Jumat, 21 Agustus 2009


Madura Pascasuramadu



Oleh : Kanisius Karyadi




Hasil jajak pendapat Kompas, 4 Juni 2009 tentang jembatan Suramadu sungguh menarik untuk didiskusikan. Dikatakan sebanyak 80,3 persen responden meyakini keberadaan jembatan Suramadu akan meningkatkan pendapatan perkapita masyarakat Madura (Kompas Jatim, 15/6/2009).
Hasil jajak pendapat ini mengandung optimisme masyarakat menyikapi Madura pascasuramadu. Dikatakan keberadaan Jembatan Suramadu tersebut akan mempercepat masuknya industri dan badan-badan usaha baru, diikuti dengan peningkatan kesempatan kerja dan berusaha masyarakat Madura. Selanjutnya diharapkan akan meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat.
Penulis sungguh senang dan bahagia mendengar tata urutan yang sistematis efek domino Jembatan Suramadu itu, diibaratkan Madura bakal mendapatkan durian runtuh. Suatu sejarah baru, Madura yang dilabeli daerah tertinggal, diharapkan bisa mengejar ketertinggalannya sehingga menjadi daerah maju.
Di balik kebahagiaan itu, ada kegelisahan besar dalam benak penulis terkait dengan perkembangan itu. Menurut hemat penulis, harapan besar itu perlu disikapi dengan bijaksana, agar arus perubahan itu membawa dampak positif bagi Madura. Dengan dibukanya kran yang lebih terbuka bagi masyarakat luar, dipastikan Madura menjadi masyarakat yang lebih heterogen dan multikultural.
Dihubungkan dengan pembangunan ekonomi Madura, diperkirakan pemodal yang memanfaatkan itu adalah warga etnis Tionghoa yang notabene menguasai sektor ekonomi. Hal yang mungkin terjadi adalah kolaborasi pemain – pemain ekonomi di Madura.
Pertanyaan yang muncul dalam benak penulis, mampukah Madura menghasilkan wirausahawan baru dan besar dari etnis Madura sendiri? (Pertanyaan ini tanpa maksud diskriminatif).
Pertanyaan ini sengaja dimunculkan, harapannya muncul kesadaran bahwa kesejahteraan ekonomi warga Madura, sepatutnya juga menjadi tanggung jawab orang lokal Madura. Sebab jika hanya menggantungkan pada keadaaan luar, sama artinya melegalkan penjajahan ekonomi berlangsung di bumi Madura.
Jika tidak muncul wirausahawan baru, ada kekhawatiran warga Madura hanya menjadi objek penderita dari perubahan ini. Warga Madura tidak menjadi aktor utama dari arus perubahan ini.
Akibatnya, modernisasi Madura dengan ditandai Jembatan Suramadu ini hanya sekedar pemanis bibir. Yang tetap diuntungkan dari perubahan ini hanyalah kepentingan modal kuat saja.
Ini patut dijadikan referensi berpikir kita. Memang ada niat luhur dari Jembatan Suramadu, namun jika kita tidak kritis, hal ini bisa menimbulkan persoalan baru yaitu marginalisasi warga Madura menjadi kenyataan. Ditandai pelepasan tanah dan aset warga Madura ke pemodal asing atau luar. Sementara orang Madura akan menjadi warga asing di tanah sendiri.
Tanpa bermaksud merendahkan martabat warga Madura, sejatinya potensi warga Madura itu nyata ada. Kalau kita teliti, misalnya di Surabaya, banyak di antara orang Madura yang menciptakan lapangan pekerjaan bagi dirinya sendiri maupun sesama. Kita ambil contoh konkret, di banyak tempat, warga Madura banyak menguasai jual beli barang bekas (rongsokan), atau bidang lain, kita mengamati pasangan muda – mudi Madura sangat aktif mencari peluang baru misalnya menjual nasi bebek di pinggir – pinggir jalan di banyak titik di Surabaya ataupun Sidoarjo. Semangat inilah yang perlu terus dihembuskan, supaya banyak lahir wirausahawan Madura yang membawa kemajuan bagi Madura sendiri. Dalam beberapa diskusi kecil, muncul istilah yang unik, ibaratnya orang Madura itu merupakan Tionghoanya orang Indonesia. Pemaknaannya, orang Madura dan warga etnis Tionghoa, terbiasa hidup mandiri dan kreatif dalam menciptakan peluang – peluang usaha baru. Kalangan itu dikenal bisa bertahan hidup dan bekerja sendiri di medan berat sekalipun. Dari semangat inilah, sebenarnya Madura ke depan dipertaruhkan. Diharapkan Jembatan Suramadu ini benar membawa madu bagi Madura, bukan malah menjadi racun belaka.

Tidak ada komentar: