Rabu, 13 Agustus 2008

Natal dan Homo Homini Lupus

Kanisius Karyadi

Malam kudus, sunyi senyap,

Bintangmu gemerlap............

Itulah nyanyian setiap malam Natal yang syahdu dan aduhai itu. Seolah kita terlepas dari dunia dan melesat menuju surga. Konon, menurut cerita, surga aman tenteram kerta raharja. Peringatan Natal cahaya kebenaran menjadi ajang pesta imani dan fisik bagi segenap keluarga Kristiani. Sebuah pesta kelahiran tokoh historis Kristiani yang menjadi nomor wahid dalam even-even suci. Sebuah sisi yang menakjubkan seantero bumi. Namun, apakah pemaknaan Natal dalam menjalani kehidupan sehari-hari?

Inilah yang selalu mengganjal di lubuk sanubari. Oase Natal yang menyejukkan, kadang hanya melintas sesaat kemudian lenyap ditelan angkara murka durjana bumi. Seberapa besar kekuatan magis Natal memberikan sumbangan bagi perbaikan diri dan keselamatan dunia? Inilah yang kadang menjadi kegelisahan. Di tengah idealisme Natal dan rusaknya dunia, lalu di mana kita sebagai manusia normal memposisikan diri?

Thomas Hobbes adalah filsuf yang mengumandangkan homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Sangat menarik memperbincangkan ini, ketika kehadiran Natal yang mempunyai makna kontras dengan homo homini lupus. Di satu sisi Natal memberikan makna munculnya cahaya kebenaran dan cinta kasih bagi sesama. Di pendulum yang lain, manusia disebut sebagai serigala bagi sesamanya. Manusia adalah hantu yang mengerikan bagi manusia yang lain, menciptakan image manusia sadis, tidak berkemanusiaan, tidak beradab, dan sebagainya.

Nurcholish Madjid, cendekiawan muslim terkemuka Indonesia, tegas-tegas menolak homo homini lupus. Cak Nur tidak sependapat generalisasi itu, bahwa ada ciri-ciri manusia yang tidak seperti itu. Manusia masih memiliki nurani, masih ada yang berperilaku baik adanya. Demikian cuplikan wawancara dengan WMTV beberapa waktu lalu. Pendapat Cak Nur ini minimal menepis anggapan manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Namun marilah sejenak menengok pada kondisi lapangan, dunia nyata, apa yang sedang terjadi? Konflik sosial merebak di mana-mana. Ketika antar manusia saling dendam, saling bunuh, jargon perdamaian menjadi usang dan tidak laku.

Menjadi pertanyaan, berlakukah apa yang disuarakan Cak Nur? Manusia adalah cinta, manusia adalah mitra. Dalam tataran idealisme atau normatif, jawabannya ya, tetapi dalam tataran praksis? Manusia saling memakan sesamanya. Saya yang eksis atau saya yang mati! Kalau tidak percaya, buktikan di lapangan. Contoh kecil di dalam kantor anda bekerja. Kadang antar teman saling makan dengan sesamanya. Saling sikat untuk mempertahankan posisi. Tidak jauh-jauh dalam instansi keagamaan pun kadang terjadi praktik saling sikut, saling makan.......... Memalukan bukan?

Ini menjadi bahan pelajaran bersama bagi kita. Masih terlalu banyak orang yang mencelakakan manusia lainnya. Dengan dalih kemanusiaan, memerangi terorisme atau yang lainnya. Ini adalah gejala penyakit global yang sulit disembuhkan. Natal di tengah homo homini lupus. Itulah kondisi realitas. Bahwa manusia mempunyai nurani dan otak untuk berpikir lurus dan berlaku bening itu ada. Tetapi apa boleh dikata seberapa besar umat manusia yabng masih menggunakan otak dan nuraninya? Sangatlah terbatas, hanya orang-orang tertentu yang telah memiliki tahap kesadaran yang tinggi. Seberapa besar orang yang sanggup berkesadaran tinggi. Mayoritas manusia masih menggunakan kesadaran rendahnya. Manusia layaknya selevel dengan binatang. Sehingga kita patut mengacungi jempol kepada filosof yang telah memperingatkan kita dengan jargon homo homini lupus itu.

Kesadaran Tinggi

Manusia mempunyai level kesadaran yang berbeda-beda, dalam raja yoga misalnya manusia dibedakan dalam level kesadaran rendah, menengah, sampai tinggi. Lalu apa kaitannya dengan kesadaran dengan cinta kasih, kebenaran ataupun manusia menjadi serigala bagi sesama?

Dalam kesadaran ala raja yoga, manusia yang mempunyai kesadaran rendah pada umumnya memiliki kemiripan dengan kesadaran binatang buas. Apa yang dilihat di depan mata adalah musuh. Apa yang bisa saya makan hari ini, mengorbankan teman atau sahabat tidak begitu masalah. Manusia dengan kesadaran tinggi mempunyai tata pikir yang terkontrol. Mampu membedakan mana yang baik dan buruk. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, minimal rasa welas asih terhadap sesamanya terbuka baginya. Dan tak kalah penting, memungkinkan manusia seturut kehendak Allah. Atau dalam bahasa Bunda Maria ”Terjadilah padaku menurut perkataanmu”.

Kontrol tata laku dan tata pikir benar menjadi simbol kesadaran tinggi sehingga menjadi manusia yang beradab. kesadaran rendah boleh diidentikkan dengan model pendekatan, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya. Karena rata-rata manusia, selama belum mengolah spiritualitasnya masih berada dalam level ini. Dan tak jarang lebih nista lagi, bahwa manusia berpura-pura jadi domba padahal serigala, serigala berbulu domba! Fenomena kesadaran rendah inilah yang mayoritas mendominasi manusia. Sehingga manusia yang berakal, berasa, dan berkarsa seolah lenyap, ditutup awan gelap kesadaran rendah.

Seorang Yesus Kristus terlahir ke dunia sudah dibekali Allah dengan kesadaran tinggi. Sehingga beliau itu diidentikkan dengan cahaya kebenaran, simbol cinta kasih. Lalu bagaimana dengan manusia lain? Untuk mencapai kesadaran tinggi, manusia harus bersusah payah dulu dalam medan hidup ini dulu. Melalui latihan dan benar hidup dalam kenyataan. Namun hanyalah beberapa gelintir orang saja yang kuat melakukan itu. Sementara di pihak lain dengan segudang argumentasi rendahan ”pokoknya hidup beres”. Dan jadilah manusia benar hidup, tetapi level kesadaran hidupnya rendah. Itu artinya pula semakin mempopulerkan apa yang disebut homo homini lupus.

Kesadaran

Natal memberikan pelajaran berharga bagi manusia di bumi. Suatu proses kelahiran anak manusia Yesus Kristus. Lahir di tengah kesederhanaan dan amat mencengangkan. Pelajaran kesederhanaan inilah yang sekarang menjadi luntur. Kesederhanaan itu dikunokan, tergantikan dengan keglamouran pada tingkat sisi yang berbeda. Manusia diarahkan hedonistis, konsumtif, dan materialistis.

Manusia lebih identik menjadi sapi perahan. Menjadi sumber komoditas produksi massal industri. Dan tak kalah penting Natal yang sederhana, sudah sangat sering diperingati dengan pesta glamour ala kapitalisme global. Kepentingan dalam mengeruk materi menjadi ciri umumnya. Boleh dikata Natal sebenarnya hanyalah momentum untuk menaikkan omzet produksi ketimbang memperingati untuk hidup berkesadaran tinggi.

Model pemerasan terhadap manusia, semakin menyuburkan manusia harus menjadi korban manusia yang lain. Lalu di mana keadilan? Dunia industri menyuburkan manusia serigala. Manusia kian materialistis, memandang manusia bak melihat seonggok daging yang siap dimakan. Natal pun kadang terlanjur banyak diselewengkan. Begitu banyak produk natal yang digelar demi keuntungan semata. Natal bukan sebagai kekayaan rohani, terlebih hanya sekedar ajang pamer bagi manusia antar manusia dalam masalah harta dan kekayaan.

Walaupun ciri kemanusiaan kita semakin pudar ditelan zaman, bukan berarti kita menyerah pada keadaan. Yesus Kristus telah mengajari mengatasi kebekuan itu. Dengan proses berkesadaran tingginya Yesus banyak menjadikan manusia seperti layaknya manusia. Memang hidup di tengah serigala yang sudah semakin banyak ini harus waspada. Becik ketiti ala ketara, demikian falsafah Jawa yang mengandung nilai tinggi. Apa yang akan kita kerjakan pasti ada buahnya. Hasil buruk atau baik tergantung bagaimana saat ini dan esok kita berbuat, memperlakukan manusia layaknya manusia.

Jubileum, edisi 21 Tahun II Desember 2001

Tidak ada komentar: