Rabu, 13 Agustus 2008

Paskah dan Masa Depan Pendidikan Katolik

Yesus adalah tokoh historis yang maha penting bagi kaum kristiani. Sejarah perjalanan hidup Yesus dapat diteliti dalam kitab-kitab Perjanjian baru. Yesus Sendiri tidak pernah menulis buku, berbeda dengan Adam Smith, Karl Marx atau filsuf (pemikir) lainnya. Tokoh-tokoh besar dunia rata-rata mempunyai gagasan yang dituangkan dalam buku. Adam Smith dengan Wealth of Nation, Karl Marx dengan Das kapital, dan lain sebagainya.

Lalu mengapa Yesus bisa terkenal dan menonjol di antara tokoh-tokoh dunia. Jawaban sederhana yang bisa dikemukakan karena sengsara, wafat dan kebangkitannya. Yesus menempatkan diri sebagai cendekiawan tulen. Sebab dari peristiwa-peristiwa itulah fungsi kecendekiawan Yesus yang mencerahkan benar-benar teruji. Yesus tidak pernah menganjurkan untuk mendirikan sekolah, karena ia sendiri buta sekolah atau tanpa sekolah. Tetapi Yesus mempunyai metode untuk memperkenalkan kerajaan Allah yakni melalui karya dan segenap pengorbanannya sendiri.

Yesus membobol cara pikir (paradigma) lama, sehingga menjadi sesuatu yang baru. Yesus dengan karya-karyanya telah memberikan angin perubahan kepada manusia. Inilah kenyataan bahwa Yesus itu cendekiawan terkemuka tanpa buku yang benar hidup dalam realita. Ia menjawab tantangan realita dengan mengagumkan. Pengorbanan Yesus untuk hidup sengsara demi keselamatan manusia telah banyak memberikan inspirasi kepada manusia. Yesus memiliki semangat kepeloporan dan semangat mencerahkan. Ia benar-benar provokator sejati tentang kerajaan Allah. Rangkaian peristiwa kesengsaraan dan kebangkitan Yesus menjadi desain utama pemikiran strategis kristiani. Ia menjadi guru bagi kita.

Adalah Van Lith, SJ peletak dasar kerajaan Allah di tanah Jawa (Indonesia). Seperti Yesus, Van lith mempunyai semangat kepeloporan dan semangat mencerahkan. Ia mendirikan sekolah bukan sekedar gedung fisik belaka, tetapi ada roh hidup yang menyertainya-kepeloporan dan pencerahan bagi warga sekitarnya. Van lith berkarya melalui metode dan media pendidikan. Ia berhasil memperkenalkan kehadiran gereja dalam masyarakat. Dengan karya pendidikannya itu, manusia di lingkaran pengaruhnya menjadi tercerahkan. Suatu tugas misi yang sungguh visioner bagi Gereja dan perkembangan masyarakat sekitar. Bagaimana nasib pendidikan Katolik masa kini? Ini pertanyaan yang sukar dijawab.

Sebagai bahan perbandingan, kita masih ingat Ezra Cornell, pendiri Universitas Cornell, Amerika Serikat, 1868. Ia mengatakan, ”Pendidikan adalah awal dari perubahan kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik.” Cornell bersedia menyumbangkan tanah dan menyisihkan uang 500 ribu dollar. Saat ini Universitas Cornell merupakan universitas terbaik di dunia. Ada seorang ahli sejarah berkebangsaan Inggris memberikan komentar, ”Ada sesuatu yang lebih saya kagumi dibandingkan gedung univeristas yang megah ini, yakni orang yang tenang, bijak dan sederhana yang telah membangunnya. Ia telah dengan tepat menciptakan sebuah kekekalan dan keabadian namanya di antara orang-orang merdeka”

Gema Gereja Katolik bukan sekedar dari gedung mewah yang telah berdiri. Tetapi sumbangsihnya dalam kehidupan praksis. Satu di antaranya mencerdaskan kehidupan bangsa lewat jalur-jalur pendidikan Katolik. Dulu banyak orang mengakui pendidikan (sekolah ) Katolik mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan sekolah lain. Agaknya kini, pendidikan (sekolah) sedikit bergeser, bahwa tidak semua pendidikan (sekolah) Katolik mempunyai nilai lebih, bahkan boleh dikata, beberapa sekolah Katolik menjadi lebih terbelakang dibandingkan dengan sekolah-sekolah lain. Tulisan ini bukan mengolok-olok, tetapi mencoba realistis berdasarkan pengamatan lapangan. Sehingga dari situ tercipta simpul sinergi yang dapat saling mengembangkan. Berapa banyak sekolah-sekolah Katolik yang kalah bersaing dengan sekolah lainnya? Betapa menyedihkan, banyak sekolah Katolik tutup karena tidak mempunyai dana atau siswa. Belum lagi masalah nilai yang kian luntur saja.

Kita lebih prihatin lagi, jika membaca hasil survei PERC (Political and Economic Risk Consultancy) bahwa di tahun 2001, pendidikan Indonesia terpuruk di antara bangsa-bangsa Asia. Dengan keterpurukannya itu, sebenarnya Gereja Katolik turut bertanggung jawab dalam keterpurukan itu, karena di sisi internal pendidikan Katolik juga semakin menurun. Sedikitnya ada tiga kondisi yang bertolak belakang (paradogs) dari sekolah Katolik pada saat ini yang mengelisahkan.

Pertama, banyak sekolah Katolik tutup, karena tidak ada murid dan dana. Di samping itu ada sekolah minus dari segi kualitas dan dana, sehingga banyak guru/karyawan menjerit karena upahnya jauh di bawah standar. Implikasinya banyak orang tua siswa mengalihkan pendidikan putra-putrinya ke sekolah lain, karena suasana sekolah tidak kondusif. Kedua, ada sekolah Katolik yang relatif berprestasi, tetapi minta ampun biayanya mahal. Sehingga kesempatan siswa/mahasiswa yang keadaan ekonomisnya menengah ke bawah tidak ada. Ketiga, ada sekolah Katolik yang mempunyai lulusan relatif baik dalam akademis, tetapi banyak di antaranya kemudian menindas rakyat-kritik almarhum Romo Mangunwijaya.

Mari coba kita teliti lebih jauh, dalam buku pedoman Keuangan Paroki, yang diterbitkan Keuskupan Surabaya, hampir 50 persen dana digunakan untuk pembelian tanah gereja, pembangunan gereja, kapel, dan pastoran. Hanya 10 persen untuk subsidi perbaikan gaji guru/karyawan sekolah minus, dan subsidi renovasi gedung sekolah minus. Sisanya untuk kebutuhan gereja lainnya. Dilihat dari persentase itu kita semua terhenyak dan terkejut. Bahwa skala prioritas dana bukan untuk mengembangkan pendidikan. Memang ada ada beberapa kelompok cendekiawan Katolik yang mengugat masalah ini. Hanya saja, kita perlu berkepala dingin untuk menanggapinya. Sebab tanpa itu kita semua terjebak dalam arus konflik baru dalam gereja. Kalau terjadi seperti itu berarti perjuangan Katolik semakin tidak produktif atau kontraproduktif.

Paskah kali ini akan benar-benar berarti, jika ada suasana dialogis antar internal gereja. Poin utama dialogis ini menyangkut perjuangan gereja ke depan. Perjuangan ke depan yang sekali penting adalah masalah pendidikan. Kita masih ingat ucapan Nurcholish Madjid (Cak Nur) cendekiawan muslim yang mengatakan pendidikan itu investasi jangka panjang. Atau gerakan teman–teman Muhammadiyah yang sudah mulai gencar melaksanakan program pendidikannya. (Apa yang dikemukakan Cak Nur itu sebenarnya agak terlambat bila dibanding Van Lith dan teman-temannya dalam konteks Indonesia). Jangan sampai gereja banting setir dan malah meninggalkan pendidikan yang terengah-engah ini. Masa depan gereja dan pendidikan ada di setiap pundak umat. Tidak berlebihan jika saat ini gereja perlu memikirkan solusi bagi pengembangan gereja maupun bangsa. Lontaran mendiang Mgr Soegijapranata ”menjadi 100 persen warga Indonesia dan 100 persen warga gereja” tampak semakin mengemuka. Bagaimana pendidikan Katolik mampu memberikan sumbangan yang tulus kepada bangsanya. Itulah bukti konkret Gereja Katolik menyatu dengan Indonesia.

Beberapa gagasan yang penting yang perlu direfleksikan dalam suasana Paskah menyangkut pendidikan Katolik:

  1. Pendidikan yang bisa dijangkau semua kalangan (murah).
  2. Pendidikan yang mempunyai nilai lebih (kualitas).
  3. Pendidikan yang menghargai rasa kemanusiaan bukan penindas.
  4. Pemberian prioritas pendidikan kepada saudara-saudara yang berekonomi lemah
  5. Pendidikan yang memperhatikan saudara-saudara kita yang sering mendapat diskriminasi, perlakuan kurang manusiawi, yakni mereka yang berintelegensi tidak tinggi.
  6. Pendidikan itu untuk semua warga, bukan hanya milik yang berintelegensi tinggi dan berduit saja.
  7. Jangan lupa kesejahteraan moril dan material guru atau karyawan pendidikan. Tanpa mereka pendidikan Katolik semakin terpuruk saja.

Semoga dengan Paskah, bangkit pula pendidikan Katolik, sehingga memberikan kontribusi perbaikan pendidikan nasional kita. Selamat Paskah.

Tabloid Jubelium Edisi April 2002

Tidak ada komentar: