Rabu, 13 Agustus 2008

Membumikan FMKI
Kanisius Karyadi

Kebingungan Umat

Pada Nopember 2005 Yayasan Widya Mandala Surabaya dan FMKI Keuskupan Surabaya mengelar diskusi terbatas seputar peran umat Katolik dalam masyarakat. Sesi itu menghadirkan Harry Tjan Silalahi (pendiri CSIS) dan Anton Priyatno (Mantan Rektor Ubaya). Seorang umat Katolik yang bersebelahan dengan penulis, dihadapan forum yang dihadiri puluhan umat dan beberapa pastor itu sangat mengejutkan. Ia menyatakan baru mengetahui bahwa saat ini ada wadah bernama Forum Masyarakat Katolik Indonesia atau FMKI.

Hal sama juga dikemukakan JB Freddy Sujatmiko seorang aktivis Pemuda Katolik Surabaya dan juga kawan-kawan lainnya, mempertanyakan apa itu FMKI? Dengan bahasa yang agak vulgar, Administrator Keuskupan Surabaya, Romo J Haryanto, CM sedikit berkelakar ”Binatang apa itu FMKI?”.

Profesor Veronika L Diptoadi, Guru Besar Unika Widya Mandala/Ketua Ikatan Sarjana Katolik (ISKA) Basis Surabaya turut bertanya-tanya,”Dulu pernah diajak rame-rame oleh Prof Hengki Supit menghadiri acara pembentukan FMKI Surabaya bertempat di Unika Widya Mandala Surabaya tahun 1998. Seingat saya mendiang Uskup Surabaya, Mgr Hadiwikarta, Pr turut hadir, setelah itu saya tidak tahu lagi. Tiba-tiba sekarang muncul FMKI mau Pertemuan Nasional (Pernas), memangnya FMKI ada di daerah lain?”

Kebingungan umat seputar FMKI memang bisa dipahami. Harus diakui secara jujur, bahwa wadah baru ini adalah masih asing di kalangan masyarakat Katolik sendiri utamanya di Keuskupan Surabaya. Setelah melalui diskusi kecil, Dewa Made RS mantan Sekjend DPC PMKRI Surabaya 1999-2000 mengambil kesimpulan FMKI tidak populer, sehingga kita mempunyai tugas mempopulerkan FMKI baik secara wadah maupun peran tindakan di dalam masyarakat Katolik maupun di luar masyarakat Katolik.

Saya sendiri secara pribadi merasa agak bersalah dengan fenomena ini. Mengingat pada awal pembentukan FMKI Surabaya yang diberkati Uskup Surabaya, Mgr Hadiwikarta, Pr, langsung tidak langsung penulis menjadi bagian pengurus pertama FMKI Surabaya. Namun, karena pilihan fokus garapan, saya lebih memilih eksis dalam gerakan mahasiswa di PMKRI Surabaya 1998-1999, di mana saat itu saya masih menjabat Ketua Presidium DPC PMKRI Surabaya. (Lihat kertas kerja Laporan Pertanggungjawaban Mandataris RUAC/Formatur Tunggal/Ketua Presidium PMKRI Surabaya-Sanctus Lucas 1998-1999). Karena saya berpikir, lebih baik saya fokus energi ke pergerakan mahasiswa daripada forum yang masih dianggap agak nglambyar bagi segenap kalangan itu.

Euforia dan kebutuhan

Forum Masyarakat Katolik Indonesia (FMKI) dideklarasikan di Jakarta 15 Agustus 1998 dalam sebuah acara Sarasehan Nasional bertema ”Keterlibatan Umat Katolik dalam Kehidupan Sosial Politik: Visi, tantangan dan Kemungkinan”. Sarasehan itu dikuti dan deklarasi itu didukung oleh peserta yang berasal dari pelbagai unsur organisasi Katolik seluruh Indonesia (I Basis Susilo, Newsletter FORUM, edisi perdana Mei 2006 tahun I)

Dilihat dari sejarahnya dan kalau kita mau jujur, FMKI itu lahir adanya faktor euforia juga. Di saat orde baru tumbang, munculah Orde Reformasi. Orang beramai-ramai merayakan kemenangan dengan berserikat/berorganisasi baik di bidang sosial, politik atau lainnya.

Kita ambil perbandingan real, saat reformasi bergulir, sebagian kalangan Muhammadiyah mempersiapkan kendaraan / organisasi politik lalu bermuara pada PAN (Partai Amanat Nasional). Sebagian Kalangan Nahdlatul Ulama (NU) melakukan manuver yang sama, beramai-ramai mempersiapkan kendaraan politik yang bermuara pada PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Ratusan kelompok lain melakukan manuver-manuver yang sama. Bahkan di sebagian kalangan Katolik ada juga yang tertarik mendirikan Partai Katolik Demokrat dan lain-lain.

Selain karena ada faktor euforia, dirasakan ada kebutuhan bersama untuk berwadah. Maka jadilah FMKI. Karena terlalu banyak ide yang masuk, saya melihat FMKI seperti wadah kebingungan, dibilang partai politik jelas bukan. Mau dibilang lembaga swadaya masyarakat juga tidak karena ladang garapan real dan fokus tidak jelas. Maka titik komprominya sebatas rumah bersama segenap warga Katolik, yang saling mendinamisasi kehidupan warga Katolik di bidang-bidang yang digeluti masing-masing. ”Atau dalam kalimat resminya bentuk FMKI itu : Forum komunikasi, informasi, pemberdayaan, advokasi dan sebagai jaringan kerja yang plurisentris”.

Heterogen

Dilihat dari setting pra pembentukan FMKI, kita akan melihat betapa heterogennya masyarakat Katolik itu sendiri. Ada beberapa setting pada awalnya. Kita bisa melihat keragaman masyarakat Katolik itu sendiri tergambar dari uraian di bawah ini.

Pertama, konsep partai berbasis Katolik. Tidak dimungkiri, sebelum FMKI lahir, suasana batin forum ada yang menginginkan kalangan Katolik mempunyai kendaraan politik sendiri yang berbasis Katolik. Sehingga kalangan Katolik bisa menyalurkan aspirasi politiknya lewat partai ini. Namun pada kenyataannya, banyak pihak Katolik yang keberatan dengan konsep ini. Alias konsep Partai Katolik tidak laku dijual.

Kedua, konsep kelompok kepentingan Katolik non partisan. Konsep ini mengadopsi dari kelompok kepentingan dalam masyarakat Indonesia yang sudah mapan, seperti NU atau Muhammadiyah. Selama ini kalangan umat Katolik dinaungi hierarki, ada pemikiran bagaimana kalau ada mitra/wadah kepentingan lain yang mencerminkan kekuatan Katolik di luar hierarki.

Dengan konsep ini, diharapkan warga Katolik yang ingin berpolitik secara pribadi lewat jalur DPD (Dewan Perwakilan Daerah) bisa memanfaatkan kelompok kepentingan ini sebagai alat dan sarana pendulangan suara. Pada Kenyataannya konsep ini tidak semua menjelma. Sebagai perbandingan, tiga dari empat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Timur periode ini, secara langsung atau tidak memanfaatkan jaringan Nahdlatul Ulama (NU) di Jatim. Pak Anton Priyatno, SH yang dilihat dari dana maupun manajemen kampanye paling baik di antara jago calon DPD Jatim, harus kalah tunggang langgang. Sampai sekarang FMKI itu tidak bisa dibandingkan dengan kelompok kepentingan masyarakat yang lain. Faktanya, FMKI masih tergantung Keuskupan.

Ketiga, Konsep lembaga pemikir (think tank). Konsep ini mengadopsi kelompok pemikir yang sudah ada. Diharapkan kelompok ini diharapkan menjadi mitra strategis pengambil kebijakan. Ternyata konsep itu sulit diadosi untuk dijadikan landasan FMKI berikutnya.

Keempat, konsep pemberdayan masyarakat. Konsep ini diusung yang memungkinkan keterlibatan warga Katolik pada pusat-pusat persoalan masyarakat secara real. Sehingga peran kelompok ini dirasakan juga oleh kelompok lain dalam masyarakat. Ternyata konsep itu juga tidak bisa mempengaruhi publik.

Jadinya, FMKI itu lahir dari tarikan-tarikan minimal keempat poros itu. Sehingga tidak jarang banyak kalangan menilai FMKI itu hanya sebatas pasar/forum warga Katolik yang bertemu untuk saling mendinamisasi, mengompori, dari berbagai latar belakang warga Katolik. Mulai dari politisi, pengusaha, dosen, guru, birokrat, ekonom, pengacara, bakul jamu, tukang sapu, tukang becak, mungkin pencopet juga dan lain-lain.

Masyarakat Pancasilais

Dilihat dari visi FMKI yang resmi berdiri tanggal 15 Agustus 1998, mengatakan, ”Terwujudnya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi martabat manusia, dan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Jelas terlihat, FMKI adalah pendukung Pancasila sejak awal didirikannya. Visi yang dibangun secara tektual mengambil semua sila-sila dalam Pancasila.

Hal ini tidak salah, berkat kekuatan Pancasila eksistensi kalangan Katolik bisa hidup di Indonesia hingga kini. Memang sejak awal, mayoritas kalangan Katolik memiliki sejarah panjang dengan Pancasila. Pancasila yang dicetuskan 1 Juni 1945 oleh Soekarno, memiliki sejarah dengan para intelektual Katolik sebelum mencetuskan gagasan itu.

Tidak ayal, ketika ada rongrongan kepada Pancasila tahun 1965, maka banyak kalangan Katolik yang terlibat dalam perlawanan sengit. Di antaranya di tingkat nasional, pada waktu berdiri Front Pancasila, dibawah komando Subchan ZE, maestro muda Nahdlatul Ulama, dan Sekjend Harry Tjan Silalahi, sang legenda umat Katolik. Di Surabaya muncul Laskar Pembela Pancasila.

Kekonsistenan mantan laskar-laskar pembela Pancasila sedikitnya masih terbina hingga sekarang, terbukti, dalam forum di Unika Widya Mandala Surabaya 2005, Harry Tjan Silalahi dan Anton Priyatno menganggap Pancasila tetap bisa dijadikan basis ideologi bangsa yang tetap menaungi masyarakat Indonesia, di mana kalangan Katolik ada di dalamnya, tanpa kehilangan identitas dan jati diri.

Modal Sosial

Pierre Bourdeau, intelektual Perancis mencetuskan gagasan beberapa modal, agar bisa eksis, diantaranya membutuhkan apa yang disebut modal sosial. Saya kira dalam upaya membumikan FMKI dikalangan umat perlu membangun interaksi-interaksi praktis FMKI dengan masyarakat real Katolik di segenap penjuru lingkungan melalui aksi nyata. Maka jika FMKI mempunyai modal sosial yang baik, jika suatu saat kita membutuhkan organ dengan sendirinya bergerak.

Kritik Kurdo Irianto (2006) sampai perkembangan terakhir ini, kalangan umat non klerus tidak mempunyai jaringan sendiri memang bisa dibenarkan. Sebab, sampai saat ini kalangan non klerus masih sangat tergantung dengan jaringan mapan hierarki. Nah ini, sebenarnya dihubungkan dengan membangun modal sosial FMKI, celah itu bisa dimanfaatkan.

Tanpa menafikkan eksistensi dan peran yang telah dimainkan oleh pengurus FMKI Keuskupan Surabaya, seperti Antonius Sumitomo, pengusaha aktif, I Basis Susilo, Dosen dan Kolomnis yang tulisannya tercecer hampir di semua media massa, dan lain-lain, yang sudah terlibat dalam persoalan-persoalan masyarakat. Sesekali perlu juga wadah FMKI yang menaungi mereka diperkenalkan kepada umat, sehingga umat Katolik di tingkat akar rumput tidak bertanya-tanya, seperti celetukan sang Administrator, “Binatang apa itu FMKI?”

Menjelang Pernas FMKI VI 2007 di Surabaya

Tidak ada komentar: