Rabu, 13 Agustus 2008

Ketika Ancaman Kemanusiaan dan Lingkungan Hidup di Depan Mata

Oleh : K A N I S I U S K A R Y A D I

Sudah tiga orang yang meninggal dalam suasana banjir lumpur. Meski demikian pihak rumah sakit membantah meninggalnya ketiga orang tersebut akibat menghirup gas dari semburan lumpur (Kompas edisi Jatim, 24/6/2006). Sementara itu, fakta di lapangan menunjukkan akibat semburan gas dan lumpur panas membuat ratusan warga desa dirawat di rumah sakit dengan gejala perut mual, kepala pusing, dada sakit dan tenggorokan kering.

Lumpur panas telah merusak tanaman padi dan tebu. Sedikitnya 170 hektar sawah dan 12 kebun tebu terancam tergenangi lumpur panas. Pohon-pohon yang diterjang lumpur turut menguning dan mengering. Sedikitnya 5000 warga di empat desa di Kecamatan Porong kabupaten Sidoarjo mengungsi karena takut lumpur panas dan gas menggangu kesehatan, keamanan dan kenyamanan mereka.

Tidak berhenti di situ, bau gas juga menimbulkan polusi udara kecamatan Porong –Sidoarjo yang meresahkan semua warga. Sebutlah Eko Nurhadi (35 Tahun) seorang pekerja di bagian maintenance di PT. Tjahaja Agung Tunggal Desa Siring, Kecamatan Porong yang berjarak satu kilometer dari lokasi muncratnya lumpur panas. Setiap hari ia bekerja sembari menutup hidung dengan masker. Sebab bau gas menyebarkan bau tidak sedap yang mengganggu pernapasannya.

Penulis teringat pada tulisan/artikel di Harian Kompas Edisi Jawa Timur, 29 Juli, berjudul Sidoarjo Butuh Pembangunan Ekologi, tulisan itu mengambarkan potensi ancaman dan solusi lingkungan hidup dan manusia berkaitan dengan kegiatan pembangunan ekonomi yang overdosis yang bergulir di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur seolah tanpa memperhatikan manusia dan lingkungan hidup sekitarnya.

Kutipan pendeknya sebagai berikut, Sidoarjo sebagai penyangga Kota Surabaya agaknya mulai meniru perkembangan Kota Surabaya yang mengarah pada pembangunan yang overdosis dan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup dan manusia. Sidoarjo mempunyai potensi alam yang relatif lebih terjaga daripada Surabaya. Sidoarjo tampaknya perlu waspada terhadap perubahan sosial yang merambahnya. Bisa-bisa potensi alam Sidoarjo yang ibarat madu, perlahan namun pasti bisa rusak akibat perkembangan dan pembangunan (Kanisius Karyadi, Sidoarjo Butuh Pembangunan Ekologi, Harian Kompas Edisi Jawa Timur, 29 Juli 2004).

Kekhawatiran penulis akan kondisi manusia dan lingkungan hidup dalam tulisan tersebut. Diturunkan dalam kasus PT Lapindo Brantas dan lumpur panas, tampaknya kini benar-benar menemukan momentumnya. Betapa kegiatan ekonomi yang dilakukan secara serampangan tanpa memperhatikan analisis dampak lingkungan (Amdal) berakibat buruk bagi manusia dan lingkungan hidup.

Uripan (23 Tahun) pemuda Desa Siring RT 4 RW I Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur tidak menyangka desanya kini menjadi desa terkenal seantero tanah air karena bencana lumpur dan gas ini. Desa yang dulu tenang kini hiruk pikuk dengan ancaman lingkungan hidup dan manusia.

Ia pada 12 Juni 2006 terpaksa minta izin tidak masuk bekerja dengan alasan membantu keluarganya mengungsi dan mengangkut perabot rumah tangga ke saudara di Kabupaten Pasuruan. Ia dan keluarganya takut akan bahaya lumpur panas dan gas.

Persoalan sekarang harus disadari bersama bahwa belum ada kesadaran secara kolektif akan pentingnya analisis dampak lingkungan hidup pada kegiatan bisnis. Di lapangan masih dijumpai jenis industri yang berpotensi membahayakan lingkungan hidup dan manusia, justru banyak tidak mempunyai analisis dampak lingkungan. Namun dengan bebas dan seenaknya beroperasi mengeruk laba.

Inilah problem dasar dan besar dalam khasanah ekonomi lingkungan hidup kita, betapa kesadaran menghargai lingkungan dan manusia masih begitu rendah. Sektor industri di Indonesia, semata hanya memperhitungkan aspek ekonomisnya belaka. Sehingga jauh membuang hal-hal yang dianggap mengecilkan perhitungan ekonomis. Persoalan lingkungan dan perkembangan masyarakat masih belum dianggap sebagai isu penting dalam berusaha. Maka tidak heran, banyak kasus industri bermunculan kuat dalam modal ekonomi, namun lemah dalam konsep dan modal sosial dan ekologisnya.

Akibatnya sektor lingkungan hidup dan kemanusiaan manusia yang akan dihajar total. Atas nama pengangguran tinggi mereka berinvestasi namun lupa pada tanggung jawab sosial dan tanggung jawab ekologisnya (lingkungan hidup). Dengan seenaknya mengekploitasi sumber daya alam yang berlimpah ruah di Indoensia. Lupa akan ada risiko di setiap usaha-usaha tersebut.

Paradigma semacam ini harus diubah, setidaknya ada kesadaran bersama bahwa kegiatan bisnis itu tidak an sich bisnis. Namun juga ada semacam koridor lingkungan hidup dan kemanusiaan yang menaunginya. Paradigma ini penting, sebab jika tanpa paradigma itui dikhawatirkan, bencana lumpur tidak menjadi pelajaran baik untuk berubah, namun justru menjadi pelajaran yang baik untuk mengulang karena aturan hukum dan aturan Lingkungan di Indonesia tidak pernah secara serius dijalankan.

Pada umumnya pendekatan penyelesaian masalah ekonomi dan lingkungan dengan suap kanan-kiri, persoalan akan tuntas sementara. Ini juga adalah problem besar dalam penegakan hukum lingkungan di Indoensia. Atas nama uang, kasus-kasus rusaknya lingkungan hidup akibat kecerobohan dunia industri bisa tidak muncul. Jadi kasus kerusakan lingkungan akibat industri kelihatannya kecil, namun sejatinya seperti tumbukan gunung es semata.

Belajar dari kenyataan ini, sebenarnya ada hikmah besar yang perlu di renungkan dan diamalkan pada periode ke depan. Pertama, pemerintah daerah dan pusat perlu dan harus belajar dari kejadian ini, untuk selektif menerima, mengizinkan dan menempatkan industri bekerja di wilayahmya. Pemerintah daerah atau pusat melalukan seleksi superketat pada jenis industri berbahaya yang berpotensi merugikan manusia dan lingkungan hidup.

Jika tanpa menyertakan analisis dampak lingkungan (amdal) yang benar-benar sahih dan bisa dipertanggungjawabkan. Pemerintah daerah/pusat berhak menolak usaha itu bekerja di wilayahnya. Karena terbukti di lapangan, banyak kejadian yang mengarah pada rendahnya kesadaran melakukan analisis dampak lingkungan sebelum melakukan kegiatan ekonomi, baik itu industri pengolahan, pertambangan dan lain-lain pada akhirnya hanya merugikan masyarakat dan pemerintah belaka. Setidaknya kasus yang terjadi pada areal pertambangan PT Lapindo Brantas Inc menjadi pelajaran moral yang baik bagi pemerintah daerah/pusat dan tidak terjadi di daerah lain.

KANISIUS KARYADI, Peneliti lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Politik

Tidak ada komentar: