Rabu, 13 Agustus 2008

Orang Muda Katolik Berpolitik?

Kanisius Karyadi

Sejarah Indonesia 1965 mencatat, aktivis muda Katolik dalam jagad perpolitikan, sosok Soe Hok Gie, Harry Tjan Silalahi, Cosmas Batubara, dan lain-lain turut ambil bagian dalam sejarah bangsa. Sosok Soe Hok Gie, demonstran, tokoh muda kritis, non partisan, non ormasan, kolomnis, tionghoa menyuarakan suara-suara kritis kepada bangsa. Termasuk kritis kepada teman-teman aktivis Katolik yang masuk parlemen adalah suatu pilihan dan gaya berpolitik. Sosok Harry Tjan Silalahi, Cosmas Batubara, tokoh politik muda Katolik, demonstran yang menerima tawaran masuk parlemen adalah suatu pilihan dan gaya berpolitik.

Dalam beberapa diskusi kami, mengapa kala itu banyak aktivis muda Katolik yang muncul? Kita melihat ada gerakan yang berskala internasional dalam menggulung komunisme di Indonesia. Manuver Amerika Serikat dan Vatikan yang ikut ambil bagian. Tak ketinggalan Gereja Katolik juga punya kepentingan ke arah sana. Gereja memakai kaki tangannya termasuk PMKRI. PMKRI menjadi ujung tombak pemberantasan komunisme. Maka banyak aktivis Katolik yang muncul

Bagaimana Sekarang?

Secara umum kita kehilangan musuh bersama, sehingga gerakan tidak fokus, kerja sporadis, dan kerja sendiri-sendiri. Dalam kehidupan dengan orang muda Katolik, khususnya di Surabaya, ada tegangan dalam memandang politik. Di satu sisi banyak kawan muda Katolik kita yang terlalu takut, “cenderung apriori” kepada dunia politik. Hal ini disebabkan pertama, minimalnya pendidikan dan pengetahuan politik. Kedua, terbatasnya pergaulan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik (masyarakat). Ketiga, praktik politik yang kotor, haus kekuasaan, rawan konflik, rawan korupsi dan lain sebagainya yang beredar luas dalam masyarakat turut mempengaruhi cara pandang mereka.

Di sisi lain, ada sedikit kawan yang memandang politik sebagai ruang peran yang bisa dimanfaatkan demi kepentingan umum termasuk di dalamnya menyalurkan kepentingan Katolik. Mereka diilhami pemikir besar yang mengatakan politik itu mulia. Ada beberapa kawan muda Katolik yang terlibat politik, saat ini menjadi anggota DPRD, ada pula yang berjuang dalam wadah politik lainnya

Dikotomi

Kita sering merasakan umat Allah, termasuk orang muda Katolik terlalu memisahkan (dikotomis), wilayah hierarki gereja adalah suci, dunia termasuk politik adalah kotor. Cara pandang kita terhadap persoalan gereja yang suci, dan dunia (politik) yang kotor membuat kita semakin rancu.

Kita perlu diingatkan pelaku sejarah dua wilayah adalah manusia. Selama manusia yang melakukan fungsi-fungsi itu selalu ada nilai baik atau buruk. Sangat tergantung moralitas manusia yang mengemban titah itu.

Sesuci-sucinya gereja, jika moralitas pimpinan tak bisa dipertangunggungjawabkan. Yang namanya korupsi, kolusi, nepotisme, penyelewengan jabatan dan seksual dan lain sebagainya bisa saja terjadi. (itu tercatat dalam sejarah).

Demikian pula, sebaik-baiknya sistem pemerintahan kita, jika moralitas pimpinan tak bisa dipertangunggungjawabkan, yang namanya korupsi, kolusi. Nepotisme, penyelewengan jabatan dan seksual dan lain sebagainya bisa juga terjadi.

Bagaimana menyikapi tegangan dan dikotomi ini? Perlu dipetakan dahulu wilayah itu. Pertama, kebanyakan kawan muda Katolik yang tidak terbiasa dengan kehidupan politik adalah dari kalangan muda yang tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan/kepemudaaan. Kebanyakan mereka menikmati masa muda tanpa organisasi atau organisasi lokal misal KMK, Mudika, dan lain-lain. Mereka terbiasa dilatih jadi kader gereja tetapi minimal dipersiapkan dalam wilayah publik. Namun, saya juga mendapati sedikit kader gereja yang tak kenal ormas, justru lebih energik dan kritis hal ini terkait pergaulan dan komunikasi dengan tokoh-tokoh politik tertentu.

Kedua, kebanyakan cikal bakal peminat politik adalah kaum muda Katolik jebolan organisasi kemahasiswaan/kepemudaan baik yang agamis ataupun sekuler. PMKRI, GMNI, PMII, Pemuda Katolik, LMND dan lainnya menyumbang besar bagi kaum muda Katolik peminat politik. Namun, tidak semua kaum muda Katolik lulusan organisasi itu politis, ada juga yang apolitis.

Di samping itu, kita mendapati fakta ormas kader Katolik sering bertempur internal yang kurang produktif. Ada Ormas Katolik mandeg dihuni terlalu lama (ada yang puluhan tahun) kader sendiri. Terlalu banyak dalih dikemukakan, terlalu banyak kepentingan sesaat dimainkan. Akhirnya ormas kemahasiswaan/kepemudaan Katolik semakin sepi peminat. Lalu siapa yang bakal jadi kader politik kita?

Ketiga, lembaga ”kaderisasi bayang-bayang” Katolik turut menyumbang lahirnya peminat politik. Mengingat bidang garapan yang berorientasi kepemimpinan dan kekuasaan publik, kader lembaga ini masih cukup bisa diperhitungkan.

Keempat, masih konsistennya lembaga kader pastor. Kebanyakan umat Katolik merasakan wilayah seminari dan pastor adalah wilayah suci agama Katolik. Umat menganggap wilayah ini bebas politis, kaum muda Katolik pun tidak sadar bahkan mengganggap gereja tidak bermain politik. Justru dengan konsisten pada wilayah itu gereja semakin politis. Gereja melanggengkan kekuasaan di tanah air. Gereja Katolik sudah mempersiapkan kader politik internal yang bakal mengisi kekuasaannya.

Ini wacana dan praktik supaya umat tidak terlalu apolitis (benci politik dan lain sebagainya). “Ini mungkin menyinggung hierarki, namun jangan marah.” Sebenarnya Jauh hari Gereja berpolitik, namun kadang umat kurang menyadarinya. Contoh lagi gereja berusaha mensejahterakan umat dengan sekolah, gerakan credit union atau lewat PSE (pengembangan sosial ekonomi) adalah salah satu politik gereja.

Melihat peta itu, kita punya sikap, pertama, wilayah politik perlu dimasuki generasi muda Katolik. Mengingat, kita punya tanggung jawab bersama menciptakan kesejahteraaan dan perdamaian bagi semua orang. Wilayah itu bukan wilayah tabu untuk dimasuki. Kita sering mengkambinghitamkan politik sebagai wilayah jahat, namun sejatinya segala wilayah kehidupan baik itu sosial, ekonomi, agama dan lain sebagainya juga mempunyai sisi-sisi suram. Tugas kita adalah menjadikannya cemerlang.

Kedua, hendaknya basis intelektual dan iman melandasi kita dalam berpolitik. Sebab tanpa intelegensia dan iman yang memadai kita gampang terperosok dalam bayang-bayang politik yang bisa didesain kotor.

Ketiga, Politik bukan sekedar wacana tetapi gabungan wacana dan praktik. Oleh sebab itu, kaum muda Katolik perlu didorong terlibat secara aktif sehingga pada saatnya siap menjadi kader dan leader di setiap lini.

Kendaraan

Inilah yang menjadi pokok keprihatinan kita, dulu era 1960 Katolik punya akses langsung kepada Partai Katolik, tetapi semenjak fusi tahun era 1970-an ke dalam PDI. Umat kita mengalami kebimbangan. Secara sejarah, umat Katolik dekat partai berbasis nasionalis, seperti PDI dan turunannya.

Kita perlu menyalurkan orang muda Katolik ke partai yang memungkinkan bisa masuk partai berbasis nasionalis PDIP, Golkar, Demokrat dll bisa dipertimbangkan. Partai berbasis Islam terbuka seperti PKB dan PAN juga pantas diperhitungkan.

Profesi

Sejatinya orang muda Katolik dihadapkan pada masalah keprofesian dirinya dan persoalan perut (masa depan). Kaum muda perlu berusaha sekuat tenaga dan pikirannya untuk memberdayakan dirinya ini. Kaum muda Katolik diharapkan berisi secara rohani dan materinya.

Secara profesi, kaum muda diarahkan menjadi banyak profesi tergantung cita-cita dan realitanya, ada yang diarahkan jadi pengusaha, dokter, insinyur, jaksa, hakim, tentara, polisi, birokrat, dosen, peneliti, pengacara dan lain-lain.

Jika suatu saat nanti disambungkan dengan dunia politik, kaum muda kita relatif nyambung baik, dan siap. Hal ini semakin baik apabila gereja yang menaungi, mempersiapkan generasi mudanya dengan bekal keduniaan/keprofesian/keintelektualan. Niscaya kader-kader muda gereja semakin diperhitungkan. Ada mutualisme yang saling menguntungkan, kaum muda berusaha dan bergerak demi masa depannya, gereja ambil bagian konkret dalam karya dunia yang lebih konkret pula.

Tidak ada komentar: