Rabu, 13 Agustus 2008

Ke Manakah Suara Umat Katolik Dalam Pilpres II?

Kanisius Karyadi

Pemilihan presiden putaran kedua 20 September 2004 mendatang menyisakan dua pasangan, Mega-Hasyim dan Yudhoyono-Kalla. Dalam perjalanan menuju momentum itu menyisakan pertanyaan, ke manakah suara umat Katolik dalam pemilihan umum presiden kedua difokuskan?

Pertanyaan itu sering dilontarkan umat Katolik, maupun kalangan luar, yang ingin tahu sebenarnya ke arah mana pendulum dukungan dan gerakan moral dan politik dari Hierarki Gereja Katolik (kaum klerus) dan awam Katolik. Memang tidak ada data angka-angka yang menunjukkan peta suara umat Katolik dalam pemilihan presiden (pilpres) kali ini.

Lain halnya dengan umat Kristen, sebagian umat Kristen bisa langsung memilih pasangan Mega-Hasyim. Hal ini mengingat Partai Damai Sejahtera (PDS) merupakan mesin politik sebagian umat Kristen Indonesia, dan sejak awal mencoblos Mega-Hasyim, yang kini dikukuhkan dalam Koalisi Kebangsaaan.

Kalangan Katolik tidak mempunyai mesin politik khusus yang berbau Katolik. Pada periode 1998-2004, sebagian besar kalangan Katolik merasa tidak perlu membentuk Partai seperti era tahun 1950-1970 dikarenakan sebagian besar umat Katolik tidak mau terjebak dalam politik aliran yang cenderung sektarian.

Untuk mengetahui, ke manakah kekuatan Katolik diarahkan, sebelumnya kita perlu menyimak peta umum kekuatan Katolik. Secara umum kekuatan Katolik disangga dua kekuatan yang rata-rata dilandasi intelektualitas dan kristianitas, yang dirupakan dalam jenis panggilan hidup orang Katolik sendiri, yaitu panggilan khusus dan panggilan umum.

Panggilan khusus, orang Katolik yang terpanggil untuk melayani Tuhan dan umat, biasanya ditandai dengan hidup selibat, seperti pastor, suster, bruder, frater. Secara organisasi, mereka terikat dalam ordo/kongregasi/tarekat religius tertentu dalam kerangka hierarki Gereja Katolik yang berpusat di Vatikan. Hierarki Gereja Katolik, pada periode ini sengaja menjauhkan diri dari keterlibatan dari politik praktis. Ia ingin tetap konsisten memisahkan wilayah negara dan agama. Ia tidak ingin terlibat terlalu jauh, seperti pengalaman masa lalu yang suram di dataran Eropa, yang pernah terlibat perselingguhan antara negara dan gereja.

Panggilan umum (biasa) yaitu panggilan hidup bagi orang Katolik untuk hidup dan berpartisipasi dalam masyarakat. kedua kekuatan tersebut tersebar dalam hampir semua lini, terutama jaringan pendidikan Katolik. Kaum awam mempunyai porsi lebih besar dalam bermain politik praktis, sedangkan Hierarki Gereja Katolik bermain dalam sisi moral.

Bila kedua kekuatan itu berpadu, sejatinya kekuatan Katolik tidak bisa diremehkan. Namun, saat ini masih berkembang pemikiran bahwa kaum selibat yang tergabung dalam hierarki Gereja Katolik, seperti pastor, suster masih dianggap sebagai kekuatan panggilan lebih tinggi dibanding dengan panggilan umum (kaum awam) yang berkeluarga.

Dalam Katolik masih berkembang apa yang disebut pastorcentris, sustercentris, di mana pastor atau suster masih dianggap sebagai sumber inspirasi berpikir dan bertindak, misalnya tidak afdal jika mengambil keputusan atau tindakan tanpa diputuskan pastor atau suster terlebih dahulu.

Pada dasarnya sampai saat ini, keputusan Hierarki Gereja Katolik, dalam hal ini Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) sangat dihormati oleh semua lapisan dalam lingkaran Gereja Katolik. Untuk mengetahui suara umat Katolik dalam pilpres, setidaknya ada dokumen KWI yang perlu dipelajari bersama. Teks ini penting dalam mempengaruhi secara moral pemilih Katolik dalam menentukan suara dalam pilpres mendatang. Teks itu adalah “Sapaan Pastoral KWI”, tertanggal 7 Mei 2004 yang berjudul Pilihan Anda Sangat Menentukan, Sapaan Pastoral Menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2004.

Mendengar langsung sosialisasi Sapaan Pastoral KWI oleh Benny Susetyo, Pr, Sekretaris Eksekutif Komisi HAK, KWI. Ada kesan Penjelasan Benny Susetyo,Pr yang berasal dari Keuskupan Malang ini, secara implisit memberi angin surga bagi pasangan Mega-Hasyim.

Ia mengemukakan latar belakang sisi positif dan negatif dari masing-masing capres. Dari penjelasannya, di situ dapat terlihat dan terbaca, penilaian positif yang terlontar paling banyak diarahkan pada pasangan Mega-Hasyim. Misal, terukur dan teruji, pertumbuhan ekonomi relatif stabil, penghargaan pluralitas dan lain-lain, Sedangkan pasangan lain lebih banyak disorot negatifnya. Selanjutnya ia mengemukana prinsip ”minus malum”, memilih yang terbaik dari semuanya yang relatif buruk.

Sapaan Pastoral KWI yang dituduh mendukung Mega-Hasyim. Sempat ditangkal J. Soedjati Djiwandono, tokoh awam Katolik, dalam tulisannya di majalah HIDUP, Nomor 32 Tahun ke-58, 8 Agustus 2004, dengan judul,”Sapaan Pastoral KWI Disalahmengerti”. ”Secara langsung atau tidak langsung, saya mendengar dari sementara umat Katolik awam bahwa “KWI menganjurkan kita memilih Mega-Hasyim.”

Ia membeberkan kesalahan pemahaman tekstual “masyarakat sipil yang menolak kekerasan”. Kalau Teks ini dibaca secara awam memang memberikan angin kepada Mega-Hasyim yang notabene sipil. Ia menyebut kesalahan tafsir terutama dalam butir ke 11 yang berbunyi,”Janganlah kita terlalu pendek ingatan. Hendaknya kita tidak mudah lupa sehingga mengulangi kesalahan di masa lampau. Kata pepatah “orang bertongkat pun tidak tersandung pada batu yang sama untuk kedua kalinya....”

Secara pribadi, penulis melihat ada kebingungan kecil umat Katolik dalam menentukan pilihannya. Kalau dilihat secara kultural, sebenarnya Katolik lebih dekat ke Nahdlatul Ulama (NU). Menurut pengalaman, NU masih bisa diajak kerja sama membangun persaudaraan sejati dalam semangat pluralisme masyarakat. Sosok Hasyim Muzadi yang mantan Ketua Pengurus Besar NU, memang menjadi ”ikon” NU dalam pilpres mendatang. Sehingga sangat mungkin akan dipilih umat Katolik dengan pertimbangan itu. Ini adalah sebuah cara menjaga hubungan baik dan keutuhan Katolik-NU. Apalagi hubungan aktivis Katolik dan NU di akar rumput sungguh dinamis, bila dibanding hubungan Katolik-Muhammadiyah yang lebih sering tersendat-sendat.

Di luar perkiraan itu, kita juga perlu menghitung arah suara awam awam Katolik berpengaruh. Sebenarnya, sejak tahun 1998, sebagian tokoh-tokoh awam Katolik, seperti Harry Tjan Silalahi, J. Kristiadi sempat mengincar dan menjagokan Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam setiap forum pada tahun 1998, mereka sudah mulai mewacanakan Yudhoyono sebagai calon pemimpin dan presiden RI. Membaca polah Harry Tjan Silalahi, tokoh awam Katolik berpengaruh, yang banyak terlibat dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Front Pancasila, Partai Katolik era 1970-an, Centre for Strategic and International Studies, Ikatan Sarjana Katolik Indonesia dan lain-lain ini sudah lama berhasil mengkolaborasi Katolik-NU-Militer.

Sejak generasi demonstran 1966, ia sudah runtang-runtung dengan Subchan, ZE, maestro muda NU di zamannya dan Gus Dur di era kini. Sejak 1970-an, sudah dekat dengan tokoh-tokoh militer sekaliber Ali Murtopo, LB Moerdani. Dalam skenario ini, sangat mungkin ia berupaya mengkombinasikan kekuatan Yudhoyono-Gus Dur untuk memenangkan Yudhoyono pada putaran kedua ini. Dengan meninggalnya tokoh misteri dan kunci di Republik Indonesia, tokoh awam Katolik daan purnawirawan militer, LB Moerdani pada 29 Agustus 2004 ini, kelompok ini akan sangat kehilangan satu pilarnya.

Melihat sekilas perkembangan itu, tampaknya suara umat Katolik sangat mungkin terbelah, tidak terfokus kepada salah satu capres tertentu. Di tingkatan internal Katolik aktivis Katolik, terdapat friksi tajam. Namun, saya menilai, golput bagi umat Katolik kemungkinan sangat kecil, mengingat seruan KWI yang menganjurkan kepada umat untuk memilih capres-cawapres. Jumlah umat Katolik tidak besar, akan tetapi bila dilihat dari kualitas suaranya seharusnya tidak bisa diremehkan. Tetapi untuk membulatkan satu pilihan tidak segampang membalikkan tangan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 14 September 2004

Tidak ada komentar: