Minggu, 23 Agustus 2009

Khasebul, PMKRI dan Politik


oleh : Kanisius Karyadi




Seorang mahasiswa bertanya kepada penulis,” Mas jebolan Khasebul ya?” Penulis balik bertanya, “Apa alasan anda melontarkan pertanyaan itu?” Mahasiswa itu menjawab, “Karena mas sering menulis artikel di Harian Kompas (Jatim). Di samping itu sering menjadi pembicara baik soal politik maupun organisasi, menjadi penulis beberapa buku dan menjadi pelatih pada acara pelatihan – pelatihan mahasiswa. Pada umumnya lulusan muda Khasebul, seperti Ignatius Haryanto, Yanuar Nugroho, Cahyo Suryanto, dan lain- lain banyak aktivitasnya seperti yang dilakukan sampeyan.”

Penulis menimpali, “Saya lulusan Khaslam!” Mahasiswa itu berujar, “Oh, maksudnya sampeyan itu lulusan khalwat Lukas Alamsjah too...” Penulis menjawab, “Khaslam itu khalwat alamiah, artinya kaderisasi dari alam, tidak pernah ada orang yang secara khusus ngajari, ndampingi, mbina, ngopeni, yo wis lepas sendiri. Tidak terikat dengan satu ideologis manapun, bebas, lepas. Hanya saja, pernah menjadi aktivis PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia).”

Karena pertanyaan mahasiswa itu penulis menjadi tergelitik untuk sedikit mengulas tentang Khasebul, PMKRI dan politik. Berikut sedikit uraiannya. Membicarakan topik ini sungguh unik dan menarik. Betapa tidak topik ini awalnya sungguh rahasia, seorang kawan pernah melakukan penelitian berkas terkait Khasebul di PMKRI Surabaya, hasilnya hanya didapat satu kertas terkait Khasebul. Informasi inipun sangat minim. Padahal sudah menjadi rahasia umum, para pimpinan PMKRI Surabaya, era 1980-an kebanyakan lulusan Khasebul.

Masih ada hubungannya dengan Khasebul, bulan September 2008 di Girisonta ada peringatan 25 tahun meninggalnya Pater Beek SJ. Bersamaan dengan itu diluncurkan sebuah buku biografinya yang berjudul Larut Tetapi Tidak Hanyut, ditulis oleh JB Soedarmanta. Tak diduga dalam buku itu diungkap “sedikit” misteri tentang Khasebul, beberapa bulan berikutnya ada liputan khusus di media televisi tentang CSIS (Centre for Strategic and International Studies), Pater Beek dan Khasebulnya. Dengan hadirnya buku dan liputan itu otomatis diskursus tentang Khasebul dibuka.

Menurut buku ini, pada akhir tahun 1966 Pater Beek memulai program Khasebul (Khalwat Sebulan) yang diperuntukkan bagi para mahasiswa. Pendidikan selama satu bulan ini pada dasarnya adalah pendidikan kerohanian dengan menitikberatkan pada doa dan meditasi, ditambah dengan pengenalan situasi konkret dalam masyarakat di mana para mahasiswa itu nanti akan terjun terlibat, dan diperkaya dengan Ajaran Sosial Gereja Katolik, misalnya penerapan Ensiklik Rorum Novarum (Hal 181).

Bersama 25 orang seperti Soedjati Djiwandono, Anton Moedardo Moeliono, Harry Tjan Silalahi, Jusuf Wanandi, Kadjat Hartojo, Sofyan Wanandi, Pater Beek mulai membagi tugas. Pater Beek karena statusnya sebagai pastor menangani pendidikan kerohanian, Soedjati mengajar tentang kepartaian, Harry Tjan Silalahi tentang kiprah Partai Katolik dan partai lain, dan Jusuf Wanandi tentang Sekber Golkar (Hal 181).

Khalwat sebulan atau Khasebul ini juga dimaksudkan mendidik para kader atau calon pemimpin masyarakat. Merekalah elit pemimpin (kader) di sekitar Yesus yang mula – mula mewartakan Injil (kabar gembira) bahwa Allah itu mengasihi manusia dan karenanya mau menyelamatkan manusia (Hal 182).

Lalu apa hubungan Khasebul dengan PMKRI, awalnya Khasebul dan PMKRI begitu dekat. Apabila dihubungkan dengan para pencetus disamping Pater Beek, banyak di antaranya alumnus PMKRI yang terlibat semisal Harry Tjan, Anton Moeliono, dan lain - lain kebanyakan para pendiri itu dari Asrama Realino, walaupun di antaranya ada yang bukan aktivis PMKRI.

Pater Beek menganjurkan kepada mahasiswa untuk aktif di organisasi intra maupun ekstra kampus. Waktu itu, Pater Beek bertugas sebagai moderator PMKRI. Salah satu anjuran bagi mahasiswa Katolik adalah ikut aktif di PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia) (Hal. 114).

Dalam perkembangannya, rekrutmen Khasebul tidak hanya dari ormas Katolik saja semisal PMKRI, Pemuda Katolik, juga dari unsur seminari dan unsur non seminari - ormas. Belakangan unsur dari pemuda di luar Katolik.

Khasebul dan PMKRI mempunyai hubungan emosional yang dalam. Namun dalam perkembangan terakhir, hubungannya tidak mulus. Padahal, banyak di antara aktivis PMKRI dulu maupun sekarang yang merupakan lulusan Khasebul (Madha). Mereka banyak menjadi pimpinan ormas mahasiswa Katolik ini.

Aktivitas lulusan Khasebul dan PMKRI kabarnya juga dekat dengan kehidupan politik. Dalam perjumpaan pertama dengan Mia Aryono (Adik Mgr Sutikno Wisaksono), ia bertanya kepada penulis, “PMKRI itu politik ya?”

Penulis menjawab, ditinjau dari sudut pandang jenis organisasinya jelas PMKRI bukan organisasi politik, PMKRI lebih pada organisasi sosial kemasyarakatan (ormas), fungsinya pada pembinaan dan perjuangan. Dalam kaitan moral, apa yang diisukan dan digerakkan adalah sebatas wilayah politik moral. Bagaimana mendorong terciptanya kesejahteraan umum, menciptakan perdamaian dan keadilan dan sebagainya.

Lebih konkret lagi, lewat usaha pendidikan Khasebul, Pater Beek mendampingi para pemuda untuk terlibat aktif dalam perubahan – perubahan politik sosial yang penting dalam masyarakat dan bangsa Indonesia (Hal 216). Nuansa politik seringkali dicapkan kepada Khasebul dan PMKRI. Padahal alumnus keduanya tidak serta merta semuanya aktif di dunia politik, banyak di antaranya terjun di bidang lain seperti ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya.

Sebenarnya mereka dekat dengan politik (moral/praktis) itu tidak jelek. Menurut I Basis Susilo, MA, Dekan Fisip Unair Surabaya, politik, dari kata Yunani “polis”, berarti kota atau negara. “Polis” adalah organisasi yang bertujuan memajukan kehidupan yang baik dan tenteram bagi para warga negaranya. Politik ialah segala apa yang berhubungan dengan usaha yang baik demi negara atau polis. Pengertian berkembang, yaitu semua tindakan yang bertujuan memperjuangkan apa yang baik bagi seluruh rakyat dalam situasi tertentu.

Unsur mutlak dalam kesejahteraan umum adalah: kebebasan, perdamaian dan keadilan. Dalam bidang politik pun berlaku hukum moral yang mengikat tindakan semua manusia sehari-hari, seperti: jangan berdusta, jangan menipu, jangan mencuri, jangan membunuh, dan sebagainya. Tujuan yang baik tidak menghalalkan semua cara. Tetapi perbedaan besar dengan tindakan pribadi ialah bahwa semua tindakan politik harus dinilai juga dari sudut baiknya bagi masyarakat seluruhnya.

Masalahnya sekarang, bagaimana mendudukkan pengertian politik pada porsi dan esensinya, yaitu usaha memajukan kehidupan bersama yang baik. Setelah itu, mendorong organisasi-organisasi melakukan fungsi pendidikan, pembinaan dan pendampingan agar kaum muda punya wawasan dan ketrampilan yang memadai untuk berperan dalam dinamika sosial-politik bangsanya.

Menurut Gaudium et Spes #75# “Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendak-nya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur, dan berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil”. Bagaimana menurut anda?

Kanisius Karyadi,
Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

1 komentar:

Begawan Pribadiworo mengatakan...

Bagus Mas, tulisan sederhana yang pintar. Semoga tulisan yang lebih menggigit tentang hal serupa bisa dibikin lagi ya. Dan mudah-mudahan banyak yang nulis macam ini.