Rabu, 13 Agustus 2008

Nukilan Mahasiswa Katolik Dalam Sejarah

Oleh Kanisius Karyadi

Setelah turunnya mantan Presiden Soeharto pada tahun 1998, gerakan mahasiswa seolah kehilangan momentum. Gerakan mahasiswa di berbagai kampus mengusung isu yang berbeda-beda tanpa ada kesamaan visi (Kompas edisi Jatim, 22 Juni 2004). Tulisan di atas tidak sepenuhnya benar. Ada catatan periode sejarah gerakan mahasiswa di Surabaya pasca kejatuhan Soeharto 1998, yang justru semakin menemukan momentum, isu dan visi gerakan.

Catatan yang ditulis Kompas di atas, seolah hendak memukul rata (gebyak uyah) atas gerakan mahasiswa, termasuk di Surabaya pasca Presiden Soeharto, 21 Mei 1998. Penulis merasa perlu memberikan informasi seperlunya seputar “sejarah gerakan mahasiswa di Surabaya” pasca kejatuhan Soeharto. Sehingga sejarah gerakan mahasiswa di Surabaya bisa ditangkap secara utuh. Tidak terdistorsi dan tertutup oleh “tesis” pukul rata itu.

Tulisan ini berfokus sejarah gerakan mahasiswa di Surabaya. Pasca kejatuhan presiden Soeharto 21 Mei 1998 sampai akhir tahun 1998, dan sampai kejatuhan Presiden Habibie. Berikut ini pemaparannya, setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri, kursi RI 1 dipegang oleh Habibie. Dalam ingatan sejarah, Presiden Habibie masih dianggap berbau Orde Baru. Alasan Habibie masih dekat dengan Orde Baru dan kinerja Habibie yang tak kunjung baik. Hal inilah yang memicu gerakan mahasiswa di Surabaya.

Pertemuan-pertemuan elemen gerakan mahasiswa intensif digelar. Mulai dari GMKI Surabaya sampai di PMKRI Surabaya. Tibalah momentumnya, tanggal 9 September 1998. Saat itu Habibie hendak merayakan Haornas 1998 di GOR Sidoarjo dan kunjungan ke Surabaya. Bertepatan dengan hari itu, aksi massa-mahasiswa direncanakan secara matang untuk mengurung Habibie di Grahadi Surabaya.

Saking besarnya elemen gerakan mahasiwa di Surabaya yang bergabung dalam aksi 9 September 1998 itu, sampai-sampai berita itu bocor ke media massa. Penulis sempat kaget, betapa aksi yang direncanakan pada tanggal 9 September 1998 belum dilancarkan, pemberitaan Jawa Pos 9 September 1998 telah beredar luas. Berita itu gamblang memuat peta-peta simpul massa yang akan mengurung Habibie di Grahadi.

Penulis sempat mendapat telepon dari Andreas Pardede, tokoh GMKI Surabaya. Ia memberi tahu bahwa aksi telah bocor dengan termuatnya “berita rencana aksi” di Jawa Pos, 9 September 1998. Salah satu titik simpul massa di Margasiswa PMKRI Surabaya, Taman Simpang Pahlawan 4 a (Samping Hotel Garden Palace Surabaya). Itu benar adanya. Ia sempat menyatakan kebimbangannya. Waktu itu, penulis memberikan jawaban singkat, aksi jalan terus. Melalui jaringan telepon, tokoh-tokoh mahasiswa lain menyatakan pula “aksi jalan terus”.

Tak ayal, aksi massa-mahasiswa gabungan tetap berlangsung pada 9 September 1998 di seluruh jalanan Kota Surabaya, terpusat di Gedung Grahadi Surabaya. Aksi 9 September 1998 merupakan aksi massa terbesar sepanjang sejarah di Surabaya bahkan di Jawa Timur. Kota Surabaya dibuat lumpuh dalam beberapa jam.

Dalam hitungan jam, aksi di Surabaya cepat tersiar melalui media elektronik. Yang paling mencolok hampir semua stasiun televisi nasional mengudarakan “pesta penyambutan Habibie” itu. Keesokan harinya hampir semua media lokal dan nasional menjadikan aksi mahasiswa itu menjadi headline pada 10 September 1998.

Catatan sejarah penting yang perlu digarisbawahi, dari gerakan mahasiswa yang terjadi pada massa Presiden Habibie di Surabaya. Pertama, bersatunya hampir semua elemen gerakan mahasiswa-rakyat di Surabaya. Yang sebelumnya pada era sebelum kejatuhan Presiden Soeharto, gerakan mahasiswa di Surabaya terpisah dalam faksi-faksi. Yang satu dengan yang lain tidak dapat bertemu dan sifat gerakannya bersifat sporadis. Namun, dalam penentangan Habibie di Surabaya, kelompok gerakan mahasiswa lebih terkonsentrasi dan terorganisasi.

Sebagai gambaran umum, ada empat faksi utama pemeran gerakan mahasiswa di Surabaya yang turut menyukseskan penentangan Habibie, pertama, APR/ASPR (Arek Pro Reformasi)/ (Arek Suroboyo Pro Reformasi). Sebagian besar didominasi aktivis bekas FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Surabaya). Juga berisi lapisan massa pemuda Surabaya. Tokoh-tokohnya seperti Muhaji, (alm) Desta, Yadi, Ao si mahasiswa Katolik, mas Lentho dan lain-lain.

Kedua, FPR (Front Pembebasan Rakyat) sebagian besar massa dan aktivisnya berasal dari jebolan PRD (Persatuan Rakyat Demokratik) dan SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi). Tokoh-tokohnya seperti Eusebius Purwadi yang masih kita anggap keluarga besar PMKRI Surabaya, karena di sela kesibukannya sempat ikut MPAB PMKRI sampai dua kali. Mohamad sholeh, Dandik, Heru dan lain-lain.

Ketiga, Kelompok Cipayung Surabaya, yaitu organisasi formal ekstra universitas yang terdiri dari HMI, PMII, PMKRI, GMNI, dan GMKI. Dalam Kasus penentangan Habibie, dari 5 sekawan itu, HMI Surabaya pada saat ketua umumnya, Herman, memilih tidak aktif dari gerakan. Penulis, sempat menelpon Herman, Ketua Umum HMI Surabaya, untuk terjun meneruskan aksi pasca presiden Soeharto. Ia menyatakan nada kurang bergairah.

Ia mengatakan, “ada apa lagi”. Otomatis, waktu itu HMI Surabaya tidak melibatkan diri dalam pelengseraan Habibie. Ia ditinggalkan elemen gerakan lain di Surabaya. Sepeninggal HMI Surabaya, Kelompok organisisi ekstra universitas di Surabaya ini bernama FKPI (Forum Kebangsaan Pemuda Indonesia) atau, anak-anak gerakan lebih senang memanggil “Cipayung minus HMI”.

Tokoh GMKI seperti, Wahyudi, Jojo Rohi, Andreas Pardede, Yordan Bataragoa dan lain-lain. Tokoh GMNI seperti Didik Prasetiyono, Arif Budi Santoso dan lain-lain. Tokoh PMII, seperti Mahrus Ali, Adnan Anwar, Mubarok Muharam dan lain-lain. Tokoh-tokoh PMKRI seperti Albert Pieter Lasut, Karyadi, Heru Siswoyo, Charlie Kleden, Agus Maly, Dewa Made RS dan lain-lain.

Keempat, massa cair kampus dan elemen rakyat lain. Pada saat itu, di tiap-tiap kampus mempunyai kelompok gerakan sendiri-sendiri. Yang tidak terikat dengan kelompok gerakan yang lain, misal di UK Petra, ada GEMPUR, di ITS ada KAMI, di Unair ada MUPR dan lain-lain. Di massa cair yang lain ada kelompok rakyat mandiri, misal PRRT dan lain-lain.

Tokoh dari Unair Yustinus Santos, senior penulis di PMKRI, Di ITS kita mengenal Erick Genjur yang merupakan aktivis muda KMK St. Ignatius ITS, Di Petra saya mengenal adik didik saya di PMKRI seperti, Leonardus Onny Wiranda, Josef sudiro, Agustinus Rachmadani (Casper) dan lain-lain. Di Stiesia di sana ada yunior saya di PMKRI seperti Iwan Dwi Laksono. Pada saat PMKRI Surabaya dipimpin Heru Siswoyo (1999-2000), Ia menjadi Presidium Gerakan Kemasyarakatan. Saat ini ia menduduki pos strategis di Jakarta, sebagai Ketua Presidium Nasional LMND.

Kedua, gerakan bersama didasarkan perorganisasian dan perencanaan bersama. Dalam aksi massa menentang Habibie, kelompok-kelompok gerakan itu bisa bersatu. Tidak seperti gerakan menentang Soeharto yang berjalan sendiri-sendiri. Gerakan menentang habibie lebih terorganisasi antar elemen.

Ketiga, bersatunya isu dan Visi secara umum. Pada waktu itu agenda gerakan mahasiswa yang berbaur dengan rakyat itu adalah menentang habibie. Isu yang diungkapkan kepada publik yaitu mosi tidak percaya pada pemerintahan transisi Habibie, dan kedua membentuk dewan rakyat. Dalam hal isu dan visi, gerakan menentang habibie lebih maju bila dibanding dengan gerakan sebelum Soeharto.

Menjelang Sidang Istimewa 1998, Gerakan Mahasiswa kembali bersatu dengan momentum, isu dan visi gerakan yang masih utuh. Pada waktu itu menduduki beberapa hari Grahadi Surabaya, dan diakhiri menduduki RRI Surabaya di jalan pemuda Surabaya. Hal ini terjadi sampai pemerintahan Habibie turun digantikan Gus Dur. Nah, sejak pemerintahan Gus Dur inilah, gerakan mahasiwa di Surabaya mulai tidak terkonsentrasi dan kehilangan momentum untuk sementara waktu. Yang unik justru, munculnya HMI sebagai penentang Gus Dur, dan tampilnya PMII sebagai pembela Gus Dur. Sampai-sampai, pernah ada kasus, perusakan sekretariat HMI di Jalan Sumatera, Surabaya. Nah....

Jadi, tidak terlalu benar bahwa, setelah turunnya mantan presiden Soeharto pada tahun 1998, gerakan mahasiswa seolah kehilangan momentum. Gerakan mahasiswa di berbagai kampus mengusung isu yang berbeda-beda tanpa ada kesamaan visi (Kompas edisi Jatim, 22 Juni 2004). Sebenarnya ada sisi sejarah yang terpenggal, terlupakan dan tak terketahui dari pernyataan itu, khususnya di Surabaya.

Tidak ada komentar: