Rabu, 02 Juli 2008

Dari HUT Ke-58 TNI, Kaderisasi Sipil Gagal, Fokus TNI pada Pertahanan

Oleh Kanisius Karyadi

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-58 Tentara Nasional Indonesia, yang dipusatkan di Markas Komando Armada RI Kawasan Timur, Dermaga Ujung, Surabaya, akan dijadikan titik awal pembaharuan di tubuh TNI. Pembaharuan tersebut terkait dengan Pemilu 2004 yang akan mengembalikan fungsi TNI sebagai alat pertahanan nasional (Kompas, 3/10/2003). Ini adalah pernyataan ”sejarah” yang mutakhir, penting dan inti dalam perkembangan TNI di Tanah Air. Hal ini mengindikasikan iklim keterbukaan mulai menyembul dalam lembaga TNI.

Sebelumnya, dalam panggung politik nasional di era Orde Baru peran TNI begitu dominan. Namun dengan bergulirnya arus reformasi 1998 di Indonesia, pada waktu itu ditandai dengan derasnya isu pencabutan Dwifungsi TNI (saat 1998, ABRI), sedikit demi sedikit TNI mulai menyadari arti penting pembagian porsi kerja dan ladang garapan TNI.

Menurut rencana, pada Pemilu 2004 nanti, TNI hanya menempatkan kader pada MPR saja dan pada Pemilu 2009, TNI akan benar-benar bebas dari kancah politik nasional. Arah pembaharuan TNI yang difokuskan pada ruang ”pertahanan nasional” Indonesia memang cukup menarik untuk disimak, karena ini merupakan suatu pertanda ada hawa segar dalam demokrasi Indonesia menuju partisipasi sipil yang lebih besar dalam menggerakkan roda demokrasi secara baik dan dinamis.

Ini adalah kesempatan emas bagi TNI sendiri dalam memfokuskan kerjanya untuk lebih profesional dalam pertahanan nasional, demikian juga ini adalah ruang subur dan hijau bagi pertumbuhan supremasi sipil di Indonesia.

Namun demikian, cita-cita TNI untuk fokus dalam wilayah pertahanan nasional dan meninggalkan wilayah sosial politik, masih menyisakan pekerjaan rumah bagi seluruh elemen bangsa khususnya warga negara Indoensia yang di luar TNI yaitu area sipil. Pada hakekatnya, pasca-Pemilu 2004, peran sosial politik TNI akan banyak digantikan sipil yang notabene secara umum kurang berpengalaman dalam kancah politik dan kurang persiapan dalam berbagai hal.

Hal ini adalah persoalan baru dalam demokrasi Indonesia, semangat yang tercurah untuk mewujudkan demokrasi tanpa dominasi militer ternyata terkendala dengan perangkat penggantinya yaitu kurang tersedianya kaum sipil secara merata di Tanah Air untuk mendukung momentum politik itu. Ada beberapa tokoh sipil yang siap menghadapi gejolak itu, namun sebagian besar kaum sipil banyak yang menghadapi (perubahan) reformasi hanya sekedar eforia politik belaka dan kurang didukung perangkat sistem dan perangkat sumber daya manusia.

Pernyataan Hasyim Muzadi, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dalam acara Gerakan Moral Nasional di Surabaya, 2001, pada intinya mengemukakan bahwa kaderisasi yang masih berjalan, berjenjang, dan berkesinambungan secara baik adalah dilakukan TNI. Jabatan struktural ataupun politis yang disandang oleh kader TNI dilalui dengan pentahapan berjenjang.

Lain halnya dengan sipil yang keteter dalam masalah kaderisasi, akibatnya setelah reformasi bergulir banyak kaum sipil yang maju namun dengan latar belakang kaderisasi yang lemah. Tukang becak yang tidak berpendidikan tinggi dan tidak berpengalaman menjadi politisi bisa menjadi anggota DPRD, makanya reformasi hanya berjalan di tempat.

Menurut hasil temuan Lembaga Survei Indoensia di Jakarta menyebutkan komitmen TNI untuk bersikap netral dalam pemilu demi demokrasi yang sehat tidak dapat segera dilakukan secara total. Pasalnya, politisi sipil yang diharapkan menggantikan peran sosial politik TNI selama puluhan tahun di era Orde Baru justru tidak siap dengan sikap netral TNI. Banyak politisi, yang lewat partai politiknya, berlomba-lomba menarik kembali peran TNI (Kompas, 1/10/2003). Ini menunjukkan betapa gagalnya kaum sipil yang diwakili dalam parpol dalam mempersiapkan kaderisasinya.

Ada dua dimensi yang perlu digarap pada momentum penting ini, yakni kaderisasi sipil secara benar dan upaya berkesinambungan untuk memfokuskan kerja TNI dalam wilayah pertahanan nasional. Dengan demikian akan terjadi sinergi yang menguntungkan, serta menghapus dikotomi sipil dan militer. Selama ini ada benteng yang kuat memisahkan sipil dan militer, tentu berangkat dari momentum ini semuanya menjadi setara dalam satu kesaudaraan yang tidak disekat-sekat oleh batas yang membodohkan.

Momentum peringatan HUT ke 58 TNI di Surabaya, Jawa Timur, memang berdimensi politis, namun ini sekaligus sebagai saat-saat penting menjadikan Jatim sebagai daerah yang bisa mempelopori konsistensi gerakan TNI sebagai kekuatan pertahanan nasional, dan ajang refleksi sekaligus aksi di masa depan memelopori gerakan kaderisasi sipil secara baik dalam mempersiapkan kader-kader sipil profesional yang bekerja pada wilayah sosial politik.

Yang dibutuhkan adalah keharmonisan kerja dan tidak melanggar satu dengan yang lainnya, berbekal pada kemampuan mencoba mengarahkan kerjanya secara maksimal pada bidang kerjanya masing-masing. Yang lebih penting pasca agenda besar itu diharapkan TNI tetap menjadi milik bangsa dan pelindung semua golongan, sekaligus kaum sipil mulai terbuka dalam kancah politik Indonesia menjadi teladan hidup dalam pluralisme, menghargai manusia tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan antar golongan. Semuanya diharapkan mampu bekerja sinergi demi kepentingan bangsa Indonesia khususnya Jawa Timur.

Kompas Edisi Jawa Timur, 6 Oktober 2003

Tidak ada komentar: