Rabu, 13 Agustus 2008

Dari Tidur dan Diam Menuju Organisasi Gerakan

Oleh Kanisius Karyadi

John Tondowidjojo, CM dalam tulisannya di Warta Paragonz, edisi Nopember 2004 No 92/tahun XX dan Desember 2004 No 93/tahun XX dengan judul ”Kaderisasi dalam Masyarakat Awam”, sedikitnya memberikan lima poin pertanyaan yang menggugah kesadaran.

Namun Demikian, ada satu pertanyaan Romo Tondowidjojo, CM yang sedikitnya akan dikritisi penulis. Pertanyaan itu ada pada butir (a) yaitu ”Kenapa ISKA-PMKRI-WKRI-PEMUDA KATOLIK diam saja, tanpa reaksi, padahal keadaan sosial politik di negeri ini hiruk pikuk bahkan mencekik-cekik umat Katolik?” Pertanyaan itu seolah hendak membuat pernyataan bahwa ISKA, PMKRI-WKRI-PEMUDA KATOLIK benar-benar diam tertidur.

Pada kesempatan ini, penulis berupaya menjelaskan gerakan PMKRI Surabaya, berdasarkan kontekstualisasi sejarah periode 1996-2000. Penulis terlibat aktif dalam gerakan mahasiswa di Surabaya utamanya PMKRI Surabaya.

Kasus PMKRI Surabaya 1996-2000 benar-benar lain. Harus diakui, sebelum penulis masuk (1995) PMKRI Surabaya, suara-suara miring seputar PMKRI Surabaya sudah lama terdengar, seperti PMKRI banci, kerjanya hanya kepanitiaan, pesta-pesta, ormas ompong, berbadan macan berperingai kambing dan lain sebagainya.

Dari situasi itu terkumpulah beberapa teman, misal Albert Lasut, Charlie Kleden, Klub MaKaLO (Mahasiswa Katolik Lali Omah) di dalamnya ada ”Three musketter”: Agus Maly, Heru Siswoyo, dan Karyadi. Selain itu ada Prima Dianita, perempuan keturunan Tionghoa yang progresif. Didukung Dewa Made RS yang punya energi besar dan lain-lain. Setelah itu mulailah manuver-manuver berbau sosial politik, menyikapi persoalan tidak sekedar reaktif tetapi dengan langkah proaktif.

Uskup Surabaya (Alm) Mgr Hadiwikarta, Pr melalui Romo Nanglik, Pr sempat mengatakan,”PMKRI Surabaya sudah mulai politis”, ketika Uskup Surabaya membaca Surabaya Post (1997) soal keterlibatan PMKRI Surabaya bersama kelompok lain memberikan dukungan kepada Kelompok Kepercayaan kepada Yang Maha Esa, supaya tidak dihapus dari GBHN.

Yang lebih menarik aksi Cipayung yang rencananya ke Grahadi , tetapi terhadang di marga PMKRI Surabaya, Jalan Taman Simpang pahlawan 4 A Surabaya. Sebelum aksi massa itu, (Januari !998), malam hari penulis sempat menemui Romo Eko Budi Susilo, Pr di Pastoran Redemptor Mundi, dengan maksud, pertama meminjam megaphone gereja. Kedua, memberi informasi PMKRI Surabaya akan turun jalan bersama elemen tergabung dalam Kelompok Cipayung.

Penulis lalu diajak keliling Surabaya. Akhirnya Romo Eko mengatakan, ”Sebaiknya PMKRI Suarabaya mengurungkan niat aksi ”show of force”, masih sangat berbahaya.” Penulis mengatakan, ”Maaf romo, ini sudah menjadi keputusan dan kebulatan teman-teman ”pro gerakan” PMKRI Surabaya.” Romo Eko terdiam, dan akhirnya memberikan pinjaman megaphone. Setelah aksi Cipayung, banyak reaksi muncul, utamanya dari alumni PMKRI Surabaya. Paling pedas ialah, ”PMKRI dalam aksi itu sama artinya dengan membenturkan kepala ke tembok berlapis-lapis tebalnya, tidak lama pasti kamu yang dilibas”. Ternyata aksi-aksi PMKRI Surabaya tidak berhenti. Secara khusus, pada saat 1998, Ketua Presidium Pengurus Pusat (PP) PMKRI Izidorus Riza Primahendra memberikan surat proficiat khusus kepada PMKRI Surabaya atas gencarnya menyuarakan reformasi di tanah air. Dan ternyata, gerakan itu menginspirasi Pengurus Pusat PMKRI dan cabang PMKRI lain di tanah air untuk turut bergerak, yang sebelumnya rata-rata tertidur seperti yang diutarakan John Tondowidjojo, CM itu.

Yang lebih mengejutkan pernyataan Alexius Cahyo Suryanto, Dosen Universitas Surabaya, Alumnus Jurusan Sosiologi, Fisip Unair, mantan aktivis muda Katolik yang sangat kritis kepada PMKRI Surabaya, sempat menelepon ke Margasiswa PMKRI Surabaya (031) 5452740, 9 september 1998 malam dan diterima penulis. Intinya memberikan proficiat, atas gerakan besar menentang Habibie saat ”HAORNAS” di Surabaya, utamanya proficiat atas isu yang diusung gerakan bersama itu merupakan isu gerakan PMKRI Srabaya dalam aksi tunggal di depan Grahadi satu hari setelah Imam Utomo dilantik menjadi Gubernur Jawa Timur. Dua isu utama itu, (1) Mosi tidak percaya pada pemerintahan Habibie. (2) Membentuk Dewan Rakyat.

Isu ini memang menjadi ”perintis” saat tiap elemen mahasiswa di Jawa Timur mulai tiarap pasca Soeharo jatuh 21 Mei 1998. Memang isu dan gerakan PMKRI Surabaya pada saat itu sempat ”leading”.

Jadi, PMKRI Surabaya pada periode 1996-2000 seperti yang dialami bersama kawan-kawan, secara fakta, kita tidak diam saja. Tidak seperti yang dipasiokan Romo John Tondowidjojo, CM itu. Memang ada sepenggal sejarah PMKRI yang tidak boleh digeneralisasi atau dieliminasi. Terlalu pahit dan sakit, jika sampai harus digeneralisasi diam, atau dieliminasi kehadirannya dalam sejarah pergerakan lokal khususnya di Surabaya.

Namun demikian, penulis tetap menaruh apresiasi kepada Profesor Tondowidjojo, CM atas tulisan di Warta Paragonz itu. Di tengah usia yang semakin bertambah, tampak sang profesor semakin produktif. Ini menunjukkan watak gigih pantang menyerah kader Yesus Kristus yang layak dan sepantasnya diteladani oleh kaum muda. Proficiat.

Warta Paragonz, Februari 2005, No 95 tahun XX

Tidak ada komentar: