Rabu, 13 Agustus 2008

Memaknai Pilkada Langsung dengan Bijaksana, Mungkinkah?

Undang-Undang RI No 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah telah melegalkan pelaksanaan pilihan kepala daerah secara langsung. Dalam waktu dekat sedikitnya 16 daerah di Jawa Timur, seperti Kota Surabaya, Kota Blitar, Kabupaten Gresik dan lainnya dipastikan akan memiliki “kepala daerah” baru hasil pilihan masyarakat. Lantas, apa makna hakiki dari pemilihan langsung kepala daerah ini di Jawa Timur?

Selama ini praksis hidup dalam birokrasi kenegaraan dan pemerintahan di Jawa Timur dimaknai sebatas mengejar “jabatan”. Jabatan masih dianggap senjata ampuh menaikkan status sosial dalam masyarakat. Maka tak ayal, ratusan bahkan ribuan orang gencar merebut jabatan, termasuk jabatan kepala daerah ini.

Berangkat dari paradigma (cara pandang) itu, maka tidak dapat disangkal bahwa sangat jarang kita jumpai kepala daerah yang benar-benar mengerti, memahami, memaknai fungsi kepemimpinan yang benar. Perilaku bak pejabat telah banyak menutup mata, hati, telinga mereka dari data dan fakta.

Dalam momentum pilkada langsung ini, hal yang secara khusus perlu dipahami secara mendalam bukan sekedar perubahan sistem pemilihan belaka, dari kepala daerah dipilih DPRD kabupaten/Kota atau propinsi menjadi kepala daerah dipilih langsung oleh masyarakat pemilih. Namun lebih dalam yakni ada perubahan pemaknaan pemilihan itu sendiri. Dari kepala daerah yang sekedar diisi pejabat menjadi perubahan dasar pada makna “kepemimpinan” yang lebih luhur

Di bawah ini ada beberapa pemaknaan dari Pilkada langsung, yang bisa digunakan sebagai pembanding landasan pikir dan praksis calon kepala daerah di berbagai daerah di Jawa Timur. Terutama dalam meningkatkan kinerja dan efektifitasnya di kemudian hari.

Pertama, pilkada langsung sejatinya melahirkan pemimpin. Dalam banyak kasus sebelumnya, pemilihan kepala daerah yang dipilih DPRD Kota/Kabupaten dan propinsi hanya melahirkan pejabat. Dalam kerangka pejabat itulah kepala daerah sebatas berfungsi manajer. Artinya, ia hanya sebatas melaksanakan tugas dan target dalam bayang-bayang pemerintah pusat yang sentralistik.

Dalam kapasitasnya sebagai manajer, ia tidak lebih dari kepanjangan tangan pemerintah pusat. Ia jarang sekali memanfaatkan inovasi dalam mengembangkan daerah. Dalam makna baru ini sebagaimana diutarakan Peter F Drucker, pemimpin ibaratnya orang yang mengarahkan kendali ke mana biduk dijalankan. dalam kalimat Steven R Covey, pemimpin mengerti benar visi yang ditujunya.

Kedua, pilkada langsung sebenarnya mendorong perjuangan idealisme. Dalam pemaknaan lama, sudah diketahui publik bahwa pada pemilihan kepala daerah selalu diembel-embeli mengejar kesejahteraan pribadi. Tak jarang, para pejabat kepala daerah selama ini hanya sekedar bekerja pragmatis demi kesejahteraan pribadi dan keluarga, misal uang gaji, tunjangan dan fasilitas.

Mestinya dalam makna baru, pilkada langsung adalah momentum bersama untuk memperjuangkan kesejahteraan masyarakat umum (Kaplan dan Laswell). Idealisme mensejahterakan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat secara konkret adalah inti makna perjuangan idealisme ini. Sebab jika tanpa ini, daerah-daerah akan terperosok dalam kesenjangan kesejahteraan, antara pejabat kepala daerah dengan kebanyakan rakyat. Sebaiknya ia benar-benar mengurangi kepentingan pribadi dan kelompok.

Ketiga, inspirasi program kerja bersifat dua arah dari pemimpin (pemerintah) dan masyarakat. Program itu mendialogkan seperti(a)visi-misi pemimpin (b)kebutuhan kebanyakan masyarakat (c)partisipasi masyarakat dan lain-lain. Pemaknaan pada tahap ini bersifat mendialogkan hal-hal ingin dicapai kepala daerah dan didialogkan dengan kebutuhan mayoritas dan minoritas masyarakat. Dengan demikian, dalam praktik organisasi sosial, didalamnya mempunyai apa yang disebut perencanaan strategis dalam masa depan.

Selama ini program pemerintah sebagaimana dilaksanakan kepala daerah bersifat top down. Sehingga program itu kurang menyentuh pokok permasalahan masyarakat. Dalam pemaknaan ini, sebaiknya kepala daerah baru benar-benar mengetahui apa yang ingin ditujunya dan kebutuhan-permasalahan masyarakat.

Ketiga makna di atas adalah sesuatu yang penting dalam proses kepemimpinan kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat. Namun demikian, pilkada langsung ini bukan berarti tanpa kendala. Kendala atau jebakan langsung dari proses ini di bawah ini.

Kendala itu tidak terakomodasinya seluruh masyarakat pemilih. Ada jebakan, kepala daerah terpilih tidak mengindahkan masyarakat pemilih yang tidak memilihnya. Atau sebaliknya, masyarakat pemilih yang merasa kalah jagonya, lantas mengabaikan kepemimpinan kepala daerah yang bersangkutan. Pada kendala ini, kepala daerah terpilih sejatinya berkewajiban tetap mengakomodasi kepentingan sebagian masyarakat pemilih yang tidak memilihnya.

Yang jelas tugas berat ke depan kepala daerah hasil pilihan masyarakat memberikan teladan hidup dalam kerja keras, kesederhanaan dan kesahajaan. Peran kepala daerah untuk membawa pada kondisi kesejahteraan dan kecerdasan umum hendaknya menjadi prioritas, tidak terjebak pada paradigma lama kepala daerah yang jauh dari masyarakat, hidup mewah berlebihan, memanfaatkan kesempatan dengan suap, korupsi, kolusi dan nepotisme, mungkinkah?

KANISIUS KARYADI

Direktur Lembaga Studi Pengembangan Masyarakat (LSPM)

Tidak ada komentar: