Rabu, 13 Agustus 2008

Membuka Peradaban Baru Dengan Persaudaraan Sejati

Kanisius Karyadi

Secara teoritik dan praktik, penulis pernah sedikit menggagas tentang perlunya persaudaraan dalam pluralitas masyarakat. Saat itu, ketika penulis menjabat Ketua Presidium DPC PMKRI Surabaya periode 1998-1999, secara tersurat dan tersirat penulis menyampaikan arti penting persaudaraan dalam bentuk tema dan praksis kepengurusan, “Revitalisasasi nilai perhimpunan dengan penguatan basis dan kaderisasi dilandasi intelektualitas, kristianitas dan persaudaraan di tengah pluralitas masyarakat”.

Di komunitas PMKRI memang ada tiga benang merah, yaitu intelektualitas, kristianitas dan fraternitas. Ketika itu pemaknaan fraternitas sekedar dimaknai pertemanan antaranggota organisasi. Pada waktu itu penulis lebih suka mencantumkan kesaudaraan atau bakunya ”persaudaraan” ketimbang fraternitas atau broterhood yang terkesan pertemanan yang eksklusif seiman dan seorganisasi belaka.

Saat itu, penulis melihat perlunya organisasi dan anggotanya menjalin persahabatan dengan semua orang. Dalam semua dimensi atau dalam bahasa penulis saat itu, adanya penghargaan kepada pluralitas. Pada periode selanjutnya, sadar atau tidak sadar, pemikiran sederhana utamanya persaudaraan (sejati) dan penguatan basis (komunitas basis gerejawi) telah cukup mampu membaca arah kebijakan Gereja Katolik ke depan. Kedua poin itu menjadi trend isu dalam Gereja Katolik periode tahun 1998 sampai sekarang (tahun 2004).

Walaupun sedikit melaju dengan teoritik persaudaraan, ketika penulis diminta redaksi JUBILEUM untuk menulis tentang ”persaudaraan sejati”, penulis sempat bertanya-tanya dalam hati, ”Apa masih ada persaudaraan sejati sekarang itu? Dalam kacamata umum, hidup ini sudah terlalu sesak dengan permusuhan, persikutan, perselisihan, dan ragam turunannya. Dunia sudah terlalu sesak dihuni hubungan manusia didasarkan pada pemenuhan kebutuhan ”material dan kepentingan” belaka. Hampir tidak ada ”celah lebar” saat ini, manusia dengan yang lain untuk melakukan sesuatu dengan ”ketulusan”.

Mari kita bahas sejenak! Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, ”persaudaraan” mempunyai arti persahabatan yang sangat karib, seperti layaknya saudara; pertalian persahabatan yang serupa dengan pertalian saudara. Selanjutnya kata ”sejati” mempunyai arti sebenarnya (tulen, asli, murni, tidak lancung, tidak ada campurannya). Atau ditarik pemaknaan sederhana, persaudaraan sejati merupakan persahabatan yang sangat karib, seperti layaknya saudara dalam arti sebenarnya.

Melihat sejenak pada Konsili Vatikan II, ciri khas gerakan Gereja Katolik didasarkan pada dua nilai penting, yaitu inklusif dan transformatif. Tampaknya, konteks Indonesia, salah satu penafsiran dan praksis sosial dari semangat inklusifitas gereja diwujudkan dalam satu terminologi ”persaudaraan sejati”. Gereja Katolik mulai terbuka dengan siapapun dalam wilayah kemanusiaan ataupun keagamaan. Persaudaraan sejati yang didengungkan adalah antitesis dari gerakan Gereja Katolik yang dinilai selama ini eksklusif dan tertutup. Ini untuk menegaskan perlunya Gereja Katolik dalam karya kerasulan berparadigma baru yang toleran dan bersahabat.

Frans Seda, dalam Buku bunga rampai, Pelayanan Sosial Meningkatkan Persaudaraan Sejati, yang diterbitkan Kerjasama Sekretariat Komisi PSE/APP-KAJ, LDD-KAJ dan Komisi PSE KWI, 2001, mengatakan hidup dalam persaudaraan sejati dasarnya adalah kepedulian sejati. Kepedulian sejati adalah kepedulian tanpa pamrih. Suatu kepedulian tanpa resiprositas, suatu kepedulian dengan pengorbanan yang tidak dirasakan dialami sebagai pengorbanan, suatu kepedulian demi kepentingan orang yang dipedulikan itu.

Dalam konteks sosial Indonesia, isu persaudaraan sejati memang sungguh aktual. Mengingat latar belakang konflik di beberapa wilayah dan kehidupan di segala lini yang serba tidak seimbang. Berikut ini beberapa pokok penting yang akan ditampilkan tentang pesismisme ”persaudaraan sejati” dalam masyarakat. Pertama, rasa dendam dalam pribadi dan kelompok masyarakat. Tidak dapat dimungkiri bahwa, manusia normal yang merasa sakit hati atau sengaja disakiti, akan mempunyai rasa benci yang mendalam. Aspek psikologis rasa benci yang mendalam mengakibatkan orang ingin membalas dendam entah bagaimana caranya. Pertanyaannya, bagaimana mungkin mau mewujudkan persaudaraan sejati sementara rasa dendam begitu besar?

Kedua, perebutan kepentingan yang tidak seimbang. Dalam hidup modern, survival dan kompetisi hidup sudah dianggap wajar. Persoalaannya, ketika pemenuhan kepentingan menjadi ajang perebutan yang tidak seimbang, misal di kaya semakin mendapat jaminan fasilitas yang baik, sementara si miskin mendapat pelayanan jaminan yang buruk. Pada akhirnya, peristiwa demi peristiwa itu memicu kecemburuan sosial dalam masyarakat. Ketika kecemburuan sosial menggila, kata ”persaudaran sejati” sudah menjadi kata yang usang.

Ketiga, pembagian kekuasaan dan harta. Keluarga yang rukun, tiba tiba menjadi kisruh sangat banyak kita jumpai, gara-gara ada pembagian harta dan kekuasaan warisan. Lebih besar dan luas lagi, pembagian pendapatan yang kurang berimbang antara pusat dan daerah di wilayah Indonesia, bisa tersulut perpecahan dan perselisihan. Ada faktor kerentanan, ketika ada pembagian harta dan kekuasaan yang tidak berimbang ini, maka kata persaudaraan sejati sangat mungkin hilang sirna dimakan permusuhan sejati.

Keempat, munculnya semangat superioritas atau sebaliknya (tirani mayoritas dan tirani minoritas). Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, terdiri dari bermacam-macam agama dan kepentingannya, suku dan peradabannya, golongan dan ras yang berbeda-beda. Sangat mungkin semuanya ingin dihargai oleh yang lainnya. Tidak jarang satu dengan yang lainnya merasa paling berhak dan paling benar. Sehingga banyak menimbulkan friksi-friksi yang mengganggu persaudaraan. Misal kelompok Islam merasa besar dalam jumlah dan terbesar ingin menjadi tirani mayoritas, atau sebaliknya, kelompok Katolik yang kecil namun banyak dihuni banyak kaum cendikiawan ingin menjadi tirani minoritas. Benturan-benturan ini bisa merusak arti penting persaudaraan sejati.

Kelima, egoisme pribadi dan sektoral. Setiap orang mempunyai egoisme pribadi dan sektoral yang terpendam. Persoalan akan muncul ketika antar individu gagal dalam mengelola egoisme pribadi dan sektoralnya dalam wilayah publik. Yang terjadi pertentangan yang sengit tanpa hasil dan sintesis yang menguntungkan semua pihak. Semua ingin bertahan, tidak ada yang ingin mengalah, semuanya ingin menang dalam arti sempit dan dangkal. Dalam situasi seperti ini, kayaknya nilai persaudaraan sejati hampir tidak kita rasakan sama sekali.

Keenam, semangat diskriminasi. Hampir tiap hari, kita mendengar adanya peristiwa diskriminasi. Ada warga keturunan Tionghoa merasa dianaktrikan dari Republik Indoneisa dalam banyak hal, misal SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia) yang diungkit-ungkit dan lain-lain. Atau sebaliknya, warga miskin yang sulit mendapat fasilitas kesehatan dari rumah sakit swasta, gara-gara gagal ”menyetor” sejumlah “uang jaminan” kepada rumah sakit. Sementara, pasien yang kelihatan bermobil dan dilihat dari warna kulit sudah bisa langsung dirawat. Apa semua ini persaudaraan sejati? Belum lagi, biaya sekolah yang melambung tinggi, semakin membuat si miskin semakin ciut nyali.

Ketujuh, pragmatisme pikiran dan tindakan asal ambil untung. Wajah masyarakat kita saat ini didominasi pragmatisme. Mana yang menguntungkan dan bersifat sesaat, tidak peduli itu merusak dan merugikan pihak lain, kalau bisa dilakukan semua, mengapa tidak? Tidak peduli lingkungan dan manusia di sekitarnya semakin tertekan dan rusak, semua halal untuk dilakukan. Akibatnya, akan terjadi problem berat pelanggaran. Pragmatisme itu telah membuat penjungkirbalikan logika, sebenarnya hukum dan peraturan menjadi pedoman menindak pelanggaran. Ini terbalik! “Pelanggaran sudah menjadi hukum dan peraturan”.

Di tengah rasa pesimisme penulis akan persaudaraan sejati itu, penulis teringat kejadian nyata yang menyentuh rasa kemanusiaan dan persaudaraan sejati. Berikut petikannya: Tole (bukan nama sebenarnya), bocah kecil, umurnya tidak lebih tujuh tahun, arek kampung Dinoyo Alun-Alun II C Surabaya ini, sudah berbulan-bulan hilang dari rumahnya. Orang tuanya mencari ke mana-mana, namun hasilnya nihil. Tanpa diduga dan dinyana, Tole pulang lagi. Seketika rasa gembira bercampur haru menyelimuti kedua orang tuanya dan lingkungannya atas kembalinya Tole ke rumah.

Yang lebih mencengangkan dan membuat hati terenyuh, Tole kecil ditolong dan diantar seseorang yang belum dikenal sama sekali dan orang itu tidak bisa melihat alias “buta fisik”. Menurut Tole, ia kesasar ke Jakarta, gara-gara kehilangan sepeda anginnya di sekitar Wonokromo, Surabaya. Karena takut pada orang tuanya, Tole diajak ngamen oleh temannya yang anak jalanan, hingga terbawa kereta api sampai masuk wilayah Jakarta. Setelah terkatung-katung lama, temannya pergi entah ke mana, sementara ia harus bertahan hidup sendirian. Berbagai pengalaman pahit diterimanya, sampai ia ditolong Pak Buta yang tidak buta mata hatinya itu.

Dengan segala keterbatasannya, baik fisik maupun finansial, Pak Buta bekerja mutualisme dengan Tole, untuk mengantar Tole hingga sampai di rumah. Pak Buta dengan modal keberanian dan ketulusan mencoba merambah Surabaya. Dan Tole dengan badan kecil berbekal pengetahuan seadaanya, menuntun Pak Buta, sedikit informasi tentang kata ”Surabaya dan Dinoyo Alun-Alun”, telah membawa pada sinergi kemanusiaan dan persaudaraan sejati yang mendalam. Cerita fakta inilah, yang sedikitnya menjadi penawar racun, betapa nilai persaudaraan sejati ada. Walaupun kadarnya tidak besar. Tetapi nilai-nilai inilah yang perlu digali bagi kita semua, tentang arti penting persaudaraan sejati.

Ibarat biji sawi yang kecil, kemudian bisa tumbuh besar dan subur. Maka persaudaraan sejati demikian pula, di antara onak duri dan ilalang tak terurus, persaudaraan sejati mesti menjadi gerakan penyadaran hakikat manusia yang adiluhung, secitra dengan Allah. Persaudaraan sejati layak disejajarkan dalam sila-sila dalam Pancasila.

Kelak, di suatu masa Indonesia, nilai persaudaran sejati yang umum atau universal ini menjadi panutan semua orang dalam bertindak. Sedikitnya satu sila baru yang perlu diamalkan oleh segenap manusia (utamanya Indonesia) adalah sila persaudaraan sejati. Mungkin kelak lima sila dalam Pancasila akan bertambah satu. Tidak lagi disebut Pancasila, tetapi Enamsila, sila-silanya:

  1. Ketuhanan yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan.
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
  6. Persaudaraan sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.

Persaudaraan sejati menjadi pilar peradaban baru manusia yang semakin menegaskan perlunya saling ’’memanusiakan manusia”.

Jubileum Edisi 54. Tahun V. September 2004.

Tidak ada komentar: