Rabu, 13 Agustus 2008

Katolik, Tionghoa dan Minoritas

Membicarakan masyarakat Katolik di Indonesia sungguh menarik. Satu di antara isu abadi di internal Katolik adalah ”Katolik, Tionghoa dan Minoritas”. Isu ini tidak bermaksud menggeneralisasi keseluruhan isu Katolik. Karena Katolik sejatinya kumpulan orang yang heterogen. Tidak ada salahnya kita mengangkatnya.

Tomy Su menulis di harian Kompas Jawa Timur 1 April 2005, berjudul Etnis Tionghoa dan Politik di Jawa Timur. Sedikitnya mengurai kegelisahannya tentang aktivitas warga Tionghoa. Di masa Orde Baru ada pembatasan ruang gerak warga Tionghoa di wilayah politik. Karena faktor itu, warga Tionghoa terlanjur menjadi binatang ekonomi dan apolitis.

Kegelisahan Tomy Su tidak bisa diremehkan begitu saja mengingat hal yang diutarakannya berdasarkan kondisi umum lapangan. Penulis juga merasakan mayoritas warga Tionghoa agak takut jika dihubungkan dengan aktivitas berbau sosial-politik. Kalangan muda Tionghoa yang berjumpa dalam aktivitas kemahasiswaan (1995) di Surabaya mayoritas menunjukkan tabiat antipolitik. Mayoritas menjatuhkan sanksi politik itu kotor.

Berangkat dari tulisan Tomy Su, penulis perlu memberikan tambahan. Bahwa upaya mengorganisasi dan melibatkan warga Tionghoa dalam ranah sosial dan politik merupakan proses integrasi. Sebagaimana dikemukakan Ogburn dan Nimkoff (1960),”The process where by individuals or groups once dissimilar become similar, become identified in their interests and outlook”.

Hal itu juga dialami Gereja Katolik. Pengalaman Gereja Katolik di tanah Jawa (Indonesia) juga terus melakukan proses integrasi dan inkulturisasi. Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ mengeluarkan jargon,”Menjadi 100 persen warga Gereja dan menjadi 100 persen warga Indonesia” (pro ecclesia et patria). Di zaman pergerakan nasional, ada penolakan dari pejuang domestik. Bahwa agama dan Gereja Katolik merupakan agama penjajah. Siapa pun yang memeluk agama Katolik sama artinya juga penjajah. Sedikit demi sedikit, gagasan Soegijapranata itu bisa diterima walaupun sekarang masih ada yang melakukan penolakan.

Proses integrasi warga Tionghoa sudah berlangsung lama. Pada Orde Baru geliatnya kurang terlihat dan terhambat. Pada kesempatan ini, penulis menyajikan penelusuran sejarah di Surabaya. Terkait aktivitas warga Tionghoa yang berintegrasi dalam ranah sosial politik. Perjumpaan dan pengalaman penulis dalam aktivitas sosial-politik di Surabaya periode 1995-2000 menunjukkan tidak semua warga Tionghoa itu anti sosial, anti politik atau menjadi binatang ekonomi belaka. Ada cukup banyak aktivis Tionghoa seputar Reformasi 1998 di Surabaya. Mereka tersebar di berbagai bidang. Ada yang menjadi politisi, intelektual, aktivis LSM, aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis dan lain-lain. Benar-benar melek politik.

Berikut ini penjelasannya. Pertama, aktivis Tionghoa-Jurnalis. Penulis menemukan perempuan Tionghoa yang cerdas dan progresif bernama Mega Christina. Ia adalah lulusan Unair Surabaya. Pernah magang mengajar di STM (SMK) Katolik St. Louis Surabaya (1993). Pada 1995, penulis mendapati aktivis ini menekuni jurnalisme di harian Surya. Saat meliput demonstrasi besar sopir taksi Zebra, yang menolak kenaikan setoran. Ia tak goyah. Ketika banyak sopir non-Tionghoa mencibir wartawane cino. Dalam episode selanjutnya, ia malang melintang dalam dunia aktivis jurnalistik. Jelas ia tidak buta sosial-politik. Kabar terakhir ia ikut aktif dalam INTI.

Kedua, Tionghoa-intelektual. Pada bagian ini ada intelektual Tionghoa yang sungguh melek politik. Di antaranya Lukito Kartono, JP Mardijono, Irene R Adhikusuma, Bagong Suyanto, Anita Lie, Kresnayana Yahya dan lain-lain. Lukito Kartono, dosen UK Petra ini sudah sejak muda malang melintang dalam gerakan mahasiswa. Periode 1970-an ia pernah menikmati hawa tahanan. Intelektual Tionghoa periode 1995-2000 di Surabaya yang sungguh cerdas, berani dan kritis. Baik pada birokrasi, perguruan tinggi sampai pemerintahan adalah Kresnayana Yahya.

Setiap undangan ceramah di PMKRI Surabaya atau forum lain pada tahun 1995-2000. Kresnayana menunjukkan kelas intelektualnya. Tak segan ia mengkritik kebijakan perguruan tinggi yang diskriminatif. Pemerintah yang manipulatif dan lain sebagainya. Sebagai peserta diskusi, penulis tercengang dengan keberaniannya. Sungguh 10 ribu dibanding satu. Orang yang berani bicara kencang dan kritis di tengah rezim Orde Baru. Apalagi yang ngomong warga Tionghoa. Sungguh ia sungguh sudah melek politik.

Ketiga, aktivis Tionghoa-aktivis LSM. Pada sesi ini, ada warga Tionghoa yang terlibat dalam aktivitas kemasyarakatan di Surabaya. Ada aktivis yang cukup dikenal. Di antaranya pernah memprakarsi lembaga-lembaga non pemerintah di Surabaya seperti PEKAD, KALIMAS, FKPS dan lain sebagainya. Aktivis Tionghoa ini seperti Hendy Prayogo, Bu Lieke, Sidharta, Ignatius Hermawan Holley dan lain sebagainya. Hendy Prayogo dan Hermawan Holley adalah warga Tionghoa yang enerjik, penuh semangat dan pantas dihormati. Penulis menilai, orang Tionghoa ini agak nyeleneh. Sebab mayoritas sesama Tionghoa bekerja dan berwirausaha. Mereka ikut berperan dalam gerakan sosial. Utamanya dalam masalah kemanusiaan dan kerukunan umat beragama di Surabaya.

Keempat, Tionghoa aktivis politik dan kampus. Untuk mencari seorang politisi, sekaligus akademisi Tionghoa di Zaman Orde Baru sangat sulit. Dari sekian ribu warga Tionghoa ditemukan di Anton Priyatno. Tidak tanggung-tanggung. Semasa Orde Baru berkuasa, ia beberapa kali menjadi anggota DPR dari Golkar. Sekaligus ia pernah menjadi Rektor Universitas Surabaya. Di saat reformasi Indonesia 1998 bergulir. Anton adalah satu tokoh kampus yang berani turun ke jalan menyerukan reformasi total. Tanggal 13 Mei 1998 merupakan penampakan akbar Anton Priyatno ke publik. Di depan kampus B Unair (tepatnya sekarang di halaman depan pascasarjana Unair). Anton tampil ke panggung menyerukan reformasi total bagi Republik Indonesia.

Kelima, aktivis Tionghoa gerakan mahasiswa. Banyak yang tidak tahu bahwa ada minoritas mahasiswa Tionghoa yang terlibat dalam aktivitas gerakan mahasiswa. Penulis tidak akan pernah melupakan aktivis mahasiswa Tionghoa yang sungguh berperan dalam gerakan mahasiswa di Surabaya. Prima Dianita tidak bisa dihapus dalam memori pergerakan lokal Surabaya. Di beberapa daerah seperti Surakarta, penulis mengenal dekat FX Haryanto Cahyadi. Seorang Tionghoa tothok aktivis gerakan mahasiswa tulen, bersih dan jujur sangat mengindonesia.

Gaya berpikir filsafatnya, membuat orang harus berpikir lebih satu kali ketika harus berhadapan dengannya. Di Bitung, penulis mengenal Emanuel J Tular. Saat ini ia menjadi Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, berkedudukan di Jakarta. Di samping pegiat sosial-politik Tionghoa di atas. Ada sebagian nama yang belum tercatat secara lebih detail. Namun setidaknya gambaran itu cukup mewakili.

Di level nasional, saat ini kita mengenal warga Tionghoa yang terlibat seperti Kwik Kian Gie, Harry Tjan Silalahi, adik kakak Liem Bian Kie dan Liem Bian Koen, kakak adik Jaya Suprana dan Joger, kakak adik Arif Budiman dan (alm) Soe Hok Gie, AB Susanto, PK Ojong (alm) dan lain-lain.

Perhelatan warga Tionghoa ini dikontekskan dalam pemikiran Ogburn dan Nimkoff menunjukkan. Pertama, ada kesadaran yang mengkristal semakin menjadi bagian integral bangsa Indonesia. Kedua, ada upaya praksis bersifat jangka panjang untuk terlibat langsung dalam kehidupan sosial-politik dan lainnya. Tidak melulu di bidang ekonomi.

Dari riwayat sejarah itu. Kita tidak bisa mengatakan semua warga Tionghoa itu apolitis atau binatang ekonomi. Ada kalangan Tionghoa yang sudah sangat berpartisipasi bagi republik ini. Harry Tjan Silalahi, pendiri CSIS yang merupakan person representasi dari isu Katolik, Tionghoa, dan Minoritas, memberikan peneguhannya, ”Kita kecil bukan berarti lemah”.

Semoga ke depan perjalanan warga Tionghoa semakin banyak yang terlibat. Dalam gerakan sosial dan politik. Semakin membawa keadaban dan kemaslahatan bagi semua orang.

Jubileum edisi 77 Tahun VII Agustus 2006

Tidak ada komentar: