Rabu, 02 Juli 2008

Ada Lima Potensi Konflik Dalam Pilgub Jatim

Oleh Kanisius Karyadi

Potensi konflik yang dapat menimbulkan ”kekerasan” dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim periode 2003-2008, sangat besar. Tanda-tanda dalam kekerasan mulai tersaji dalam panggung politik Jatim. Contohnya, menjelang rapat Panlih di Gedung DPRD Jatim beberapa waktu lalu, terdapat tabloid yang sengaja menampilkan judul besar berbunyi, “Brigjend (Purn) Abdul Kahfli Bakri Munafik”.

Tabloid itu sengaja disimpan di meja anggota DPRD Jatim. Di halaman yang sama terpampang foto pasangan Imam Utomo yaitu Soenarjo dengan judul ”Soenarjo Wagub Ideal”. Ini adalah bentuk kekerasan ”psikis” konkret dalam even itu yang dilakukan kubu-kubu yang bersaing.

Tulisan yang belum tentu kebenarannya sengaja dilontarkan untuk menyakiti ”hati” dan perasaan seseorang. Kekerasan psikis lebih pada menyerang wilayah privasi seseorang. Kekerasan psikis yang terjadi dalam putaran panas ini sebenarnya benih-benih dari kekerasan fisik.

Kekerasan merupakan satu fenomena sosial yang sering muncul ke permukaan dengan alih-alih menuntaskan masalah akibat perbedaan yang muncul. Kasus kekerasan dalam politik Indonesia mutakhir adalah pemukulan Ali Marwan Hanan, Menteri Koperasi RI oleh Djamal Doa di rumah dinas Wakil Presiden Republik Indonesia, Hamzah Haz. Ini merupakan satu fenomena panggung politik yang hiruk pikuk bernuansa emosional.

Pada perkara politik, kekerasan timbul karena perbedaan pada dua orang atau lebih yang bertemu secara tidak sengaja atau disengaja. Satu dengan yang lain mempunyai (kepentingan) tujuan sama atau beda dalam satu momentum waktu tertentu. Kemudian ada pihak yang merasa puas dan ada pihak yang tidak puas terhadap sebuah proses dan hasil.

Pada saat itu memungkinkan terjadinya benturan-benturan fisik atau psikis di masing-masing pihak. Rasa amarah yang menggebu inilah awal orang untuk melakukan tindak kekerasan.

Dalam peta politik Jatim menjelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim setidaknya ada 5 potensi konflik yang dapat menimbulkan kekerasan. Pertama, kekerasan terselubung. Kekerasan ini tidak kentara sebab biasa dilakukan dengan cara tersembunyi, misalnya dengan melakukan penekanan terhadap anggota DPRD supaya memilih calon tertentu.

Kekerasan terselubung dapat juga dilakukan melalui tudingan supernegatif dengan tujuan menyerang privasi, contohnya melalui selebaran gelap seperti yang telah terjadi di arena DPRD Jatim itu.

Kedua, kekerasan internal partai. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam partai manapun mudah timbul konflik. Partai Golkar atau Partai Kebangkitan Bangsa sudah mengalami hal itu. Konflik berkisar pada ketidakpuasan terhadap calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang diajukan. Konflik itu belum mengarah pada kekerasan tetapi potensi kekerasan tidak bisa diremehkan begitu saja karena bisa meledak kapan saja apabila ada pihak-pihak yang tidak kuat mengendalikan.

Ketiga, kekerasan satgas dan massa. Potensi kekerasan dalam pilgub Jatim kali ini terletak di wilayah ini sebab dua partai besar yakni PDIP dan PKB masing-masing mempunyai jago Gubernur dan Wakil Gubernur. Kedua partai ini memiliki basis massa yang kuat dan memiliki satgas yang terorganisasi. Kekhawatirannya jika massa dan satgas tidak bisa saling mengendalikan diri maka akan pecah kekerasan.

Keempat, kekerasan antar anggota DPRD Jatim. Pemilihan ini akan akan ditentukan oleh 100 anggota DPRD Jatim. Mereka adalah ujung tombak di lapangan dalam pemilihan. Bisa saja terjadi keributan ”murni” yang menimbulkan kekerasan di antara mereka. Bisa juga terjadi keributan ’’rekayasa’’ yang menimbulkan kekerasan dengan maksud mengacaukan jalannya sidang paripurna DPRD Jatim supaya acara tertunda dan agenda-agenda terselubung bisa dilancarkan.

Kelima, kekerasan aparat penegak hukum. Dalam pengamanan wilayah DPRD Jatim melibatkan polisi. Kalau ditinjau dari track record polisi dalam mengamankan gejolak-gejolak yang terjadi di masyarakat, sebagian besar pendekatan yang digunakan dengan kekerasan (represif), contohnya main pentung, main sepak, main popor dan lain-lain. Korban bisa dari massa partai, massa umum, pers dan lain-lain.

Potensi kekerasan ini patut dicermati sebab wilayah ini adalah lingkup lingkaran setan kekerasan yang tidak berujung. Karena polisi selalu berdalih mengamankan tetapi terlibat dengan kekerasan itu sendiri.

Tawaran Stephen R Covey, mengenai solusi menang-menang (win-win solution) secara ”harfiah” memang tidak bisa diterapkan dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, karena proses pemilihan yang muncul adalah dua kemungkinan kondisi, yaitu menang-kalah (win-lose) dan kalah-menang (lose-win).

Solusi menang-menang (win-win solution) dalam pemahan yang mendalam bisa diterapkan ketika pihak yang terpilih (menang) dan pihak yang tidak terpilih (kalah) dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Guibernur Jatim sama-sama menunjukkan etika yang baik dan tulus untuk saling menerima realitas sosial yang terjadi.

Jika realitas sosial telah ada, kemudian satu pihak atau dua pihak sama-sama tidak puas dengan menggunakan cara yang tidak halal termasuk cara kekerasan, berarti pilihan jatuh pada posisi kalah-kalah. Kita mengharapkan dalam proses pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim ini tidak menimbulkan kekerasan.

Potensi konflik yang menimbulkan kekerasan sangat mungkin pecah terutama pada pasca Pilgub Jatim. Yang lebih penting adalah mengendalikan laju kekerasan politik sehingga mengurangi beban traumatis pada semua lapisan masyarakat Jawa Timur. Rasionalitas dan kebesaran jiwa masing-masing pihak mestinya yang diperlukan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 14 Juli 2003

Tidak ada komentar: