Rabu, 13 Agustus 2008

Opini Daerah Versus Pembangunan Daerah

Oleh K A N I S I U S K A R Y A D I

Kolom surat pembaca Harian Kompas edisi Jatim, Sabtu, 24 Juni 2006 menampilkan tulisan tanggapan Djunaedi Mahendra SH MSI, Bupati Madiun atas tulisan Ainur Rofiq Sophiaan, 15 Juni 2006 di kolom forum. Mengenai pakta integritas dan tranparansi sebagai salah satu unsur yang sangat penting untuk menciptakan clean government. Model komunikasi ala opini daerah dalam rangka menciptakan pembangunan daerah ini menarik didiskusikan lebih lanjut.

UU RI No 34 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah memungkinkan daerah mempunyai wilayah otonomi. Di era otonomi daerah ada perkembangan menarik yaitu munculnya koran daerah. Di bagian halaman koran daerah didapati kolom artikel yang ditulis sebagian besar oleh orang luar redaksi atau masyarakat luas.

Yang menarik isi artikel/tema mensyaratkan berbagai tema permasalahan / persoalan / fenomena daerah setempat. Kita ambil contoh, Koran Jawa Pos menyediakan kolom ”metropolis” sebagai ruang publik bagi orang luar redaksi untuk menulis berbagai persoalan Kota Surabaya. Koran Kompas edisi Jatim menyediakan kolom ”forum” sebagai wahana publik untuk bicara dan tulis yang menyangkut persoalan Jawa Timur.

Di era otonomi daerah, tampaknya tidak hanya pergeseran pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi. Tampaknya koran daerah turut pula mengikuti irama pergeseran itu. Kalau dulu sebelum otonomi daerah, kolom opini/artikel selalu didominasi isu yang berskala nasional. Tampaknya dengan pemberlakuan otonomi daerah, redaksi koran menyediakan ruang bagi penulis luar untuk menulis dengan isi/tema tulisan/artikel opini dengan ritme isu-isu lokal daerah tertentu.

Gejala ini menandakan kebebasan pers juga mulai dirasakan di daerah. Kalau semasa orde baru hal itu mungkin mustahil, tetapi di era otonomi daerah seperti sekarang. Masyarakat bisa bebas menulis gagasan/ide tanpa dikungkung oleh pemerintah. Tentu tidak semaunya-asal tulis, tetapi juga perlu memperhatikan etika dan kesantunan publik.

Pada hakikatnya menulis artikel/opini di daerah seperti dikatakan Tony D Widiastono (2004) menyatakan sebagai proses olah pikir (intellectual exercise). Tulisan itu merupakan hasil pemikiran atas persoalan dalam masyarakat yang dikerangka secara logis. Tulisan didasarkan pada bidang ilmu/pengalaman yang didalami oleh penulis secara mendalam dan mendetail. Bahkan sangat mungkin, seperti ditulis I Basis Susilo (1978) menulis artikel di media massa sekaligus bisa dijadikan profesi oleh sebagian orang di tanah air untuk hidup.

Mohammad Bakir (2005) menyatakan, menulis artikel opini di media massa lokal sedikitnya mempunyai tiga tujuan. Pertama, memetakan persoalan yang terjadi di daerah sehingga menjadi jelas dan terbuka. Kedua, memberikan masukan jalan keluar/solusi atas persoalan masyarakat yang terjadi di daerah sehingga bisa selesai dan tuntas. Ketiga, memprediksi persoalan dalam masyarakat bakal berlanjut atau berhenti.

Bakir menyatakan dari ketiga tujuan yang dikemukakan itu, ia lebih memprioritaskan tujuan yang bersifat solutif terhadap persoalan, mengingat masyarakat kita sudah kenyang beragam persoalan, dan butuh solusi pemecahannya.

Otonomi daerah melahirkan opini daerah tersebut membawa beberapa turunan positif untuk perkembangan/pembangunan daerah. Pertama, semakin banyak orang tertantang secara intelektual baik secara pribadi atau organisasi untuk menulis tema/isu dalam kandungan lokal.

Di era sebelum itu, kita banyak mendapati penulis mapan yang sudah mempunyai reputasi profesi di berbagai bidang yang menjadi penulis. Sangat jarang dijumpai masyarakat biasa menulis artikel di media massa. Kini, kita bisa mendapati penyebaran itu. Bahkan, penulis pernah menjumpai tulisan yang ditulis oleh tukang becak yang tampil di media massa ”Kompas” Edisi Jawa Timur.

Kedua, mendorong tumbuhnya kaderisasi penulis muda secara alami. Tidak dapat disangkal, koran daerah khususnya di Surabaya melahirkan penulis muda berbakat yang sering kita jumpai tampil membahas persoalan-persolan lokal di Surabaya atau Jawa Timur. Tentu gejala ini sungguh menggembirakan, di tengah kelesuan dunia sastra, tampaknya dunia tulis-menulis artikel/opini daerah banyak dari kalangan muda yang berminat menekuninya.

Di lapangan kita menjumpai sejumlah penulis muda yang banyak menghiasi media massa Surabaya/Jawa Timur, seperti I Dewa Gde Satrya Widiaduta, Dewa Made Ramawidia Swara, Anton Novenanto, Anggun Dewara, Binsar Gultom, Wahyu Kuncoro, Machsus Fawzi, Muh Cholid AS, Choirul Mahfud dan lain-lain.

Ketiga, pemerintah/lembaga bisnis/masyarakat mempunyai kekuatan penyeimbang kebijakan. Tidak dapat disangkal tulisan-tulisan yang ditulis oleh penulis lokal mempunyai potensi menjadi penyeimbang/referensi intelektual dalam pengambilan kebijakan daerah tertentu.

Tulisan itu mempunyai kekuatan publikasi luar biasa, sehingga bisa mempengaruhi opini publik di pemerintahan/lembaga bisnis/masyarakat lain. Bisa atau tidak tulisan di media massa lokal itu turut pula menjadi bagian penentu kebijakan daerah baik yang dileluarkan kalangan pemerintahan, dunia bisnis, atau masyarakat secara umum.

Seperti kita ketahui bersama, kadang-kadang tulisan dimuati banyak kritik tajam-pedas. Seperti kita tahu bersama nuansa kritik di media massa kadang-kadang cenderung kontraproduktif dan tidak membangun. Sepertinya, kalau tulisan hanya mengkritik hanya menimbulkan apatisme bagi yang dikritik kepada penulis.

Memang seperti yang dilontarkan Mohammad Bakir, harapannya tulisan-tulisan di media massa daerah adalah juga memberikan solusi, tidak sekedar asal kritik. Sehingga isi tulisan benar-benar bermanfaat bagi instansi-instansi tertentu. Sehingga kehadiran penulis dan isi tulisannya dinantikan oleh pembaca sehingga masyarakat menjadi lebih maju dan cerdas.

Yang jauh lebih penting dari ketiga gejala turunan tersebut adalah ide/gagasan membawa pencerahan masyarakat. Sehingga ada kesadaran kolektif untuk melakukan koreksi/kontrol/tindakan atas perilaku/kebijakan dari semua elemen menjadi lebih baik.

Harus disadari di lapangan, masih banyak ketimpangan/persoalan dalam masyarakat yang walaupun sudah berkali-kali ditulis atau dicarikan jalan keluarnya, jarang muncul tindakan nyata/konkret untuk memperbaiki keadaan.

Harapan ke depan, otonomi daerah yang melahirkan opini daerah itu semakin menerjemahkan atau mendekatkan pada kenyataan pembangunan kesejahteraan daerah bersama baik secara materi maupun non materi pada masyarakat di daerah tersebut. Sehingga masyarakat daerah Surabaya atau daerah lain #Jatim# benar-benar memperoleh rahmat di era otonomi daerah, tidak malah sebaliknya mendapatkan mudarat belaka.

K A N I S I U S K A R Y A D I, Kolumnis muda pemerhati ekonomi-politik

Tidak ada komentar: