Rabu, 26 Agustus 2009

Sulitnya Melahirkan Entrepreneur Jatim

oleh : KANISIUS KARYADI



Sebanyak 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka Februari 2008 adalah lulusan SMA, SMK, program diploma, dan universitas. Rendahnya daya adaptasi lulusan sekolah formal memenuhi tuntutan pasar kerja kian menjadi persoalan mengatasi pengangguran (Kompas, 22/8/2008).
Persoalan pengangguran dalam putaran ekonomi makro, menurut Ciputra bangsa ini sulit maju karena minimnya semangat entrepreneurshipnya, atau boleh dikatakan sedikitnya jumlah entrepreneur (wirausahawan) dibanding jumlah penduduk secara makro. Sebagai bahan perbandingan, Singapura jumlah entrepreuner sekitar 7,2 persen, Amerika Serikat 2,14, sedangkan Indonesia berpenduduk 220 juta hanya memiliki sekitar 400.000 pelaku usaha mandiri atau sekitar 0,18 persen entrepreuner dari jumlah penduduknya.
Untuk mengatasi itu, Ciputra tidak hanya berkeluh kesah soal minimnya semangat entreprunership. Dia juga memberi contoh sekaligus solusi dengan mendirikan 12 sekolah dan tiga perguruan tinggi, seperti Sekolah Ciputra, Sekolah Citra Kasih, Sekolah Global Jaya, Sekolah Pembangunan Jaya, serta sejumlah sekolah lainnya di beberapa kota. Di sekolah-sekolah ini diajarkan tentang entrepreneurship sejak siswa belajar pada tingkat awal, bahkan sejak di taman kanak-kanak (Kompas, 22/8/2008).
Dalam literatur teori ekonomi modern, pengusaha di bagi dalam dua, yaitu wiraswasta dan wirausaha. Wiraswasta berusaha sendiri, tetapi tidak memilliki visi pengembangan usaha, kreatifitas dan inovasi. Sementara wirausaha adalah pelaku utama dalam pembangunan ekonomi dengan fungsinya sebagai pelaku inovasi atau pencipta kreasi-kreasi baru.
Sebagai contoh pengusaha bengkel motor, di mana usahanya tidak berkembang dari tahun ke tahun, maka disebut wiraswasta. Tetapi jika ia mampu mengembangkan bengkelnya menjadi lebih besar dan modern, serta jaringan bertambah banyak. Maka ia disebut seorang wirausaha/entrepreneur. Jadi kewirausahaan adalah proses penciptaan sesuatu yang baru (kreasi baru) atau mengadakan suatu perubahan atas yang lama dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan individu dan masyarakat (Harmaizar, 2008).
Oleh beberapa kalangan, membangun kewirausahaan itu tidak segampang dan secepat membalikkan tangan. Memang ada yang dengan cepat menghasilkan entrepreneur besar, seperti model pembinaan ala Purdi Chandra. Di mana ada salah seorang kader hebatnya seperti Hendi Setiono, pengusaha muda asal Surabaya yang mengembangkan Kebab Turki Baba Rafi. Tapi tidak semua seberuntung sepertinya.
Seperti apakah susahnya melahirkan enterpreneur di Jatim dalam konteks lapangan? Agustinus Suharyanto (30) pengusaha muda Surabaya memaparkan bagaimana susahnya mengelola bisnis di zaman sekarang. Menurut pengalamannya, pertama, mengembangkan bisnis harus berhadapan dengan sistem pembayaran bisnis rata-rata mundur dari satu hingga tiga bulan. Pembayaran jarang ada yang kontan.
Kedua, banyak tagihan macet di konsumen yang menyebabkan perputaran kas macet. Lebih parah lagi, era kini kasus penipuan uang kian marak dialaminya. Omongnya utang pada kenyataannya banyak yang ngemplang. Ketiga, dikejar pembayaran biaya overhead dan gaji/upah karyawan yang tidak bisa ditunda. Keempat, dikejar tagihan para supplier bahan produksi.
Rentetan bisnis bagi pemula atau yang mahir, dengan kondisi seperti itu ibarat makan buah simalakama. Mau produksi tidak ada dana cair, sementara penagihan harus menunggu beberapa bulan. Sementara biaya bahan, overhead dan karyawan tidak bisa ditunda.
Mau tidak produksi bingung, sebab jika tidak produksi artinya membunuh diri. Sebab tanpa order berarti kosong pendapatan, tapi nanti jika dikerjakan akan dipusingkan dengan pembayarannya molor bak karet atau risiko tidak terbayar sebab banyak pengemplang. Sementara itu biaya overhead dan tenaga kerja jalan terus tiada bisa dibendung.
Keluhan Agustinus Suharyanto itu boleh dibilang penyakit bisnis era kini khususnya di Jawa Timur. Dengan kondisi seperti itu siapa yang bisa tahan, ada mungkin sedikit. Dan bisa dibayangkan sulitnya mengembangbiakkan entrepreneur. Itu baru dari sisi internal manajemen perusahaan. Belum di tambah situasi eksternal misalnya dari sisi regulasi soal perpajakan, retribusi, kredit permodalan dan lain-lain. Dikaitkan semangat otonomi daerah, yang kerap ada perda-perda yang menarif dunia usaha dengan tarikan resmi maupun pungutan liar yang masih marak.
Namun kita tidak boleh pesimis, sejatinya Jawa Timur sudah melahirkan beberapa entrepreneur sejati, seperti Alim Markus, kakak beradik Soegiarto Adikoesoemo dan KP Soenarjo Adikoesoemo, Dahlan Iskan dan lain-lain. Sejauh ini mereka bekerja keras dari bawah tanpa kenal lelah, jatuh dan bangun dalam membangun bisnisnya masing-masing.
Belajar dari mereka, tampaknya mereka bukanlah kader entrepreneur karbitan, tapi gigih sejak awal mula. Sehingga membentuk jiwa yang tangguh dan cerdas dalam berusaha. Dalam unen-unen Jawa berbunyi urip iku urup (hidup itu membawa manfaat) bagi saudara-saudara lain.
Menurut sejarah, beberapa entrepreneur Surabaya (Jatim) tidak serta merta langsung besar karena dana besar dan fasilitas lengkap. Justru di antara pengusaha besar di Jatim berangkat dari nol atau boleh dibilang berangkat dari kemiskinan/kemelaratan/kepedihan.
Justru, kemiskinan finansial yang menjadi daya dorong atau daya ungkit (ala Antony Robbin), untuk bangkit menuju kesejahteraan. Semestinya, itu bisa menjadi inspirasi bagi kalangan muda untuk bergerak maju dengan bekerja keras dan cerdas. Sialnya, banyak generasi bangsa ini menganggap keterbatasan dan kemiskinan tidak menjadi daya ungkit untuk maju malah cenderung tidak berbuat apa-apa (alias ngelokro, cangkruk, ngewes, ngobos).
Baru-baru ini, penulis menulis biografi pengusaha besar Jatim, KP Soenarjo Adikoesoemo. Dari situ terungkap, riwayat awalnya hidupnya dipenuhi kemiskinan dan penderitaan. Justru karena itu menjadikan motivasi untuk bangkit dan bergerak walaupun SMP tidak lulus dan satu sekolah dengan Alim Markus di Chao Cong Jalan Pecindilan Surabaya era 1966.
Dikisahkan mendapat suntikan ilmu bisnis dari wejangan praksis dan belajar dari lapangan yang sungguh mengena. Pertama, apabila menghadapi suatu pekerjaan tidak boleh ditinggal separuh jalan. Usahakan pada titik terakhir terus diusahakan. Kalau mendekati 90 persen pekerjaan tidak mungkin dan tingkat kesulitan tinggi baru dilepaskan. Ini mengisysaratkan kekuatan atau keuletan kita dalam bisnis. Manusia bisnis dituntut tidak cepat patah arang dalam menghadapi problem atau tantangan.
Kedua, jangan sampai pelanggan datang ke kantor (toko), tapi tidak order barang. Atau bagaimana membuat orang yang pada awalnya tidak membeli bisa menjadi membeli. Dalam bahasa sederhananya, dilatih mempunyai kemampuan “merayu” konsumen dengan baik agar merasa dekat. Akhirnya konsumen tertarik dan membeli barang. Secara tidak sadar, dilatih tidak malu dalam menghadapi orang. Berbicara penuh percaya diri sehingga orang menjadi terpikat oleh pesona dan kharisma hati yang baik.
Hal yang didapat di lapangan lain dalam bisnis adalah soal kepintaran. Soal pintar ini bukan perkara nilai akademik dan pendidikan tinggi semata. Namun lebih jauh, seseorang perlu mempunyai banyak akal. Sebab dengan banyak akal, pada umumnya bisa bersiasat dalam menghadapi sesuatu. Apabila ada halangan, misalnya cara A gagal dilaksanakan, bisa memutar otak guna mencari cara yang lain. Soal akademik memang penting, tetapi akan lebih lengkap apabila dikuati dengan kemampuan otak yang banyak akal dan cerdas
Hal lain soal modal finansial. Dalam bisnis diperlukan uang. Sebenarnya tanpa uang bisa dengan menjadi makelar. Namun dalam perkara bisnis konvensional dalam investasi diperlukan sejumlah uang. Pengusaha perlu mempunyai dana pribadi entah lewat cara hidup hemat dan menabung atau investasi. Sejumlah dana bisa didapat misal dari uang pribadi/perusahaan, pinjaman dari bank atau kawan. Yang jelas untuk menggerakkan perusahaan butuh sejumlah uang dan itu mesti ada.
Selanjutnya relasi. Semakin banyak kawan semakin baik, sebab dalam bisnis yang diperlukan kerja sama. Dengan semakin banyak kawan semakin membuka peluang usaha. Relasi itu baik dalam pemerintahan, keamanan ataupun perusahaan. Semuanya penting.
Terakhir garis tangan yang utama. Hal ini terkait keberuntungan dan takdir. Sesuatu yang kadang kita tidak tahu, tetapi itu seringkali terjadi dalam bisnis. Entah karena momentum waktu tertentu tiba-tiba muncul. Boleh dibilang garis tangan adalah persoalan nasib. Misal ada kasus, sekeras-kerasnya bekerja, apabila nasib tidak beruntung (ada kondisi di luar kendali manusia), ya namanya kerja keras bisa mubazir. Misal juga sekeras-kerasnya bekerja, apabila ada momentum keberuntungan. Usaha apapun bisa berjalan dan mendatangkan hoki/rezeki dan keberuntungan. Artinya sudah siap untung dan rugi atau tidak dapat apa-apa alias kerja bakti.
Artinya dengan label kemiskinan dan pengangguran yang tinggi yang melanda wilayah kita, sebenarnya itu bisa dijadikan daya dorong/daya ungkit melahirkan wirausahawan yang tangguh. Yang nantinya mendorong kemajuan ekonomi masyarakat Jatim. Di tengah sulit dan sakitnya melahirkan entrepreneur, kita juga mesti bertanggungjawab untuk tetap melahirkannya walaupun sakit dan sulit.

KANISIUS KARYADI,
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

Tidak ada komentar: