Rabu, 16 Maret 2011

Solidaritas Tandon Air PMKRI


Oleh Kanisius Karyadi


Hujan deras mengguyur Kota Surabaya di Bulan Desember 2009. Air mengucur sederas-derasnya, tiupan angin membuat pohon dan daun-daunan di sekitar Margasiswa PMKRI, (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Jalan Taman Simpang Pahlawan 4a Surabaya bergoyang-goyang ke sana dan ke mari. Terlihat beberapa anak manusia nekat menerobos hujan guna menyelesaikan tugas yang baru dimulai : menggali tanah untuk tandon penampungan air PMKRI.

Tampak Ani Boi Tokan, Louis Anggang, Yohan Lele, Ignas, Ita dan lain-lain yang semuanya anggota PMKRI bahu-membahu menggali tanah sedalam dua meter lebih. ”Ayo...sudah tarik,” begitu pekik Ignas dari dalam kubangan tanah, mengomando kawan-kawan di atas supaya menarik wadah yang sudah diisi tanah. ”Siap, tarik!” pekik Louis, sang Ketua Presidium PMKRI Surabaya mengomando kawan-kawannya.

Tidak terasa orang-orang muda itu berkubang dalam galian lumpur lima jam lebih. Hari memasuki senja, sementara hujan semakin deras tak menyurutkan langkah mereka. Saatnya mereka menurunkan bis beton ke dalam tanah. ”Wow...luar biasa berat bis beton ini,” keluh Yohan Lele, seorang anggota militan PMKRI. Namun berkat kerja sama yang luar bisa, satu demi satu bis-bis beton itu berhasil diturunkan.

”Wah kita ini calon intelektual kok nguli begini ya?” canda Yohan Lele yang bermandi air hujan dan keringat ini. Seorang senior yang ikut kerja bakti sosial itu pun menimpali,”Walah jangan kaget, lha wong Serikat Jesus yang konon pinter-pinter itu ujian saringan awalnya mereka harus nguli dulu he he he...” Mendengar celotehan seniornya, Yohan dan kawan-kawan semakin bersemangat menyelesaikan pekerjaan sosial ini.

Tidak terasa, 18 Desember 2009 pukul 20.00, hari sudah gelap. ”Sudah kita akhiri kerja bakti ini, besok kita kerja bakti lagi,” seru Louis Anggang kepada kawan-kawannya yang tampak haus dan lapar. Terlihat wajah lusuh dan loyo dihiasi penuh lumpur.

Keesokan harinya, kerja bakti solidaritas membangun tandon air dilaksanakan. Semakin banyak saja anak-anak PMKRI yang bergabung. Mereka bahu membahu dan bekerja sama, ada yang mengaduk semen dan pasir, ada yang menukang dan lain-lain. Akhirnya selesai tandon itu, tinggal dikasih waterproof supaya aman dan tahan lama.

Usaha kerja bakti ini sepenuhnya didanai sumbangan kawan-kawan sendiri dan beberapa donatur. Uniknya mulai Pak Satpam Keuskupan sampai Ketua Komisi di Keuskupan Surabaya turut menyumbang. Kecil-kecil dikumpulkan menjadi dua jutaan yang digunakan sepenuhnya untuk tandon dan sistem perpipaanya.

Tak terasa, kini sudah empat bulan tandon ini berfungsi. Kini margasiswa PMKRI lebih segar dari biasanya. ”Dulu air sulit, harus angkat-angkat, kini kita merasa terbantu dengan tandon dan pipa-pipa yang dipasang ini,” cetus Mbak Lis Gatot pengguni Margasiswa PMKRI Surabaya.

Louis dan kawan-kawan kini bisa mandi sepuas-puasnya. Air juga dimanfaatkan kawan-kawan untuk membangun kolam ikan lele. Lumayan, kita susah di awal, kini ada hasilnya. Terima kasih atas partisipasi dana dari Kak Ratna-Rekat, Pak Joko, Pak Morensius, Dewa, Urbanus, Afan, Yanto, Yudhit, Ani, Sil, Sita dan lain-lain, sehingga kami mempunyai tandon air yang sungguh bermanfaat. Ingatlah kebudayan di dunia diawali dari aliran air (sungai).



Seperti Belajar Naik Sepeda!


Oleh-oleh dari Pelatihan Menulis Opini LPEP

Oleh : AGUSTINUS AMAPOLI KARANGORA


Pada hari Sabtu-Minggu, 27-28 Maret 2010, diadakan pelatihan anak muda bagaimana membagikan ide, pemikiran, dan gagasan di media massa yang digelar Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik (LPEP). Pelatihan Menulis Opini (PMO) dibuka hari Sabtu, 27 Maret 2010, tepat pukul 10.00 WIB oleh Kanisius Karyadi dari LPEP dengan peserta 60-an anak muda yang berasal dari berbagai elemen.

Sebuah fakta yang tidak dapat dimungkiri, di saat banyak pihak mengeluh kesulitan untuk mengumpulkan orang muda dalam kegiatan menulis. Lembaga ini mampu mengajak 60 lebih orang muda untuk sejenak duduk dan berlatih menulis opini. Hal ini cukup memberi sebuah kejutan dan rasa bangga bagi Ahmad Zaini, Redaktur Opini Jawa Pos, yang membagikan kiat-kiatnya kepada para peserta. “Saya sangat kecewa ketika diminta untuk menjadi pembicara dalam kegiatan seperti ini di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya. Saya sudah capek-capek membuat makalah dan mengorbankan waktu saya bersama keluarga, ternyata peserta yang hadir hanya 5 orang. Lebih parah lagi, panitia masih kebingungan untuk mencari tempat.” ungkap Zaini kepada para peserta. “Oleh karena itu, saya sedikit pesimis ketika diminta menjadi pembicara oleh Karyadi.” ungkap Zaini lebih lanjut.

Menulis di Jawa Pos dan Kompas

Beragam alasan diungkapkan oleh para peserta, mengapa mau ikut PMO. Mulai dari hanya sekedar ikut-ikutan, mendapat teman baru, mengisi waktu luang, mendapatkan ilmu menulis, bekal untuk menjadi wartawan, belajar menulis opini dan buku, sampai untuk mendapatkan kiat-kiat menulis opini dan dimuat di media massa, seperti: Jawa Pos dan Kompas. Menanggapi hal tersebut, Karyadi pun memberikan catatan awal terkait menulis opini. “Menulis opini berbeda dengan menulis berita. Menulis opini sama dengan menulis gagasan Anda dalam sebuah tulisan disertai dengan teori, referensi dan data sehingga memunculkan solusi.” ungkap Karyadi dengan lantang.

Catatan Karyadi semakin dipertegas oleh Zaini. “Menulis hakikatnya tidak sulit. Menulis adalah ketrampilan sehingga harus dibiasakan dengan latihan. Menulis adalah perpaduan pengetahuan dan skill (ketrampilan). Topiknya harus aktual, dibutuhkan referensi (teori, data), dan timingnya (waktu) harus tepat.” urai Zaini dengan penuh semangat. Zaini juga mengungkapkan agar dalam mengirim opini ke media massa menggunakan email (surat elektronik), topik tulisan menarik. “Satu hal yang perlu diingat, kalimat yang digunakan dalam opini ringkas (15-20 kata),” ungkap Zaini.

Lebih lanjut, Zaini juga mengatakan agar opini yang mau dibuat disesuaikan dengan media massa yang dipilih (terkait segmen pasar). “Orang menulis seperti orang buang air kecil. Kalau ada ide, mulailah untuk menulis dan terus menulis. Tapi harus diingat, jangan mengirim tulisan kepada dua media dalam waktu bersamaan dan yang paling penting, jangan pernah menjiplak tulisan orang.” ungkap Zaini sambil tersenyum. Mengingat, dalam satu hari, tulisan yang diterima oleh redaksi cukup banyak, Zaini juga mengingatkan untuk berdoa agar tulisannya dapat dimuat. “Namun, satu hal yang lebih penting, jangan pernah minder kalau tulisannya tidak dimuat. Karena, menulis membutuhkan bakat; kalau tidak ada bakat (sudah mencoba berkali-kali tetapi gagal), ya jangan dipaksakan. Selain itu, koran besar seperti Jawa Pos dan Kompas, tingkat kompetisi dan kompetensinya tinggi. Oleh karena itu, mulailah dari tulisan-tulisan sederhana lalu dikirim ke media-media kecil.” ungkap Zaini mengakhiri pembicaraannya.

Anwar Hudijono, redaktur opini Kompas Jawa Timur mengatakan bahwa menulis sama dengan belajar naik sepeda. Keahlian berjalan berkembang seiring sering tidaknya seseorang menulis. “Menulis bukan untuk diri sendiri tetapi menulis untuk dapat dimengerti oleh orang lain. Substansi kesimpulan harus orisinil; artinya, harus berbeda dengan yang umum.” ungkap Anwar lebih lanjut. Selain itu, Anwar juga mengungkapkan bahwa penulis lama mempunyai penyakit sembrono sehingga kualitas opininya berkurang. Anwar juga mengingatkan untuk tidak bosan dan putus asa ketika tidak dimuat. “Mulailah dengan modal nekad. Selanjutnya, terus belajar dan mencoba dan jangan pernah menyerah kalau ditolak. Sehingga kelak bisa menjadi penulis handal.” ungkap Anwar mengakhiri pembicaraannya yang padat dan jelas.


Belajar dari Praktisi

Dalam even ini dihadirkan para praktisi atau penulis di media massa. Kalangan senior tampil Ignasius Basis Susilo, sementara penulis muda tampil Anton Novenanto dan Dewa Gde Satrya. Ignasius Basis Susilo, penulis opini di Kompas Nasional yang saat ini menjadi Dekan Fisip Unair Surabaya, mengungkapkan sembilan kiat-kiat dalam menulis opini di media massa. Kiat pertama, mengomentari tulisan yang dimuat koran, baik opini maupun berita. Kedua, selalu melihat topik hari ini (aktual). Ketiga, menulis sesuatu yang akan dirayakan bangsa/agama (plot hari-hari penting di kalender). Jangan mengirim, pada waktu hari H (minimal seminggu sebelumnya sehingga ada ruang bagi redaksi utk mengoreksi). Bisa juga, pada even-even tertentu, seperti: kunjungan Obama ke Indonesia. Keempat, menulis pertanyaan-pertanyaan. Kelima, membuat tulisan sesuai permintaan media (jumlah kata, 700-800 kata). Keenam, judul harus dibuat menarik (seksi, gaul). Ketujuh, harus yakin terhadap kemampuan diri sendiri. Kedelapan, menulis di koran-koran yang belum terkenal, seperti: Radar, Jubileum dan lain-lain. Kesembilan, jangan menulis yang tidak diketahui.

Basis juga menambahkan, unsur-unsur tulisan yang harus ada dalam sebuah opini adalah permasalahan, kesimpulan, pertanyaan, dan jawaban. “Yang terpenting, sebagai penulis, kita harus mempunyai sikap sendiri, jangan terbawa opini publik.” urai Basis menutup pembicaraannya. Menanggapi beberapa pertanyaan dari peserta, Basis mengatakan bahwa redaksi tidak pernah mempersoalkan point of view; jadi, jangan pernah takut untuk mulai menulis. “Tulislah apa yang Anda pikir, jangan dikoreksi dulu. Biarkan mengalir terus; baru, kalau sudah selesai, diedit.” ungkap Basis sambil tersenyum. Selain itu, Basis juga menambahkan bahwa opini yang dibuat harus mampu mengekspos sesuatu yang tidak benar dan mencari solusinya.

Lain halnya dengan Anton Novenanto, Dosen Universitas Brawijaya Malang dan penulis opini di Kompas Jatim. Menurut Anton, janganlah pernah mengaku sebagai penulis sebelum bisa menulis cerita untuk anak-anak. Sisi lain, Anton mengungkapkan bahwa warga Indonesia sudah bisa menulis sejak kelas 1 Sekolah Dasar. Tetapi, mengapa masih mengatakan “saya tidak bisa menulis”. “Ternyata, ada kesalahan dalam metode pembelajaran sastra Indonesia, terjadi reduksi untuk pelajaran mengarang dari guru. Padahal setiap manusia memiliki bakat untuk menulis.” ungkap Anton dengan lantang. Oleh karena itu, Anton pun mengajak peserta untuk mulai menulis dan setelah itu dikritisi sehingga mampu menghasilkan tulisan yang lebih baik.

Dewa Gde Satrya, Dosen Universitas Widya Kartika Surabaya dan penulis opini di beberapa media lokal dan nasional, seperti: Kompas Jatim dan Jawa Pos, menambahkan agar setiap orang yang mau menulis memiliki email. “Menulis sama dengan ngomong; ngomong dengan mulut, menulis dengan tangan. Namun, latihan untuk menulis harus lebih ekstra daripada ngomong; terlebih untuk tulisan yang dimuat dalam media.” ungkap Dewa dengan jelas. Dewa mengungkapkan bahwa ada banyak peluang menulis di koran, yaitu: opini, resensi, cerpen, surat pembaca, dan puisi. “Modalnya pun tidak sulit dan mahal. Hanya dengan sering internetan, sering baca koran, dan sering baca buku saja. Jika tidak punya komputer bisa pinjam (rental) dengan biaya yang cukup murah.” ungkap Dewa dengan penuh semangat.

Menulis Opini, Siapa Takut

Sekarang, sudah saatnya untuk mulai menulis. Tidak ada ungkapan lain, selain menulis dan terus menulis. Inilah semangat yang dibawa para peserta ketika mereka mulai berlatih untuk menulis. Satu sisi, banyak ide dan gagasan, namun tidak mudah untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. Ini terbukti, dalam satu jam, ada peserta yang mampu menghasilkan sebuah opini tetapi ada juga yang belum selesai. Sisi lain, sebuah kejutan tentunya karena ada peserta yang notabene SMA, namun mampu menghasilkan sebuah opini yang mampu memancing tanggapan dari banyak peserta lain.

Tentunya, tidak cukup dua hari saja untuk berlatih menulis opini dan dimuat di media massa besar seperti Kompas dan Jawa Pos. Banyak latihan dan usaha yang harus dilakukan; cukup dengan sering untuk menulis dan menulis. Alhasil, lima tahun ke depan, akan muncul penulis-penulis opini baru bermunculan di berbagai media massa yang mencerahkan banyak orang.


Membibit Kolumnis



Kanisius Karyadi




Merancang dan melaksanakan acara secara independen (mandiri) terbilang gampang-gampang susah. Dengan bekal kepercayaan diri dan jiwa besar, pada akhirnya pelatihan menulis opini bagi kaum muda oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik (LPEP) pada tanggal 27-28 Maret 2010 di Penginapan Widya Kartika, Surabaya terlaksana dengan baik dan aman.


Acara yang pada awalnya diragukan dan dicurigai oleh beberapa kalangan itu akhirnya bisa direalisasi dengan lancar. Terbukti, 60 orang lebih mengikuti pelatihan ini. Suatu angka yang langka dan ajaib, bahwa selama ini ”pendapat umum” mengatakan ”mengumpulkan dan melatih anak muda dalam jumlah relatif banyak sangat sulit” ternyata digugurkan dalam even ini. Banyak orang heran dan bertanya-tanya dari mana jumlah peserta sebanyak itu?

Peserta Pelangi

Anak muda yang hadir beragam latar belakang, ada yang Katolik, Kristen dan, Islam. Mulai dari anak jalanan, muda-mudi Katolik (Mudika), aktivis gerakan mahasiswa, dosen muda, pekerja muda sampai calon pastor.


Organisasi/lembaga seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Airlangga Surabaya, Pemuda Katolik, GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) Surabaya, PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) Surabaya, PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) Surabaya dan Madiun, Seminari Tinggi Providentia Dei, Gema (Generasi Muda Adonara) Surabaya, Yayasan Merah Merdeka, Komisi Remaja Katolik Keuskupan Surabaya, Yayasan Bina Insan (YABISA), Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Vincentius a Paulo Surabaya, Komunitas Rumah Kita, Pramuka dan lain-lain berpartisipasi dalam acara ini.


Ini merupakan wujud Indonesia mini, simbol dialog kehidupan berlangsung dan dijalankan secara dini. Dari sinilah kelak dimungkin persahabatan dan persaudaran terbina dengan baik. Ini wujud dialog praksis dan nyata, tanpa teori-teori yang ndakik-ndakik (tinggi-tinggi).


Pendanaan dari Mana?

Banyak pula orang bertanya dari mana sumber dana pelatihan ini? Terus terang kita katakan, pada awalnya kita mendanai secara mandiri, namun pada even kali ini, kita mengundang seluas-luasnya pribadi atau lembaga yang mau dan peduli (nama-nama Donatur terlampir). Kita terinpirasi Barack Obama ketika kampanye didanai oleh masyarakat (publik).

Banyak tudingan miring, di antaranya didanai salah seorang kandidat kepala daerah Kota Surabaya yang buntutnya minta dukungan suara. Di lapangan kita buktikan, tidak ada seremoni kampanye-kampanyean. Hal ini pernah pula dituduhkan kepada penulis, ketika mendorong transformasi Pemuda Katolik Jawa Timur beberapa waktu yang lalu. Penulis dikira sedang main mata dalam pemilihan gubernur Jawa Timur. Di lapangan, kita benar-benar bersih dari tuduhan tersebut.

Tudingan lain, kita dicurigai mencari dana demi kepentingan diri sendiri. Kita tidak sedang mencari keuntungan material dari acara ini. Justru banyak hal yang telah kita kurbankan untuk even ini, baik waktu, tenaga, biaya dan lain-lain. Kita bekerja tidak pada hari pelaksanaannya saja, jauh hari sebelumnya kita sudah bekerja, bahkan 9 tahun yang lalu.


Mengenai proposal yang kita keluarkan, itu sejatinya mengandung muatan penelitian tertentu..
Sejatinya kita mempunyai misi yakni melatih generasi muda agar terampil menulis opini dan menyuarakan di wilayah publik. Istilahnya kita mau mencetak penulis kolom (kolomnis) yang cerdas dan berani bagi perkembangan masyarakat. Di Jawa Timur, kayaknya program ini langka, sangat jarang dilakukan pribadi dan kelompok mana pun. Even ini murni digerakkan umat biasa dan muda, konsekuensinya mencari dananya relatif berat. Mencari dana 10 juta perlu pontang-panting. Pada akhirnya berhasil, berkat ”warga yang peduli dan baik”.


Negosiasi Berat

Hal yang tak boleh diremehkan adalah kehadiran pembicara. Dalam even ini dihadirkan dua narasumber dari dua koran yang berpengaruh yakni Kompas dan Jawa Pos. Selain itu tiga dosen/praktisi dari perguruan tinggi di Jawa Timur. Untuk menghadirkan mereka tentu tidak semudah membalikkan tangan. Setelah melalui prosedur, lobi dan negosiasi yang lumayan berat, pada akhirnya mereka bersedia hadir.

Satu hal yang sedikit melegakan, lima pembicara yang hadir rata-rata heran,”Lha kok bisa menggelar acara menulis opini dihadiri banyak anak muda dan gratis.” Padahal, selama ini dalam catatan mereka pelatihan-pelatihan semodel, pada umumnya sepi peminat.

Salah seorang peserta dalam suratnya ke penulis mengatakan,”Salut buat LPEP yang telah mengadakan acara ini. Tidak selamanya yang gratisan itu murahan. Kali ini LPEP membuat statemen itu tumbang, walaupun gratisan, menu yang disajikan berkualitas, baik ilmu maupun pelayanan selama dua hari di area penginapan. Terus maju, jangan pernah lelah menularkan ilmu bagi generasi penerus bangsa.”

Akhirnya, terima kasih kepada semua donatur, pembicara, team kerja lapangan seperti Rini, Fina, Agus, Ifah, Silworu, Dewo, tanpa Anda, penulis bisa botak dini. Terima kasih kepada peserta, dalam tahun-tahun mendatang kita menunggu buah pikiran cemerlang anda... Matur suwun.

Kanisius Karyadi
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik (LPEP)





Data Penyumbang

1. Didik Prasetiyono-eks anggota KPU Jawa Timur 250,000
2. Paroki Sakramen Maha Kudus, Surabaya 300,000
3. Bapak Lukito Kartono, UK Petra 250,000
4. Ibu V.Dwi Hartiningrum, Gresik 1,500,000
5. Paroki Aloysius Gonzaga, Surabaya 250,000
6. Paroki Hati Kudus Yesus, Surabaya 1,500,000
7. Bapak Kuncoro Foe, Universitas Widya Mandala 100,000
8. Panitia APP Keuskupan Surabaya 200,000
9. Bapak C Jemmy Sunur, Surabaya 100,000
10. Paroki Santo.Yakobus, Surabaya 350,000
11. Yayasan Widya Mandala Surabaya 500,000
12. Paroki Roh Kudus, Surabaya 750,000
13. Paroki Vincentius a Paulo, Surabaya 300,000
14. Bapak Afan Anugroho, Jakarta 500,000
15. Paroki Santo Paulus, Juanda 250,000
16. Bapak Anton Prijatno SH, Surabaya 1,000,000
17. Paroki Redemptor Mundi, Surabaya 500,000
18. YABISA Surabaya 100,000
19. Bapak Vincentius Awey, Surabaya 500,000
20. Paroki Gembala Yang Baik, Surabaya 150,000
21. Ibu Lilian Gowi, Surabaya 150,000

Total 9,500,000

RIP Mama Mady, Ibunda Uskup Surabaya


Ditulis ulang : Lambertus Lusi Hurek (REDAKTUR RADAR SURABAYA)
Kwa Siok Nio (87 tahun) alias Ursula Madijanti, ibunda Uskup Surabaya Mgr Sutikno Wisaksono, tutup usia di RKZ Surabaya pada Selasa (18/10/2010) pukul 14.15. Sepanjang hidupnya, mendiang Mama Mady dikenal sederhana, tekun, dan sangat religius.
Setelah menikah dengan Oei Kok Tjia (sekarang almarhum), pegawai Penataran Angkatan Laut (PAL), pada 30 April 1950, Kwa Siok Nio tinggal bersama suaminya di Perak Timur 216 Surabaya. Dua tahun kemudian, tepatnya 27 Juni 1952, pasutri muda yang masih punya hubungan kekerabatan ini dikarunia anak pertama, Oei Lwan Nio.
Tak lama kemudian, 26 September 1953, lahir anak kedua yang diberi nama Oei Tik Hauw. Kelahiran anak laki-laki ini, sebagaimana keluarga Tionghoa umumnya, disambut sukacita pasutri Kok Tjia-Siok Nia. Sang papa yang pegawai negeri ini sengaja menamai anaknya Tik Hauw, artinya kebijaksanaan yang indah. Kelak, Tik Hauw tumbuh menjadi rohaniwan Katolik yang mumpuni hingga ditahbiskan sebagai uskup Surabaya oleh Julius Kardinal Darmaatmaja SJ di Lapangan Bumimoro, Surabaya, 29 Juni 2007.
Ketika Tik Hauw berusia dua tahun, Siok Nio dikarunia seorang putri lagi. Anak ketiga ini diberi nama Oei Swan Nio. Dokter Hartles kemudian menyarankan agar pasutri ini menghentikan punya momongan. Sang dokter khawatir pernikahan sedarah ini berpotensi melahirkan anak yang tidak normal. Saran dokter keluarga pun diikuti, sehingga Swan Nio menjadi anak bungsu.
Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Tik Hauw (kelak bernama Vincentius Sutikno Wisaksono) paling disayangi papa dan mamanya. Tik, tutur Siok Nio suatu ketika, sangat lucu, lincah, dan periang. Dia juga selalu lekat alias kinthil dengan mamanya. Porsi makan untuk Tik pun biasanya lebih banyak ketimbang dua saudarinya. Biasanya, Kwa Siok Nio membagi satu telur untuk ketiga anaknya. Nah, Tik selalu mendapat jatah separo, sedangkan Lwan Nio dan Swan Nio masing-masing kebagian jatah seperempatnya.
Meskipun mendapat porsi makan lebih banyak, ternyata kondisi fisik Tik lebih lemah dari kakak dan adiknya. Tik mudah sakit. Ini sangat merepotkan sang mama, Siok Nio, mengingat sang suami sering berdinas ke luar daerah, bahkan keluar negeri dalam waktu lama. Mama Mady, sapaan akrab Kwa Siok Nio di rumah, pernah pusing tujuh keliling gara-gara Tik Hauw punya luka (borok) yang tak sembuh-sembuh. Beberapa kali diobati, dibawa ke dokter, borok itu tetap saja membandel.
Tik Hauw kemudian dibawa ke rumah tetangga, Sutiksno, untuk diobati dengan obat luka spesial. Aha, beberapa hari kemudian borok itu akhirnya sembuh. Sutiksno dan istri, Suharni, kemudian ikut berperan penting dalam perjalanan rohani keluarga Oei Kok Tjia.
Ketika menikah di Surabaya, Siok Nio sebenarnya sudah ingin diberkati secara Katolik meskipun saat itu dia belum resmi menganut Katolik. Dia terkesan dengan dedikasi para misionaris, khususnya pastor-pastor Karmelit asal Belanda sewaktu tinggal di Lumajang. Dia juga terkesan dengan liturgi syahadu di gereja Katolik pada era 1960-an. Saat itu perayaan ekaristi atau misa memang dilakukan dalam bahasa Latin dengan lagu-lagu gregorian yang khas.
Namun, untuk dibaptis secara Katolik perlu proses yang agak lama. Siok Nio mulai rajin ke gereja meski harus duduk di bagian belakang. Waktu itu memang ada tradisi bahwa umat yang belum dipermandikan tidak boleh duduk di depan. Toh, Siok Nio senang melihat putranya, Tik Hauw, aktif menjadi misdinar atau putra altar di gereja.
“Padahal, saat itu Tik belum dibaptis,” kenang Siok Nio beberapa waktu silam.
Berkat ketekunan Kwa Siok Nio mengikuti pelajaran agama selama empat tahun, dan rajin misa di gereja, akhirnya pada 7 Mei 1966 seisi keluarga Oei Kok Tjia dibaptis di Gereja Santo Mikael, Tanjung Perak, Surabaya, oleh Romo A van Rijnsoever CM. Tik Hauw saat itu duduk di kelas enam sekolah dasar (SD). Setelah dibaptis, kelima jemaat baru ini mendapat tambahan nama santo/santa di depan nama Tionghoa. Nama-nama mereka menjadi Stefanus Oei Kok Tjia, Ursula Kwa Siok Nio, Maria Regina Oei Lwan Nio, Vincentius Oei Tik Hauw, dan Vincentia Oei Swan Nio.
Perkembangan politik dan keamanan pascaperistiwa G30S/PKI membuat warga keturunan Tionghoa di tanah air harus tiarap. Muncul aturan agar warga Tionghoa mengganti namanya dengan nama-nama Indonesia. maka, atas masukan Sutiksno, tetangga depan rumah di Perak Barat 221, nama-nama mereka pun diganti lagi. Stefanus Oei Kok Tjia ‘disesuaikan’ menjadi Stefanus Widiatmo Wisaksono. Ursula Kwa Siok Nio menjadi Ursula Madijanti. Ini karena sejak kecil Siok Nio memang punya nama kecil Mady. Maria Regina Oei Lwan Nio menjadi Maria Regina Reniwati Wisaksono. Vincentius Oei Tik Hauw menjadi Vincentius Sutikno Wisaksono. Vincentia Oei Swan Nio menjadi Vincentia Mia Swandajani Wisaksono.
Sebagai pegawai negeri dengan penghasilan pas-pasan, Kwa Siok Nio yang kini bernama Ursula Madijanti merasakan betul beratnya beban hidup. Semua anggota keluarga harus kerja keras agar bisa bertahan hidup sebulan. “Sebab, belum tanggal 10 gajian sudah tipis,” kenang Ursula Madijanti.
Karena itu, dia pernah meminta Tik Hauw alias Sutikno Wisaksono agar tidak menjadi pegawai negeri. “Anakku ojo sampek dadi pegawai negeri. Iso kere!” katanya. Namun, Ursula dan suami pun tak pernah membayangkan anak laki-laki satu-satunya itu memilih menjadi pastor dengan masuk seminari. Ini berarti Sutikno tak akan berkeluarga, punya istri dan anak.
Namun, Pak Wisaksono dan istri akhirnya dengan bijak menerima kenyataan ini. Mereka merelakan Sutikno menempuh pendidikan di Seminari Menengah Santo Vincentius a Paulo di Garum, Blitar. “Sudahlah, ini sudah jalan Tuhan. Tuhan sudah atur. Kita harus percaya kalau ini jalan yang terbaik,” kata Wisaksono yang meninggal dunia akibat komplikasi diabetes pada 12 November 1996.
Berkat dukungan orangtua, perjalanan imamat Sutikno berjalan mulus. Pada 21 Januari 1982, frater muda asal Tanjung Perak ini ditahbiskan sebagai imam (pastor) di Gereja Katedral Surabaya. Sang mama yang berurai air mata ketika melepas anaknya ke seminari beberapa tahun silam, kini juga tak kuasa menahan linangan air mata. Mama Mady bahagia karena cita-cita Sutikno akhirnya terwujud.
Ketika Romo Sutikno ditunjuk Paus Benediktus XVI menjadi uskup Surabaya menggantikan Mgr Johanes Hadiwikarta, yang meninggal dunia, mata Mama Mady untuk kesekian kalinya berkaca-kaca. Dan kalimat yang pernah dilontarkan Stefanus Wisaksono, almarhum suaminya, pun diucapkannya dengan yakin. “Njootje (sapaan akrab Sutikno), jalan Tuhan adalah yang terbaik!”
Bagi Mgr Sutikno, kenangan yang paling berkesan dari sang mama adalah kesederhanaan, kejujuran, dan ketetekunan berdoa. Doa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup Ursula Madijanti. Bahkan, setelah jadi uskup pun, Mgr Sutikno masih juga diingatkan agar tidak lupa berdoa.
“Njootje, kamu jangan lupa berdoa ya! Jangan lupa berdoa!” pesan Ursula. Mgr Sutikno sendiri tersenyum simpul mendengar imbauan mamanya.
“Saya ini sudah uskup, tapi selalu disuruh berdoa oleh ibu saya,” cerita monsinyur di sejumlah acara. Hehehe.... Umat pun tertawa-tawa mendengar cerita ini.
(*)CATATAN:Bahan-bahan utama dikutip dari buku MAESTRO DARI PERAK, biografi Mgr Sutikno karya Kanisius Karyadi. Bekas ketua PMKRI Surabaya yang mulai merintis karier sebagai penulis buku, petani, dan pengelola koperasi kredit. Matur nuwun Cak Karyadi lan Ning Sisilia.

Jumat, 04 September 2009

Suka Duka Karyadi Menulis Buku Biografi Uskup Surabaya


Istrinya menganggap Proyek Kentir dan Sinting


Oleh Heti Palestina Yunani

Wartawan Radar Surabaya, dimuat Rabu 25 Juli 2007.


Sejak mendengar nama calon uskup Surabaya, niat Kanisius Karyadi menulis buku biografi Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono tercetus begitu saja. Namun, tak mudah buat Karyadi menulisnya. Ia menganggap buku itu juga menjadi ujian kesabarannya. Leganya, tepat di hari penahbisan, buku itu luncur.

Kalau saja bukan dari niatan sendiri, buku berjudul Sang Maestro dari Perak tak bakal dirampungkan Kanisius Karyadi tepat waktu. Selama menulisnya dua bulan, Karyadi mengandalkan keinginan kuatnya mengenal Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono lebih dekat.

Mulai ide, tenaga, pikiran hingga biaya ditanggung Karyadi sendiri, termasuk puasa tiga hari agar ia kuat menggarapnya. ”Istri saya saja sering bilang ini proyek kentir dan sinting,” kata pria kelahiran Surabaya, 24 Agustus 1975 ini.

Sebagai umat Katolik yang menunggu datangnya sang uskup selama tiga tahun, Karyadi memang amat penasaran tentang orang istimewa yang menduduki tahta agung itu. Saat berlangsung Misa Pemberkatan Minyak Krisma di Gereja Katedral Surabaya, 3 April 2007, Karyadi hadir.

Ia mencatat momen penting pengumuman calon uskup Surabaya itu dengan detil. ”Saya tahu betul kapan jam Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono disebutkan sebagai calon uskup. Jam di HP saya menunjukkan pukul 18.16,” kata Karyadi, yang sempat jatuh sakit di tengah penulisan.

Sejak itu, Karyadi punya niatan untuk menulisnya. Meski tak tahu apa-apa soal Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, ia percaya diri saja. Perburuan bahan dari berbagai sumber ia mulai dari dari Keuskupan Surabaya untuk mencari tahu keluarga Mgr Tikno-panggilan Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono. Terjalinlah komunikasi dengan adik Mgr Tikno, Mia Aryono. Dari sumber awal ini, merembetlah informan mulai ibunda Mgr Tikno, Ursula Madijanti, hingga kakak Mgr Tikno, Reniwati.

Tak hanya keluarga, perburuan bahan tentang siapa Mgr Tikno dan kiprahnya bergulir dari sejumlah orang yang mengenal romo dan berbagai tempat di beberapa kota. Karyadi harus menemui mantan guru SDK St. Mikael Surabaya, Rosa Maria Wigati, di Kediri.”Bu Rosa ingat ketika Mgr Tikno menangis minta tolong karena baju seragam sekolahnya disilet teman. Ini temuan mengagumkan,” kata mantan ketua presidium DPC PMKRI Surabaya Sanctus Lucas ini.

Juga dari guru bahasa Inggris SMP AC Sugianto. Keluarga besar Seminari Menengah Garum di Blitar, didatanginya. Beberapa orang di Mojokerto, Malang, Sidoarjo, dan Surabaya yang didapatnya dari getok tular. Termasuk menelusurinya dari SDK St. Mikael Surabaya, keluarga besar Gereja Katolik Santo Mikael sampai Seminari Tinggi Interdiosesan Giovanni XXIII Malang dan sejumlah tempat dan nama yang tidak bisa disebutkan. ”Saya ngotot ketemu banyak orang karena banyak hal yang terkuak tentang Mgr, saya mau tulisan saya lengkap,” kata penulis buku Katolik Merah Putih ini.

Kelengkapan data itu sempat membuat Mgr Tikno terkagum dengan upaya bapak satu anak ini menulis biografinya. Saat bertemu kali pertama di Keuskupan Surabaya, Mgr yang semula menolak ditulis, akhirnya bersedia.

Dengan data-data yang sudah didapat itu, Karyadi menjadikan kata kunci untuk meyakinkan Mgr Tikno tentang niat baik itu. ”Saya pancing Mgr dengan memanggil nama aslinya, Oei Tik Hauw. Beliau terperanjat betul karena tak semua orang tahu. Apalagi, nama asli Tionghoa ayah, ibu dan saudara-saudaranya saya sebut. Termasuk kebiasaan misuh Mgr di masa muda,” kata suami Cecilia Dessy Vita, yang mencatat tertulisnya karya ini sebagai keimanannya kepada Tuhan.

Kegaguman Mgr Tikno makin bertambah ketika beberapa foto dari benda pribadinya dipotret. Misalnya cangkir aluminium yang dipakai di Seminari Garum, Blitar pada tahun 1970 - 1974, gambar tangan saat duduk kelas 2 SMP di Angelus Custos Surabaya berjudul In The Afternoon. Yang paling membuat terhenyak Mgr Tikno adalah foto meja kayu yang masih dipakai di seminari.

Dengan terkejut, Mgr Tikno pun luluh. Ia balik memuji Karyadi yang dianggapnya terlalu banyak tahu tentang pribadinya ketimbang orang lain.

Sekilas Gentong Makmur Credit Union (CU)

Credit Union (CU) ini diberi nama Gentong Makmur, arti filosofisnya : Gentong adalah tempat penyimpanan sesuatu yang berharga dan memberikan kemakmuran kepada anggota yang mengelola lembaga ini. CU ini didirikan di Surabaya, 30 April 2009 oleh kalangan muda seperti Kanisius Karyadi, A. Heru Siswoyo, Dewa Made RS, Silvester Woru dan Agustinus Sepanca Naryanto.
Credit Union berasal dari kata credere yang artinya kepercayaan, dan union yang berarti kumpulan. Bisa diartikan Credit Union adalah sekumpulan orang yang saling percaya dan bersepakat untuk mengumpulkan modal bersama, kemudian dipinjamkan kepada sesama anggota untuk tujuan produktif dan kesejahteraan bersama, yang dikelola secara profesional sebagai lembaga milik bersama.

Credit Union memiliki ciri-ciri
Koperasi
· Anggota adalah pemegang saham.
· Ada pendidikan dan pelatihan anggota, pengurus, pengawas dan pengelola.
· Tempat meminjam dan menyimpan modal.

Bank
· Produk Simpanan.
· Produk Pinjaman.
· Sistem Pengelolaan yang profesional.

Asuransi-Produk perlindungan bagi anggota dalam bentuk:
· Perlindungan pinjaman.
· Perlindungan simpanan dalam bentuk santunan duka
· Solidaritas duka cita.

Tujuan CU
Membangun kesadaran kritis dan cerdas.
Membangun kesadaran hidup hemat, terencana dan bervisi ke depan.
Meningkatkan kecakapan pengelolaan keuangan.
Meningkatkan kemampuan untuk mengelola usaha dan mengembangkannya.
Meningkatkan kesejahteraan anggota dan keluarga.
Menyiapkan masa depan yang berkualitas dan sejahtera.
Memberikan pelayanan simpan dan pinjam yang cepat, simpatik dan profesional
Kesadaran menabung secara teratur, meminjam dengan bijak dan tertib mengangsur.
Membangun kesadaran dan solidaritas.

Manfaat sebagai anggota CU
· Memiliki saham berarti mempunyai kepemilikan atas CU dan mendapat sisa hasil usaha berupa deviden dan balas jasa saham.
· Mendapatkan fasilitas simpanan investasi
· Pinjaman dan jasa pinjaman ringan
· Memperoleh santunan duka apabila anggota meninggal.
· Mendapatkan proteksi / asuransi bebas premi terhadap simpanan saham dan pinjaman terhadap anggota CU yang terkena musibah (meninggal atau cacat tetap). Ahli waris akan mendapatkan klaim berupa penghapusan pinjaman dan santunan duka sesuai dengan peraturan yang ditetapkan.

Cara menjadi Anggota Gentong Makmur Credit Union
Mengisi formulir pendaftaran dilampiri identitas diri yang berlaku, seperti KTP, SIM, dlll.
Membayar simpanan pokok Rp 50.000,- (sekali saja)
Membayar simpanan wajib Rp 10.000,- per bulan
Menabung simpanan sukarela (bebas).

Anda berminat bergabung menjadi anggota Gentong Makmur CU, kontak kami :
Kanisius Karyadi, Ketua : 031-71628697
Silvester Woru, Sekretaris : 081-332435677
Agustinus Heru Siswoyo, Bendahara : 081-332696518
Alamat sementara : Perum Candramas AD 20 Sedati Sidoarjo.

Kamis, 03 September 2009

Perlunya Memproduktifkan THR



Oleh KANISIUS KARYADI



Dua minggu sebelum Lebaran, pada umumnya para buruh mendapatkan tunjangan hari raya (THR). Bagi buruh hal itu sungguh menyenangkan dan membahagiakan sebab THR bisa menambah kas penerimaan pribadi. Namun, penulis merumuskan sebagian besar penerimaan THR oleh buruh sekadar menambah penerimaan sementara. Sebab, dalam hitungan beberapa minggu atau bulan dana cair itu cepat menguap.

Menurut pengalaman dan pengamatan lapangan, ada beberapa hal yang menyebabkannya. Satu di antaranya adalah memenuhi kebutuhan sehari-hari dan godaan untuk konsumtif. Sering kita jumpai, jumlah upah yang diterima buruh dalam sebulan, boleh dikata sekadar cukup untuk hidup sederhana. Tidak jarang buruh perlu mengutang untuk memenuhi kebutuhan lain. Misal menyekolahkan anak, memperbaiki/mengontrak rumah dan seterusnya.

Ada pengalaman menarik seperti diungkapkan Mohammad Faqih (55) dan Syafiudin (32), masing-masing adalah buruh di dua perusahaan swasta di Surabaya. Mereka mengungkapkan bahwa THR ibaratnya air yang numpang lewat saja, sebab uang itu mesti dibagi-bagi untuk pos anggaran membayar utang dan memenuhi kebutuhan sendiri seperti biaya makan minum, listrik dan lain-lain.

Dorongan konsumtif itu dipicu oleh kepungan dan bayangan ratusan iklan. Baik yang melalui radio, TV atau media lain yang menggoda untuk belanja sekadar memenuhi keinginan. Iklan begitu hebat menguasai alam sadar dan bawah sadar. Secara perlahan namun pasti dibawa ke wilayah konsumsi. Sebenarnya mengkonsumsi barang/jasa yang diiklankan tidak salah. Namun, kita sering terjebak mengkonsumsi berdasarkan keinginan semata. Tanpa menghitung barang/jasa itu benar-benar menjadi kebutuhan primer. Celakanya, barang atau jasa yang dikonsumsi nilai harganya relatif tinggi. Hal itu menyebabkan kita menganggarkan sebagian dana untuk barang/jasa yang sebenarnya bukan yang utama.

Dengan memenuhi keinginan itu, dipastikan menyedot kas penerimaan. Dilihat dari nilai produktivitas dari barang itu sebenarnya relatif kecil karena hanya memberikan rasa bangga atau rasa senang yang sifatnya sementara. Hal lain yang cepat menguras THR adalah kebutuhan mudik. Lebaran merupakan peristiwa rohani yang suci. Pada umumnya disertai tradisi mudik ke daerah tertentu yang dinilai bermakna historis, bermuatan suasana silaturahmi dan kekeluargaan.

Untuk mudik diperlukan sejumlah dana/uang yang tidak sedikit. Kita sering menjumpai, THR dijadikan sumber dana untuk kepentingan itu. Di samping penerimaan lain, misal ada buruh yang bisa menabung lalu digunakan menambah pos anggaran mudik. Dana itu untuk pos transportasi, pos oleh-oleh, hingga pos uang saku kepada sanak saudara.

Tanpa dikomando, sepertinya ada kesepakatan tidak tertulis hampir semua lini menaikkan barang dan jasa itu. Misal biaya angkutan bisa naik 30 persen atau lebih dari harga normal. Harga barang kebutuhan sehari-hari (sembako) juga mengalami kenaikan yang cukup membingungkan. Ada satu pemikiran konstruktif yang sekiranya bisa mengatur THR sehingga bisa bermanfaat bagi buruh di masa depan. Yaitu perlunya dibangun budaya mengurangi watak konsumtif itu sendiri, dengan sedikit mengerem keinginan dan menekan kebutuhan hari raya. Caranya dengan perubahan paradigma dalam memandang THR.

Selama ini THR dipandang sebagai tunjangan hari raya semata, yaitu sejumlah uang yang dikonotasikan sekadar untuk menyambut hari raya. Dana itu biasanya habis ludes, tanpa sisa setelah hari raya. Perlu ada perubahan memandangnya, THR dari tunjangan hari raya menjadi tunjangan masa depan.

Artinya, dana yang diterima setahun sekali senilai satu kali upah sebulan. Digunakan sebagai dana abadi demi kesejahteraan masa depan buruh. Dengan cara mengambil sedikit untuk kebutuhan mudik dan hari raya. Sisanya dicelengi secara permanen, entah dengan model deposito atau dana pensiun. Ide ini mungkin dianggap gila dan nyeleneh di mata buruh. Namun, jika para buruh konsisten dengan cara itu, minimal masa depan buruh cenderung terjaga. Mengingat di samping dana abadi yang dengan kesadaran finansial ditanam secara pribadi dari hasil THR.

Misal seorang buruh berusia 30 tahun. Setiap tahun mendapatkan THR senilai kurang lebih Rp 900.000. Setiap tahun disisihkan 50 persen untuk dana abadi. Hingga pensiun nanti ketika berumur 55 tahun, dana abadinya berjumlah Rp 450.000 dikalikan 25 sama dengan Rp 11.250.000 belum ditambah pengembangannya. Walaupun nilai uang itu 11 juta, namun perlu dihargai. Daripada THR muspro (lenyap) hanya sekali pakai saat hari raya, lebih baik dikumpulkan sebagai dana abadi buruh di masa tuanya. Dengan dana itu ketika pensiun, buruh relatif siap dengan hari tuanya. Ini merupakan cara kecil dan konkret mengurangi kemiskinan buruh.


KANISIUS KARYADI
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

Sumber : Harian Kompas Jawa Timur, 3 September 2009.