Rabu, 13 Agustus 2008

Meneropong Peran Intelektual Katolik

Kanisius Karyadi

Ketika kita menyebut ”Katolik” di Jawa, akan terbersit Katolik itu identik dengan ”sekolah”. Anggapan itu tidak salah, karena Katolik tumbuh subur di Jawa (Indonesia) berkat pendidikan Katolik. Kita ingat, tokoh Katolik seperti IJ. Kasimo, pendiri Partai Katolik di masanya dan Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, pahlawan nasional, Uskup pertama dari Jawa (Indonesia) lahir dan besar dengan sentuhan sekolah Katolik di bawah asuhan Romo Van Lith, SJ. Selanjutnya, karya sekolah banyak menghasilkan sejumlah intelektual Katolik.

Pendidikan Katolik telah melahirkan kaum intelektual Katolik. Banyak kalangan mengakui keunggulan itu. Ekky Syachrudin, tokoh senior Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) memberikan joke seputar dunia intelektual Katolik kepada Paulus Januar, mantan Ketua Presidium Pengurus Pusat PMKRI Sanctus Thomas Aquinas, ia mengatakan,”Nahdlatul Ulama besar dalam jumlah, tetapi yang mampu membuat tesis tidak banyak, misal Gus Dur. Kebalikannya, Umat Katolik di Indonesia kecil, namun dari satu kelompok saja, seperti ordo Serikat Jesus (SJ)-Jesuit- puluhan orang bahkan banyak mampu membuat tesis”.

Pernyataan Ekky Syachrudin tentang dunia intelektual Katolik tidak mengada-ada. Membaca buku karya Chris Lowney bertitel Heroic Leadership, yang menggambarkan ketangguhan organisasi jesuit, yang didukung kepemimpinan masing-masing anggota jesuit. Digambarkan kepemimipinan jesuit dan pengabdiannya disokong empat pilar yaitu self awareness, ingenuity, love, heroisme. Reputasi didikan jesuit di Indonesia memang tokcer, di luar pro kontra eksistensi, sikap dan peran yang dimainkannya, kita masih sedikit berbangga dengan prestasi intelektual Katolik, seperti, PK Ojong-Jakob Oetama dengan harian KOMPAS, koran terbesar di Indonesia. Harry Tjan Silalahi, dkk pendiri CSIS, lembaga penelitian tersohor di Indonesia, Bambang Ismawan dengan BINA SWADAYA, NGO terbesar di Indonesia. Mereka adalah jebolan PMKRI hasil didikan dan sentuhan kaum jesuit.

Bagaimana peran Intelektual Katolik Indonesia, khususnya di Jawa Timur? John Tondowidjojo, CM dalam tulisannya berjudul “Panggilan Kaum Cendekiawan Katolik Indonesia” di buletin Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) basis Surabaya no 1/2004 mengatakan, ”Secara lebih khusus cendekiawan, jadi juga cendekiawan Katolik, dipanggil untuk mempertahankan dan memperluas kebebasan berpikir kritis dan alternatif, kreatif dan baru. Untuk menentang segala usaha ke arah ideologisasi, pembungkaman pikiran, penutupan kebebasan berpendapat lain, menentang segala usaha membuat bangsa terdiri dari yes people. Cendekiawan tidak boleh dapat seluruhnya didomestifikasikan”.

Banyak intelektual Katolik yang turut berperan mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Namun demikian, Romo YB. Mangunwijaya, Pr yang alumnus PMKRI Bandung itu memberikan kritiknya, tidak sedikit pula hasil pendidikan Katolik yang tampil gagah sembari menindas rakyat kecil. Lebih spesifik, A Cahyo Suryanto, kini aktif di Universitas Surabaya dan di Pusdakota, pernah melontarkan kritik tajam dan pedas, ia menyatakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman, tidak sedikit sarjana jebolan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang tampil dalam dinamika masyarakat menindas orang lemah.

Bertitik tolak pada kritik dan praksis Mangunwijaya dan Cahyo Suryanto itu, bisa digambarkan bahwa intelektual Katolik sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada intelektual Katolik bisa berperan dalam mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Sisi yang lain, ada intelektual Katolik menjadi penindas rakyat. Intelektual bisa dijadikan alat legitimasi pemerintah dan modal untuk mempertahankan kekuasaan dengan membodohkan rakyat.

Peran

Lalu bagaimana menilai peran formal intelektual Katolik kini? Penulis membedakan menjadi empat peran intelektual Katolik berdasarkan kecenderungan, fokus peran dan garapan, tetapi klasifikasi ini tidak terpaku satu jenis klasifikasi. Ada beberapa intelektual Katolik yang tidak hanya berkiprah mengajar di kampus, kadang mereka terlibat dalam garapan bidang profesional ataupun menjadi penggerak LSM dan lain sebagainya. Seperti umumnya kehidupan umat Katolik lainnya, para intelektual Katolik itu pun berasal dari kalangan awam Katolik dan kaum klerus Katolik.

Pertama, peran mengembangkan ilmu pengetahuan. Area ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Mereka bekerja dalam sekolah atau universitas Katolik swasta dan negeri. Di Jawa Timur kita mengenal nama besar Pater Josef Glinka, SVD, I Basis Susilo, Edi Suhardono, Johan Silas, Armada Riyanto, CM, termasuk guru-guru di sekolah Katolik mulai dari TK, SD, SMP, SMU dan lain-lain.

Kedua peran profesional. Wilayah ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam praktik keprofesian tanpa meninggalkan basis keilmuannya dalam masyarakat. Model intelektual Katolik ini tersebar dalam berbagai macam profesi seperti wartawan, dokter dan lain sebagainya. Di Jawa Timur kita mengenal Errol Jonathans, Jangkung Karyantoro, Wolly Baktiono, dr Yudhayana, Max Margono, Anita Lie dan lain-lain.

Ketiga, peran elitis dan politis. Di samping memainkan peran keilmuan, ada beberapa intelektual Katolik yang berupaya tampil ke publik sebagai pimpinan organisasi (elit) atau tampil dalam dunia politik praktis dalam mengembangkan masyarakat. Mereka tergerak membadankan teori-teori keilmuan dalam praksis kemasyarakatan. Dari Jawa Timur, kita mengenal Ramlan Surbakti, Anton Prijatno, Adrianus Harsono, YA Widodo dan lain-lain.

Keempat, peran kultural (populis). Di sini diisi intelektual Katolik selain aktif dalam kegiatan akademik juga langsung terlibat dalam gerakan-gerakan rakyat. Misalnya aktif dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka terlibat dalam praksis langsung kehidupan masyarakat. Pada umumnya, mereka terbiasa dengan diskursus teologi pembebasan (pemerdekaan) yang banyak dikembangkan di daratan Amerika latin atau semangat Vincentius A Paulo pendiri CM yang terkenal dengan “Aku diutus untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin”.

Konflik Peran

Dalam memainkan peran masing-masing, tak jarang antar intelektual Katolik saling bertemu dalam suasana keakraban atau bisa juga dalam suasana menegangkan. Kerap kali para intelektual Katolik mengalami konflik peran, yaitu benturan-benturan akibat perbedaaan peran, yang lebih dalam dikupas ada perbedaan pandangan, tujuan, kepentingan dan keberpihakan.

Dalam catatan orde lama, kita mengenal IJ Kasimo, tokoh pendiri Partai Katolik bersitegang dengan Mgr. A. Soegijapranata, SJ. Penyebabnya, pada tahun 1950-1960-an, Partai katolik dibawah IJ Kasimo menentang Presiden Soekarno, dan mencanangkan Partai katolik di masanya beroposisi dengan pemerintah, dengan ditandai penolakan Partai Katolik untuk duduk dalam kabinet. Sementara dengan prinsipnya, pro ecclesia et patria, Mgr Soegijapranata mengharapkan Partai Katolik mau bersekutu dengan kabinet di bawah Soekarno.

Dalam catatan sejarah semasa orde baru, kita mengenal pejuang kemanusiaan YB Mangunwijaya, Pr seorang intelektual Katolik bersekutu dengan rakyat tertindas. Dalam memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, ia harus berhadapan dengan intelektual Katolik ”tanah abang” di lingkaran elit dan politis, yang menjadi think tank pemerintah. Sangat mungkin, keluarnya kritikan Mangunwijaya tentang hasil sekolah Katolik menindas rakyat dari fenomena ini.

Konflik peran lain, juga sangat biasa dialami intelektual Katolik. Selain sesama intelektual Katolik, tak jarang kaum intelektual Katolik berhadapan dengan intelektual di luar Katolik.

Peran intelektual Katolik sampai saat sekarang cukup tersebar dalam semua bidang kehidupan. Namun, harus diakui dalam dua puluh tahun terakhir, banyak sekolah Katolik yang mengalami kemunduran, baik dari segi finansial, akademik dan keberpihakan kepada rakyat miskin.

Di internal Gereja Katolik pertentangan intelektual sering kali mewarnai, misal pemikir/intelektual Katolik di Amerika Latin ada yang dicekal (ekskomunikasi) oleh Vatican. Gara-gara mereka menjadi “aktor intelektual” teologi pembebasan seperti leonardo Boff. Bagi Gereja Katolik masih kukuh, dengan menolak penyelesaian masalah kemasyarakatan dengan kapitalisme maupun sosialisme dan turunannya seperti tertuang dalam ensiklik Rerum Novarum (1891). Gereja Katolik menolak praktik teologi pembebasan karena teologi ini dianggap sebagai campuran ajaran marxisme-komunisme dan ajaran iman Katolik.

Peran Media

Pada babak mutakhir ini, kehadiran media massa berperan membibit intelektual muda untuk tampil ke permukaan. Misalnya, Harian Kompas memberikan kesempatan kepada semua elemen masyarakat mengekpresikan pemikiran dalam tulisan. Saat ini media massa menjadi salah satu alternatif menyampaikan gagasan intelektual praktis yang bisa menambah proses dialektika problem kemasyarakatan kita. Tonny D Widiastono (2004), Redaktur opini Kompas menyatakan proses tulis menulis sebagai kegiatan olah pikir (intellectual exercise). Lebih jauh Rm Boedi Prasetijo Pr (2005), Ketua Komsos Keuskupan Surabaya menyatakan tulis menulis sebagai satu bentuk kerasulan media.

Proses dan hasil olah pikir di media massa yang berupa tulisan, tidak jarang menjadi referensi intelektual untuk mengambil atau mempengaruhi kebijakan publik. Saya menyadari bahwa untuk menulis di media massa tidak segampang membalikkan tangan. Butuh juga perjuangan untuk kuat dalam kualifikasi tulisan sesuai garis kebijakan redaksi media massa dan kompetisi dengan para penulis lain. Sebenarnya ini adalah kesempatan emas dan baik bagi segenap intelektual Katolik untuk mengekspresikan segenap kemampuan intelektualnya.

Basis Susilo, Tondowidjojo, Armada Riyanto, Anita Lie, B Suprapto dan lain-lain sudah cukup mampu memberikan teladan yang berharga. Tulisan ini bukan bermaksud menjatuhkan, namun lebih pada stimulus intelektual untuk mendorong segenap potensi intelektual Katolik untuk terjun ke publik yang lebih luas.

Kegelisahan Intelektual

Josef Glinka dalam tulisannya di buletin Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) basis Surabaya no 1/2004, pada akhirnya mengungkapkan kegelisahannya kepada generasi muda (Indonesia) yang berminat dalam penyelidikan keilmuan terutama di bidang ilmu Antropologi, di mana generasi muda kita semakin langka saja yang mempelajari khasanah kekayaan ragam yang ada di Indonesia sendiri.

Kegelisahan ini sebenarnya perlu direspon secara positif, sebab kegelisahan itu muncul dari pengalaman, pemikiran dan pergulatan pribadi bertahun-tahun yang pada akhirnya memunculkan keprihatinan. Keprihatinan itu bukan sekedar uneg-uneg tanpa makna, namun memiliki dasar pijakan yang kokoh. Perlu renungan dan praksis untuk itu.

Akhirnya, walaupun ada pertentangan di Hierarki Gereja Katolik tentang teologi pembebasan. Namun tidak ada salahnya merenungkan pemikiran Ignacio Elacuria, seperti dikutip dalam buku Teologi, Pendidikan dan Pembebasan karya Hartono Budi (2003), “Sebuah universitas kristiani harus mempertimbangkan preferensi Injil kepada yang miskin. Itu tidak berarti bahwa kemudian hanya orang miskin akan belajar di universitas; itu juga tidak berarti bahwa universitas harus menarik misinya meraih prestasi akademik yang tinggi. Prestasi tinggi diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah sosial yang rumit. Itu berarti bahwa universitas seharusnya hadir secara intelektual ketika ada kebutuhan: menawarkan ilmu kepada mereka yang tidak berilmu; mengusahakan keterampilan kepada mereka yang tidak mempunyai keterampilan; bersuara bagi mereka yang tidak mempunyai suara; memberikan dukungan intelektual kepada mereka yang tidak memiliki kualitas-kualitas akademik untuk mendukung dan memperjuangkan hak-hak mereka...”

Warta Paragonz, Oktober 2005

1 komentar:

s-kancabhumi mengatakan...

Saya pikir saat ini bukan masalah mendata seberapa banyak orang Katolik berkontribusi terhadap perubahan dunia, baik di Indonesia dan yang mendunia. Sebagaimana yang menjadi amanat dalam Konsili Vatikan II, yang terpenting adalah bagimana gereja dan warga gereja, mampu berdialog dengan dunia dan segala persoalannya; perubahan iklim, kemiskinan global, masalah pendidikan dan kesehatan bagi kaum miskin di Indonesia dan masalah-masalah kemanusiaan lainnya.

Kita tentu dapat belajar banyak dari berbagai imam-imam Jesuit saat ini seperti Romo Sindhu dan Romo Mudji tentang masalah kemanusiaan. Bahkan, kita bisa belajar banyak dari Gus Dur tentang kerukunan antarumat beragama. Namun yang membuat gereja berada dalam kondisi "rawan" di Indonesia adalah, karena citranya yang berdekatan dengan penajajah Eropa dan juga bangunan fisik gereja yang kerap mentereng di tengah keadaan sosial-ekonomi masyarakat yang miskin dan rawan konflik.