Rabu, 13 Agustus 2008

Konsep Semu Perbaikan Nasib Buruh

Oleh KANISIUS K A R Y A D I

Hampir setiap tahun, pengusaha, buruh dan pemerintah dihadapkan persoalan penentuan jumlah nominal upah minimum kota/kabupaten (UMK) di Jatim. Selama itu pula rata-rata muncul ketegangan di sana-sini.

Sebagai pengamat hubungan industrial dan hampir tiap tahun menulis artikel UMK dan perburuhan di Harian Kompas Jatim. Saya merasa pesimistis bahwa pembahasan dan penetapan UMK tahun 2007 mampu mengangkat derajad kemanusiaan dan mensejahterakan buruh secara maksimal.

Paling-paling hasil akhirnya ya itu-itu saja, kenaikan UMK tidak lebih dari 20 persen titik. Kalaupun naik lebih dari 30 persen, itu keajaiban murni dalam praktik UMK di Jatim, kecuali zaman Gus Dur yang benar-benar menaikkan UMK sampai 40 persen.

Persoalannya sekarang adalah, pertama tidak ada atau minimal grand design dari perusahaan-perusahaan untuk mengangkat kesetaraan kesejahteraan dan derajad karyawannya. Hal ini dibuktikan dengan sangat minimalnya atau bahkan tidak ada kerangka konsep perusahaan yang merencanakan kenaikan / perbaikan nasib buruh.

Paradigma perbaikan selalu dikaitkan dengan alat produksi. Ketika dikaitkan dengan alat produksi berarti semakin menjauhkan dari kesejahteraan buruhnya, mengingat pada akhirnya alat produksi itu murni asset pengusaha bukan milik buruh. Maka jangan terlalu heran ketika perubahan dan konsep UMK berjalan di tempat. Karena yang selalu dipikirkan adalah bagaimana memperbaiki dan memperbesar aset perusahaan ketimbang memperbaiki kesejahteraan buruhnya.

Sangat jarang kita jumpai, perusahaan yang mampu berjalan seiring antara perbaikan mesin dan manusia. Seringkali aspek mesin yang didahulukan, dan aspek manusia dibiarkan begitu saja. Maka akibatnya terjadi ketidakseimbangan dalam perusahaan, mesinnya baik tapi SDM kurang dihargai.

Kedua, minimalnya bahkan tidak ada kesadaran universal dari para pengusaha kita untuk berbagi kebahagiaan dan kesejahteraan dalam kapital dengan buruhnya. Hal ini dikaitkan dengan tranparansi pendapatan pengusaha dan buruhnya. Sangat banyak kita jumpai paradigma, buruh mau diajak susah berjalan bersama, ketika masa jaya buruh ditelantarkan.

Ketiga, sedikitnya perusahaan bonafid di Jatim. Pada umumnya perusahaan yang bonafid dan besar di Jatim telah lama meninggalkan konsep UMK. Mereka mempunyai standar penggajian di atas area UMK. Persoalannya, tidak semua perusahaan di Jatim seperti itu, bahkan sangat dominan perusahaan yang masih kuat memegang kultur UMK. Jadi kita tidak usah kaget dengan kondisi perburuhan kita semakin muler mungkret.

Keempat, hal ini diperparah dengan fenomena migrasi besar-besaran pengusaha yang semula memakai karyawan tetap menjadi karyawan kontrak. Fenomena ini banyak kita jumpai di lapangan, atas nama efisiensi, reengineering, tidak mau terikat, tidak mau menanggung upah besar, tidak mau menanggung tunjangan hari raya, tidak mau menanggung biaya kesehatan buruh dan lain-lain, pengusaha kita mulai banyak yang hijrah ke pedoman baru itu.

Akal-akalan bin siasat-siasatan untuk mempersempit ruang gerak buruh semakin gencar terjadi. Uniknya, pemerintah kita mau saja mengikuti alur pedoman itu. Dengan alasan ada dasar hukumnya dan lain-lain, pemerintah kita sudah tidak berdaya membendung kekuatan dan gelombang perubahan itu.

Sehingga saya merasakan konsep memperbaiki secara umum nasib buruh adalah semu belaka. Kelihatan memperbaiki tetapi ujung-ujungnya menggerogoti buruh.

Yang diperlukan sekarang adalah, pertama kesadaran pengusaha akan tanggung jawab sosial kepada buruh, bahwa ke depan aspek mesin dan manusia perlu minimal mendapat proporsi yang sama. Sehingga ketika ada perbaikan mesin, ada baiknya aspek manusia juga diperbaiki dari sisi pendapatan dan morilnya. Tanpa menunggu penetapan cas-cis-cus UMK yang berkepanjangan.

Kedua, pengusaha kita dominan menerapkan konsep UMK, namun ada baiknya jika penghasilan pengusaha jauh di atas break even point (titik impas), keuntungan itu tidak semua masuk ke kantong pengusaha, ada baiknya buruh mendapat jatah proporsional persentase dari keuntungan tersebut. Saya kira dengan model pendekatan seperti itu, pengusaha turut memperbaiki kesejahteraan buruh dengan tanpa paksaan dan hasilnya bisa lebih baik.

Ketiga, pemerintah sebagai eksekutor regulasi tampaknya perlu berkaca, bahwa selama ini konsep UMK yang berjalan dan migrasi kontrak yang menggila perlu mendapat perhatian serius, mengingat konsep itu bukan konsep asli meningkatkan kompetisi tenaga kerja kita, melainkan diselewengkan sebagai alat mengurangi dan menekan biaya produksi semata. Pada akhirnya buruh yang manusia itu menjadi tumbal/korban.

K KARYADI, peminat ekonomi politik

Tidak ada komentar: