Rabu, 13 Agustus 2008

Menyongsong Tahbisan Uskup Surabaya, 29 Juni 2007

HIDUP DALAM KELIMPAHAN

OLEH KANISIUS KARYADI

Tidak disangka-sangka 3 April 2007 pukul 18.16 WIB Duta Besar Vatikan, Mgr Leopoldo Girelli mengumumkan Romo Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr menjadi Uskup Surabaya. Pengumuman itu akhirnya menjawab kebuntuan setelah takhta Keuskupan Surabaya lowong tiga tahun empat bulan, semenjak Mgr Johanes Sudiarna Hadiwikarta, Pr mangkat (meninggal) 13 Desember 2003.

Sejak 19 Desember 2003, tampuk Keuskupan Surabaya dikoordinasi oleh Administrator Keuskupan Surabaya, Romo Julius Haryanto, CM. Seperti diketahui bersama, kehadiran Administrator bukanlah sebagai pemimpin yang mengarahkan, tugasnya secara hukum gereja sangat terbatas, sebatas meneruskan kebijakan lama uskup terdahulu. Sementara membuat dan menyangkut kebijakan baru sangatlah riskan.

Maka dengan hadirnya uskup baru yang ditahbiskan 29 Juni 2007 di Stadion Jala Krida Mandala, Bumimoro, Surabaya, sebenarnya menimbulkan tanda tanya, mau dibawa dan diarahkan ke mana kapal Keuskupan Surabaya di bawah komando Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono? Tentu untuk menjawab pertanyaan itu memerlukan penyelidikan khusus yang mendalam dan mendasar. Atas dasar itu tulisan ini menerawang dengan seksama.

Seperti pada umumnya, dipilihnya Uskup berdasarkan Kanonik Gereja 378 (1-2) Lengkapnya berbunyi:

(1) Untuk kecakapan calon Uskup, dituntut bahwa ia:

1. Unggul dalam iman yang teguh, moral yang baik, kesalehan, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarium), kebijaksanaan, kearifan dan keutamaan-keutamaan manusiawi, serta memiliki sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut;

  1. Mempunyai nama baik;
  2. Sekurang-kurangnya berusia tiga puluh lima tahun;
  3. Sekurang-kurangnya sudah lima tahun ditahbiskan imam;
  4. Mempunyai gelar doktor atau sekurang-kurangnya lisensiat dalam kitab suci, teologi atau hukum kanonik yang diperolehnya pada lembaga pendidikan tinggi yang disahkan Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu.

(2) Penilaian definitif tentang kecakapan calon ada pada takhta Apostolik.

Hal yang tak kalah penting dalam penilaian adalah didasarkan pada pemahaman dan praktika tentang tiga hal utama dalam ajaran Katolik yang menyangkut pertimbangan tiga sumber ajaran Katolik, (1) tradisi para rasul. (2) Ajaran magisterium Gereja (3) Kitab Suci. Uskup dipilih oleh Bapa Paus berdasarkan ketaatan, kemurnian menjalankan roda kepemimpinan Gereja dalam konteks tiga hal tersebut. Kecil kemungkinan pihak Vatikan memilih Calon Uskup yang mempunyai pemikiran dan praktika hidup menyimpang dari ketiga hal tersebut.

Maka banyak orang menyebut, kebanyakan Uskup terpilih (tidak hanya untuk kasus Keuskupan Surabaya), adalah orang yang cukup setia dan taat dan masih memegang teguh ajaran para rasul, ajaran magisterium gereja dan kitab suci. Atau boleh dikatakan Gereja Katolik memilih Uskup yang mempunyai standar-standar konvensi Gereja Katolik Universal, entah dalam perjalanan menyimpang atau melakukan manuver di luar konteks, itu merupakan persoalan lain.

Membicarakan visi dan tantangan ke depan bagi Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya, memang tidak boleh sembarangan. Kita akan menengok faktor kesejarahan dari pemimpin terdahulu. Di batasi dari periode Mgr Dibjakarjono (1992-Sekarang).

Ut Omnes Unum Sint

Di era, Mgr Dibjakarjono, Pr menganut matra atau motto, Ut Omnes unum Sint. Semoga mereka menjadi satu (Yohanes 17:21). Kondisi pada periode 1982-1994 ditandai dengan kondisi saling menghilangkan (menegasikan-merendahkan) antar lembaga satu dengan yang lain. Maka Mgr Dibja mengeluarkan motto itu dengan harapan tercipta trimatra persatuan di antara manusia.

Matra pertama, persatuan dalam internal gereja, jangan ada lagi semangat merendahkan/menegasikan kelompok-kelompok dalam wilayah kristiani, utamanya persatuan dalam internal Gereja Katolik di Keuskupan Surabaya. Secara khusus bagi internal Gereja Katolik Keuskupan Surabaya, tercipta sinergi antar lembaga yang bernaung dalam Hirarki Katolik.

Matra kedua, persatuan dengan masyarakat dan agama lain. Harus diakui pada tahun itu ketegangan umat beragama maupun kelompok dalam masyarakat juga semakin runcing, maka diperlukan upaya saling membina kerjasama antar berbagai macam pihak dalam masyarakat dalam rangka menciptakan keutuhan dan kerukunan.

Matra ketiga, kerukunan dengan pemerintah. Yaitu supaya pemerintah dan Gereja katolik tidak saling curiga terhadap segala bentuk aktivitasnya masing-masing. Harus diakui kondisi pemerintah saat itu terkesan garang terhadap kelompok-kelompok agama tertentu. Harapannya tercipta kerja sama dan kerukunan dalam mensejahterakan masyarakat lainnya.

Pastor Bonus

Diera Mgr. Hadiwikarta (1994-2003) motto yang disandang berasal dari Yohanes 10:11, ”Gembala yang baik memberikan nyawa bagi domba-dombanya”. Kemudian di singkat Pastor Bonus (gembala yang baik). Pada 20-22 Nopember 1996 diadakan Sinode Keuskupan Surabaya yang dihadiri oleh semua imam Keuskupan Surabaya, perwakilan biarawan/wati, awam, organisasi Katolik yang ada di Keuskupan Surabaya merumuskan Visi-Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001

Visi Keuskupan Surabaya 1997-2001

”Persekutuan Umat Allah yang dinamis, profetis, misioner,berkualitas, akrab dalam persaudaraa, yang hidupnya berpusat pada Yesus Kristus, Pastor Bonus, serta dibimbing oleh Roh Kudus, sebagi musafir yang peka melihat tanda-tanda jaman, punya kepedulian pada sesamanya, terutama yang kecil dan menderita, berani memperjuangkan keadilan dan kebenaran, membina persaudaraan sejati dengan semua orang demi terwujudnya Kerajaan Allah”.

Misi Keuskupan Surabaya 1997-2001

Demi tercapainya visi di atas maka ada beberapa langkah yang perlu diambil:

  1. membuka diri dalam dialog kehidupan dan karya dengan semua umat beragama yang ada, serta membina persaudaraan sejati dengan semua orang.
  2. membangun solidaritas proaktif bagi merea yang lemah dan menderita, membela kehidupan dan martabat manusia sebagi citra Allah.
  3. membangun komunitas persaudaraan kristiani yang kokoh imannya, yang berakar pada Kitab Suci, Tradisi, dan sakramen, serta kebudayaan setempat.
  4. membangun persaudaraan di antara umat, mulai dari keluarga, lingkungan, paroki dengan melalui pola kepemimpinan yang partisipatif, komunitas basis gerejani.
  5. membentuk orang-orang kristiani yang tangguh, dapat dipercaya, setia, mempunyai dedikasi, yang berjiwa misioner, mampu menjadi garam dan terang masyarakat, melalui pendidikan iman dan kaderisasi.
  6. membina dan memdampingi keluarga-keluarga agar dapat menjadi dasar atau basic dalam hidup menggereja dan memasyarakat.

Di tengah melaksanakan ide-ide tersebut, muncul surat domba yang mengemparkan. Sebagai pembanding kalau dalam pemerintahan zaman Soeharto sampai sekarang, pernah ada Kelompok Kerja Petisi 50. Surat domba 5 Februari 2002 itu mengkritisi berbagai persoalan kehidupan Gereja Katolik Keuskupan Surabaya dibawah Uskup Mgr. Hadiwikarta, Pr antara lain: (1) Mega proyek keuskupan; (2) Marjinalisasi pendidikan Katolik; (3) Tranparansi dan akuntabilitas; (4) Keprihatinan imam; (5) Ajakan kembali ke visi Keuskupan 1997-2001. Selain itu didukung tuntutan dan Ajakan. Surat 12 halaman itu memang memukul Hirarki dan umat saat itu.

Demikian juga ketika membicarakan arah Keuskupan Surabaya kita bisa berpedoman pada pengalaman sejarah itu. Hal penting yang perlu ditindak lanjuti menyangkut kepemimpinan Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono adalah arah penggembalaannya tentu berfokus pada Yesus Kristus yang merupakan sumber inspirasi utama dalam Gereja Katolik.

Ada nats kitab suci yang dipegang dan dijadikan pedoman penggembalaan itu, yaitu diambil dari Injil Yohanes 10:10. Berbunyi, ”Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahannya” (Ut Vitam Abundatius Habeant).

Yang mengisyaratkan arah hidup kristiani yang beriman akan Kristus yang memberi hidup ilahi sudah sejak hidup di dunia (bukan sembarang dan asal hidup, Yohanes memakai kata zoe, bukan bios dalam istilah Yunaninya). Iman yang semakin dewasa di tengah arus gelombang hidup menghayati hidup ilahi di dunia sehingga mengalami hidup yang penuh berkelimpahan.

Hidup ilahi di dunia sejatinya bisa dijalankan dalam kehidupan sehari-hari, itu inti yang mau diangkat Mgr Tikno dalam penggembalaannya. Jadi nilai hidup berkelimpahan diartikan pengejawantahan nilai-nilai hidup kejujuran, kesetiaan, kerja keras, kebaikan dan lain sebagainya dalam hidup sehari-hari. Jadi selama hidup di dunia, kita dipersilakan mempraktikkan hidup ilahi secara duniawi dengan jalan melakukan perbuatan jujur, tidak korupsi, tidak mencuri, tidak berzina, tidak mencela orang tua, orang lain (manusia), memberlakukan lingkungan hidup dengan baik, tidak mengekspolitasi manusia dan lingkungan hidup dan lain-lain.

Orang yang kebetulan mempunyai kelimpahan hidup secara duniawi dalam arti kekayaan materi/barang tidak dipersalahkan. Namun bagaimana kelimpahan materi itu bisa mendorong orang melakukan perbuatan-perbuatan bajik (baik) di tengah hidup dalam masyarakat. Kekayaan materi tidak memicu orang untuk menindas sesamanya, justru itu adalah kesempatan memanusiakan manusia dan memuliakan Allah dalam kehidupan nyata.

Bagaimana merealisasikan hal itu dalam praktik hidup. Ada banyak bidang dan sisi kehidupan yang bisa dimasuki untuk semakin membawa keadaban publik Menyimak secara dasar dua motivasi utama Uskup Sebelum Mgr Tikno, bukan berarti gagasan kedua Uskup menjadi tidak aktual untuk dibicarakan dalam kepemimpinan Mgr Tikno. Justru masih sangat menonjol apa yang pernah disampaikan dua Uskup terdahulu, misalnya untuk mencermati pertama, menguatnya kelompok-kelompok yang cenderung show a force (unjuk kekuatan), yang beropotensi saling berbenturan satu dengan yang lainnya. Kedua, menguatnya isme-isme masa kini, sensualisme, seksualisme, materialisme, hedonisme yang cenderung mengobarkan rasa kenikmatan sesaat, apatisme, mau menang sendiri yang memperkeruh hubungan kemanusiaan.

No

Nama

Jabatan

Keterangan

1

Mgr. Th de Backere, CM

Prefek Apostolik Surabaya

Prefek Apostolik Surabaya 16 September 1928–24 Desember 1936). Meninggal di Veghel 4 Juli 1945 dimakamkan di Panningen

2

Mgr. M. Verhoeks, CM

Prefek Apostolik Surabaya

12 Maret 1937–11 Februari 1942).

3

Mgr. M. Verhoeks, CM

Vikaris Apostolik Surabaya

8 Mei 1942–8 Mei 1952). Meninggal dunia 8 Mei 1952 di Surabaya

4

Mgr. Johanes Klooster, CM

Vikaris Apostolik Surabaya

Diangkat menjadi Vikaris 21 Februari 1953, tahbisan 1 Mei 1953–3 Januari 1961).

5

Mgr. Johanes Klooster, CM

Uskup Surabaya

9 September 1961 – 16 Desember 1982) Meninggal dunia 30 Desember 1990 di Surabaya.

6

Mgr. A.J Dibjokaryono, Pr

Uskup Surabaya

Diangkat 2 April 1982, ditahbis uskup 16 Desember 1982 – 15 Maret 1994). Meninggal dunia di Surabaya, 23 Januari 2002.

7

Mgr. J. Hadiwikarta, Pr

.

Uskup Surabaya

Pemberitahuan Pro Nuncio 5 April 1994. pengumuman resmi 24 April 1994. Ditahbis menjadi Uskup 25 Juli 1994–meninggal dunia 13 Desember 2003, dimakamkan di Puh Sarang 16 Desember 2003.

8

Rm. Julius Haryanto, CM

Administrator Keuskupan Surabaya

19 Desember 2003 – 2007

9

Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr

Uskup Surabaya

Diangkat 3 April 2007, ditahbiskan menjadi Uskup 29 Juni 2007– sekarang).

Data petinggi Prefekur Apostolik Surabaya, Vikariat Apostolik Surabaya hingga Keuskupan Surabaya, diolah Kanisius Karyadi

Kanisius Karyadi, Penulis Buku ”Mgr Vincentius Sutikno Wisaksono, Sang Maestro dari Perak”

Tidak ada komentar: