambi rumahnya. Ia baru menyadari bahwa pantai Maya sekarang indah. Ia balik bertanya dalam dirinya, siapa yang membersihkan? Ia kembali tersadar, “Oh…ini berkat dari apa yang kulakukan tiap sore rupanya.” Di tempat lain, Dabrus tersadar dari tidurnya, hanya melongo dan ngaplo menyaksikan pantai Maya yang dulu kotor, kini menjadi indah. Tergerak atau Tertidur?

Tantangan Serius Bangsa

DENGAN peta peran yang tergambar tersebut, sejatinya kita mempunyai tantangan serius bangsa yang perlu dipikirkan dan dikerjakan bersama. Persoalan politik sejatinya tidak lepas dengan persoalan lainnya terutama masalah ekonomi. Kadang ada banyak jebakan dalam menerjemahkan kesejahteraan bersama.

Pertama, tegangan antara mensejahterakan diri dan mensejahterakan negara. Kadang ada banyak jebakan, di antara kita sering memperlemah area kesejahteraan bersama dengan menariknya dalam wilayah kesejahteraan pribadi. Akibatnya, kesejahteraan bersama tergerogoti oleh praktik kotor manusia internal bangsa sendiri, baik melalui korupsi, kolusi dan sejenisnya.

Kedua, persoalan politik menyangkut penyedotan sumber daya alam/sumber daya manusia/sumber daya data bangsa ini terus berlangsung oleh negara lain. Hal ini menyebabkan kesejahteraan bersama (umum) menjadi kurang. Kecerdikan penyedot asing sangat luar biasa dengan memanfaatkan tenaga domestik berpendidikan tinggi dan cerdas. Pada hakikatnya, tenaga domestik menjadi kaya. Namun, hasil lebih besar masuk kepada kepentingan asing. Sehingga kesejahteraan umum kita menjadi kurang. Itu banyak kasus terjadi pada negara kita.

Ketiga, kemandirian bangsa tidak saja pada wilayah politik, namun pada semua sektor terutama sektor perekonomian. Kita membutuhkan tenaga-tenaga ahli dan pemerintah dan swasta domestik yang mampu mengolah sumber daya manusia/sumber daya alam/sumber daya data. Kita tidak boleh terjebak sebagai penghasil sumber manusia/alam/data. Kita perlu mampu mengolahnya demi kepentingan bangsa. Niscaya jika ada kepercayaan diri bangsa untuk mengolah sumber daya bangsa sendiri, bangsa kita menjadi mandiri, berdiri tegak, tidak sekedar disedot/diekspoitasi asing, kita tidak jadi intelektual (politisi/birokrat/teknokrat/aktivis/ilmuwan) budak asing. Yang mengebiri/membonsai bangsanya sendiri.

Keempat, persoalan zaman pergerakan nasional seperti kemiskinan dan kebodohan dan sebagainya, kini masih di depan mata. Ini tegangan antara kemandirian bangsa dan ketergantungan bangsa akibat ekspolitasi asing. Ini problem bangsa kita hingga kini.

* Penyedotan tidak hanya terjadi masa penjajahan...

* Penyedotan sumber daya manusia, sumber daya alam, sumber daya data kini masih berlangsung...

* Mudah-mudahan dengan peran dalam segala lini utamanya ek-pol, generasi ini dengan cemerlang mengurangi eksploitasi dan ketergantungan kita pada bangsa lain...



* Disampaikan pada Temu Moderatores se-regio Jawa Plus 2008, Rabu, 9 April 2008 di Sasana Krida Jatijejer, Trawas, Mojokerto. Tulisan ini merupakan cuplikan dari beberapa tulisan saya terdahulu yang tercecer di media, ditambah analisa sederhana terkait peran politik masyarakat dan peran orang muda Katolik dalam gerakan politik di Indonesia. Ditulis dengan gaya populer.

** Pernah aktif dalam gerakan mahasiswa di Surabaya, Ketua Presidium DPC PMKRI Surabaya-Sanctus Lucas 1998-1999, senang menulis persoalan ekonomi-politik di beberapa media massa.