Rabu, 13 Agustus 2008

Catatan Pasca Pilpres II:

Setelah SBY-Kalla, Katolik Mau Apa?

Kanisius Karyadi

Pada 20 September 2004, belum selang berganti hari pilpres dilaksanakan, Rizal Malarangeng, pengamat politik yang pernah dekat Megawati, melalui siaran langsung MetroTV dengan ”gagah berani” mengumumkan hasil ”perhitungan cepat” alias ”quick count” yang digeber LP3ES. Yudhoyono-Kalla memperoleh hasil yang lebih baik dibanding Mega-Hasyim. 61,2 persen untuk Yudhoyono-Kalla dan 31,8 persen untuk Mega-Hasyim.

Sampai tulisan ini dibuat, 26 September 2004, rujukan data berbasis teknologi informasi sementara yang dirilis KPU menunjukkan keunggulan Yudhoyono-Kalla. Kalau tidak ada aral melintang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 5 Oktober 2004 akan mengumumkan hasil perolehan suara final ”pemilihan presiden” putaran kedua.

Secara resmi, ”perhitungan data manual” KPU yang akan digunakan untuk menentukan dan memutuskan pemenangnya. Dari perhitungan dan kenyataan ini dipastikan, pasangan Yudhoyono-Kalla sudah di atas angin. Sebentar lagi mereka masing-masing menyandang jabatan Presiden dan Wakil Presiden RI.

Ini adalah peristiwa sejarah penting dan besar dalam Republik Indonesia, bahwa Presiden dan Wakil Presiden RI baru yang dipilih langsung oleh rakyat, tidak melalui sistem MPR. Sekaligus, ini adalah kemenangan besar dalam sejarah TNI, bahwa 5 Oktober 2004 adalah HUT TNI ke-59, mendapat kado amat besar: salah seorang yang pernah dikader TNI khususnya Angkatan Darat (AD), menjadi Presiden RI.

Saat ini ada fenomena ”ada gula ada semut”. Yaitu fenomena merapatnya pribadi atau kelompok kepentingan mengarah pada ring kekuasaan baru. Hal ini berimplikasi pada kompromi-kompromi politik yang terjadi di ring kekuasaan baru. Tarik-menarik kepentingan seputar kekuasaan bakal seru. Sedikitnya ada beberapa variabel kelompok kepentingan itu, misal partai pendukung, utamanya Partai Demokrat, kaum kepentingan pendatang baru-oportunistik, dan sangat mungkin, TNI turut serta.

Dalam masa kepemimpinan Yudhoyono-Kalla, TNI mempunyai kepentingan besar untuk memperkuat posisinya. Hal ini terkait, untuk mengangkat citra TNI yang sempat jatuh di mata rakyat. Dengan bantuan pencitraan dari Yudhoyono, TNI berharap besar dukungan moril dan sistem. Penulis kira, ini adalah kesempatan emas bagi TNI khususnya TNI-AD untuk memperkuat basisnya di jajaran tingkat bawah sampai elit.

Di samping itu, saat ini sedang berlangsung masa pancaroba Partai Demokrat. Dalam sejarahnya, Partai Demokrat berjasa besar bagi Yudhoyono-Kalla. Memang ada berbagai kemungkinan untuk memprediksi Partai Demokrat ke depan. Belajar dari sejarah PDI Perjuangan, tampaknya Partai Demokrat akan mengalami hal yang kurang lebih sama, yaitu ada limpahan pendatang baru yang berkepentingan.

Dengan mendapat limpahan pendatang baru, baik dari politisi sipil ataupun politisi purnawirawan militer, jika mampu mensinergikan kekuatan itu sejatinya Partai Demokrat bisa mengungguli Partai Golkar pada pemilu 2009. Kuncinya, Yudhoyono tetap merakyat dan tidak membuat kebijakan yang membuat susah rakyat kebanyakan. Kuncinya, Partai Demokrat, tetap di Pencitraan Yudhoyono sendiri.

Partai Demokrat juga memiliki potensi konflik yang cukup besar. Persoalan konflik dalam sejarah kepartaian juga menjadi sesuatu yang menonjol. PDI-P yang pada begitu gagah pada pemilu 1999, tidak kuasa juga menghadapi konflik internal, akibatnya PDI-P kalah dalam pemilu legislatif 2004 dengan Partai Golkar. Demikian pula Partai Demokrat menghadapi kendala yang sama, namun harus diakui bahwa orang-orang Partai Demokrat yang menjadi pengurus dalam pendidikan formal lebih merata, tidak seperti PDI-P di era 1999-2004 ini.

Ini berarti, Partai Demokrat berpotensi tumbuh sehat dan subur dengan ”sistem” yang baik bisa menjadi kenyataan. Problemnya, masih adakah orang Partai Demokrat yang berpikiran waras yang bekerja keras membangun sistem kepartaian modern? Di tengah Partai Demokrat yang ”booming”, ditambah kehadiran kaum pendatang baru, yang sedikit banyak mengantongi perilaku oportunistik, sekedar haus kekuasaan.

Di balik kemenangan Yudhoyono-Kalla, ada refleksi yang cukup menarik bagi segenap umat Katolik. Pertama, sistem pemilihan langsung pemimpin Indonesia. Sejatinya, sistem ini agak memukul hierarki Gereja Katolik Indonesia. Betapa indonesia adalah negara berkembang, rakyat telah bebas memilih siapa pemimpin bangsanya. Di Katolik, masih misteri dan tabu untuk membicarakan siapa pemimpinnya.

Umat awam Katolik masih tidak mempunyai ruang untuk mengekspresikan dalam menentukan pemimpinnya. Misalnya, penentuan Jabatan Uskup masih ditentukan keputusan Roma. Kalau ada sapaan pastoral untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI, mengapa umat diam, ketika tiada sapaan pastoral untuk pemilihan Uskup Surabaya (yang sedang lowong)?

Kedua, hipokrit demokrasi Katolik. Dalam banyak kesempatan, saya sering mendengarkan kader-kader gereja Katolik, baik awam ataupun selibater, mereka berapi-api menyuarakan demokrasi bagi Indonesia. Tak urung, setelah balik ke kandang masing-masing, mereka harus menerima kenyataan bahwa ”kedemokratisasian” Gereja Katolik tak kunjung menyembul ke permukaan.

Di samping kedua hal di atas, setidaknya kita juga perlu mengkritisi spirit ”pro ecclesia et patria” yang sudah terlalu lama didengungkan umat Katolik. Hal ini sedikit banyak harus mulai dikritisi. Karena tanpa nilai kritis yang memadai, jargon itu bisa menjebak pada kenyataan ”mencetak wajah oportunistik” dan ”tidak kritis” terhadap dua lembaga yaitu pemerintah dan Gereja Katolik sendiri.

Tidak selamanya, Gereja Katolik dan pemerintah terus berjalan benar. Maka diperlukan nilai kritis dan dinamis dalam menyelaraskan perubahan itu sendiri, sehingga kemudian berjalan pada rel kebenarannya kembali. Memang tidak mudah dan kita tidak boleh gegabah dan serampangan.

Lepas dari refleksi kritis itu, bagi sebagian umat Katolik yang kontra Yudhoyono-Kalla, memang ada kekhawatiran khusus yang pernah saya dengar. Setidaknya, ada dua persoalan krusial dan sensasional. Pertama, permasalahan konsitensi TNI pada wilayah pertahanan nasional.

Dalam konteks ini, ada kecemasan khusus, TNI di bawah Yudhoyono-Kalla kembali dalam wilayah politik praktis. Indikasi kuat, yaitu pembahasan RUU TNI yang sedang digodok, diduga kuat mengandung muatan politis ”kembalinya” peran politik TNI dalam bentuk dan versi yang lain. Di samping itu, ada kerisauan bahwa efek dari kepemimpinan pensiunan militer, Indonesia akan kembali pada suasana Orde Baru, yaitu rezim kekerasan dan represif terhadap gerakan-gerakan demokrasi dan kemanusiaan.

Kedua, isu syariat Islam menghangat. Dalam pandangan final sebagian umat Katolik, isu syariat Islam dianggap mengabaikan kemajemukan atau pluralitas masyarakat Indonesia. Isu ini dianggap telah mengabaikan kelompok-kelompok minoritas yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama di depan hukum. Kerisauan ini muncul, mengingat dalam perjalanan menuju kursi presiden dan wakil presiden RI, pasangan ini seolah-olah memberi ruang kerkembang-biaknya isu syariat Islam di Indonesia.

Bagi sebagian umat Katolik yang pro Yudhoyono-Kalla, menganggap kemenangan pasangan ini adalah modal dasar menciptakan stabilitas keamanan. Tidak sedikit, dari kaum Katolik yang merasa aman dan nyaman di bawah kendali orang yang dekat dengan ring militer dan kekuasaan. Tidak dapat dimungkiri, bahwa kenyataan keamanan juga menjadi faktor penting dalam berusaha, misal dalam bidang ekonomi dan lain sebagainya.

Menurut penulis, kerisauan dan harapan ini memang wajar. Namun yang lebih penting, realistis dan kritis. Tulisan saya di Harian Kompas edisi Jawa Timur, 6 Oktober 2003, berjudul Dari HUT TNI ke-58 TNI. Kaderisasi Sipil Gagal, Fokus TNI pada Pertahanan, mengatakan,”Ada dua dimensi yang perlu digarap pada momentum penting ini, yakni kaderisasi sipil secara benar dan upaya berkesinambungan untuk memfokuskan kerja TNI dalam wilayah pertahanan nasional. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang menguntungkan, serta menghapus dikotomi sipil militer. Selama ini ada benteng yang kuat yang memisahkan sipil dan militer, tentu berangkat dari momentum ini semuanya menjadi setara dalam satu kesaudaraan yang tidak disekat-sekat oleh batas yang membodohkan.”

Katolik tidak perlu khawatir terhadap gelombang perubahan kepemimpinan di RI. Dulu, manajemen yang dianggap tangguh ada tiga, yaitu komunis, militer dan Katolik. Pasca hancurnya komunisme, organisasi militer dan organisasi Katolik masih tetap eksis. Konteks Indonesia, sebenarnya Katolik tinggal mempertajam atau merevitalisasi beberapa poin di antaranya: pertama, kaderisasi bersistem yang perlu disiapkan antara ”kader dan leader”. Kedua, pendidikan atau sekolah Katolik. Ketiga, budaya intelektualitas Katolik.

Tanpa bermaksud meremehkan kualitas lembaga-personal yang bekerja pada wilayah kaderisasi umat Katolik yang telah ada. Saya percaya, itu bisa digenjot lagi di tengah tarik-ulur konflik yang pernah melanda. Hal ini digunakan untuk memberdayakan kantong-kantong organisasi Katolik yang sudah mulai melemah untuk aktif dalam proses kaderisasi dan perjuangannya. Saya kira, pemimpin bisa lahir akibat proses kaderisasi yang berlangsung dalam organisasi. Contoh, TNI merupakan lembaga kader potensial di tanah air yang bisa menghasilkan leader (pemimpin).

Saya kira, dalam proses kaderisasi di lingkaran Katolik perlu ada tindakan legawa dari para senior. Legawa berarti tidak mengangkangi lembaga kader Katolik terlalu lama, demi kepentingan-kepentingan tertentu yang bersifat pribadi dan parsial. Karena tidak jarang organisasi kader Katolik rusak akibat ditempati terlalu lama oleh kadernya sendiri. Alhasil, proses kaderisasi tidak berjalan. Kalau tidak berjalan kemudian menyalahkan orang lain, seperti tidak ada perhatian hierarki Gereja Katolik, tidak ada peminat yang mau masuk organisasi dan seribu alasan lain, ketika ambang kehancuran di depan mata, tinggal berkata, ya..sudahlah..

Para awam Katolik harus mulai aktif turun gunung melakukan kaderisasi yang berkelanjutan. Kita boleh bangga kepada organisasi/ordo/kongregasi kaum selibat masih cukup konsisten dalam lembaga kaderisasi “seminari”. Kiranya, kaum awam harus mulai menyadari arti penting kaderisasi. Selama ini ada image, kaderisasi hanya hak pastor, misal pada kasus Lukas, SJ. Padahal umat awam Katolik yang cerdas dalam kaderisasi juga tidak sedikit. Memang diperlukan kesadaran kaderisasi umat, khususnya datang dari kalangan umat awam Katolik sendiri. Tanpa itu, Katolik akan kehilangan akarnya.

Selama ini berkembang dikotomi yang cukup mengganggu dan merisaukan, bahwa kaderisasi selalu dikaitkan dengan ”separasi” kasbul-non kasbul (madha-non madha), PMKRI-non PMKRI, seminari-non seminari dan lain-lain. Kadang di antaranya saling claim ”dirinya” yang paling jago. Tanpa maksud mengurangi ”spirit kesatuan, mereka terjebak dalam pertarungan internal yang kurang menguntungkan.

Di tambah lagi jebakan pada keterlibatan umat yang saling klaim antara menyuarakan aspirasi Katolik tidak harus membawa bendera Katolik, sampai menyuarakan aspirasi Katolik harus membawa bendera Katolik. Saya kadang kala tersenyum dengan perdebatan itu, belum seberapa menyuarakan aspirasi Katolik, sudah berdebat masalah klasik, yang menjebak tidak berbuat apa-apa, kaku, buntu alias nihilisme sejati. Agenda ke depan umat Katolik, lebih bersifat gerakan dengan mengkolaborasikan dengan “konsep”.

Katolik sejatinya bekerja pada wilayah ”general interest group” (kelompok berkepentingan umum). Dalam buku, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial karya Phil Astrid S. Susanto (Binacipta, 1979) didefinisikan, kelompok berkepentingan umum merupakan kelompok-kelompok yang berusaha untuk mewujudkan kepentingan kelompoknya, melalui dan bersama dengan realisasi tujuan dan kepentingan masyarakat umum. Walaupun demikian, maka Lasswell dan Kaplan mengatakan, bahwa setiap kelompok mempunyai kepentingan khususnya.

Untuk ini maka setiap kelompok mengenal ”pembagian ataupun tahap kepentingan, yang disebutnya principled interests dan expediency interests. Menurut mereka, principled interests adalah kepentingan pokok dari kelompok, yang itu sebab utama kelompok itu dibentuk. Sebaliknya expediency interests merupakan kepentingan-kepentingan yang menunjang kepentingan pokok tadi. Biasanya dalam merealisasikan kepentingan pokok maka kepentingan penunjang lebih dahulu direalisasikan daripada kepentingan pokok.

Memang agak sulit juga mensinergikan elemen-elemen Katolik dalam satu gerakan kaderisasi sekaligus. Butuh waktu untuk itu, apalagi setiap elemen juga mempunyai kepentingan-kepentingan sendiri, yang kadang kala harus berbeda dan berbenturan satu dengan yang lain.

Sebagai penutup, dikisahkan di sebuah pantai kumuh ”Maya”, ada dua sahabat yang tinggal, namanya Telaten dan Dabrus. Setiap hari mereka mengeluh akibat kotor dan kumuhnya kawasan pantai itu. Suatu ketika mereka benar-benar frustasi dengan keadaan lingkungannya. Tergeraklah hati Telaten untuk ”turun gunung”, hampir setiap sore ia mengambil sapu, lalu dari tangannya menata lingkungannya. Sementara itu, Dabrus mengetahui Telaten aktif menyapu, ia malah menggerutu dan mengeluh.

Hari berganti hari, tiada dinyana dan diduga, Telaten duduk di serambi rumahnya. Ia baru menyadari bahwa pantai Maya sekarang indah. Ia balik bertanya dalam dirinya, siapa yang membersihkan? Ia kembali tersadar, “Oh…ini berkat dari apa yang kulakukan tiap sore rupanya.” Di tempat lain, Dabrus tersadar dari tidurnya, hanya melongo dan ngaplo menyaksikan pantai Maya yang dulu kotor, kini menjadi indah. Tergerak atau Tertidur?

Jubileum Edisi 55. Tahun V. Oktober 2004

Tidak ada komentar: