Jumat, 28 Agustus 2009

Masa Depan Transportasi Massal


Oleh KANISIUS KARYADI

Bulan Juni 2008 penulis berkunjung ke Jakarta selama seminggu. Satu hal yang menarik adalah lalu lintas Kota Jakarta yang superpadat dan macet. Kalau dipikir dan direnungkan, suasana lalu lintas Kota Surabaya masih relatif jauh lebih baik ketimbang Jakarta. Namun, itu bukan berarti Surabaya bebas macet dan padat.

Seorang pengusaha Korea, Back Moo Seong, berharap bisa menghabiskan masa tua di Surabaya. Pasalnya, Surabaya relatif nyaman dan asri ketimbang Jakarta. Meskipun demikian, ada beberapa kegelisahan soal itu.

Pertama, seiring dengan perkembangan zaman dan waktu, bisa saja momentum tertentu, lalu lintas di Kota Surabaya menyerupai Kota Jakarta, bahkan bisa mengunggulinya dalam soal kepadatan, kemacetan dan polusi. Ini mengingat produksi kendaraan bermotor, baik roda dua, empat atau lebih, terus berlangsung. Sementara di sisi lain, minimalnya jumlah kendaraan yang pensiun karena belum ada aturan main yang mengikat soal batas umur pemakaian kendaraan bermotor.

Kedua, seiring dengan perkembangan dunia usaha, terutama yang terus memproduksi sepeda motor, belum pernah ada aturan yang mengikat jumlah jumlah maksimal kendaraan yang bisa masuk sebuah daerah / kota.

Ketiga, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), yang sempat membakar emosi warga kala itu, ternyata tidak terlalu mempengaruhi jumlah pemakai kendaraan pribadi di jalanan. Sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM, kondisi lalu lintas Surabaya tidak berubah.

Keempat, masyarakat kota ini terlalu cepat berubah paradigma ke kendaraan bermotor tanpa menghitung teknologi masa lampau yang sejatinya bisa mengurangi dampak polusi atau kemacetan.

Kelima, budaya bertranportasi massal belum menjadi gaya hidup warga kota. Kita masih melihat warga cenderung memilih kendaraan pribadi. Seperti yang dituturkan Heru Siswoyo (35) dan Dewa Made (35), warga Surabaya cenderung memakai kendaraan sendiri ketika berlalu lintas di Surabaya. Alasannya, kendaraan pribadi praktis, cepat, prestisius, tepat guna, dan bisa ke tempat tujuan serta fasilitas transportasi massal kurang aman dan nyaman.

Kesehatan Kota

Dari sejumlah kegelisahan tersebut, sebenarnya tinggal menunggu waktu saja Surabaya akan dijakartakan. Maksudnya, nasib lalu lintas di Surabaya akan mirip, bahkan melampaui, kemacetan dan kepadatan lalu lintas di Kota Jakarta. Dengan kondisi seperti itu, tingkat polusi udara dipastikan juga semakin meningkat karena meningkatnya pembakaran bahan bakar yang berlebihan. Sejatinya, itu kurang menguntungkan bagi kesehatan kota secara makro sekaligus ini bisa meningkatkan kerawanan lingkungan hidup yang semakin kacau dan rusak.

Wacana pembangunan tol tengah kota, menurut hemat penulis, merupakan antisipasi yang bersifat sementara dan belum menghitung laju produksi kendaraan yang sulit dibendung. Tol tengah kota bisa relatif langgeng apabila ada kebijakan pembatasan atau penghentian produksi kendaraan. Namun, itu sulit.

Sebenarnya ada alternatif lain, misalnya pembatasan umur kendaraan dan pembatasan kendaraan masuk kota. Meskipun demikian, kedua hal itu dipastikan menimbulkan kontroversi luar biasa sebab pemain kepentingan dalam pusaran itu terlalu banyak, baik dari pihak individu, swasta maupun pemerintahan.

Perlu diupayakan budaya tanding yang melihat aspek baik dari sepeda onthel dan jalan kaki. Semuanya bergantung pada kemauan pemerintah, warga, dan dunia usaha agar bijaksana dalam menciptakan suasana kota yang teratur tanpa kemacetan.

Sebenarnya Surabaya sudah bisa mengantisipasinya dengan pembangunan budaya dan sistem transportasi massal yang aman dan nyaman. Pembangunan ini bukan berarti membuat sesuatu yang baru, bisa saja memperbaiki yang sudah ada sehingga layak dan baik digunakan. Selain itu, perlu ada sosialiasi budaya transportasi massal.

Paradigma transportasi massal perlu diperbaiki sejalan dengan perbaikan kualitas di dalamnya. Niscaya, dalam hitungan tahun ke depan, ramalan Surabaya ”dijakartakan” tidak terbukti apabila ada suatu usaha untuk mengantisipasi tren itu.Transportasi massal mengirit cadangan sumber daya minyak kita ketimbang kita mengendarai sendiri-sendiri.

Budaya bertransportasi massal itu diteladani dan diawali Pemerintah Kota Surabaya. Dari level wali kota hingga level terbawah diatur supaya menggunakan transportasi massal yang merupakan fasilitas publik dalam aktivitas bekerja setiap harinya.

Ini mungkin dianggap ide ngawur dan ide sedikit gila. Bagaimanapun, warga kota butuh keteladanan dari sistem dan pemimpin pemerintahan. Jika itu berhasil dilakukan, niscaya masa depan transportasi Surabaya bisa rapi tanpa kemacetan berarti. Kemudian secara bertahap, para pimpinan perusahaan dan lainnya mengikutinya.

Cara ini diharapkan mengurangi jumlah kendaraan yang melaju di Surabaya sekaligus mengurangi dampak lingkungan dan mengurangi pemborosan bahan bakar minyak secara global. Ini sekaligus untuk membangun image bahwa transportasi massal bukanlah transportasi kaum miskin, berkantong tipis, dan lain sebagainya. Tranportasi massal adalah universal, milik semua golongan, entah suku Tionghoa, Jawa, Madura dan lain sebagainya.

KANISIUS KARYADI, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik.


Sumber : Kompas Jatim 20 Agustus 2008

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Makasih gan udah share , blog ini sangat membantu dan bermanfaat ......................


bisnistiket.co.id
con