Rabu, 02 Juli 2008

BBM Naik, Buruh Dua Kali Terpukul

Oleh Kanisius Karyadi

Lebih dari 600.000 buruh di Indonesia terancam terkena pemutusan hubungan kerja jika enam bulan ke depan kondisi perekonomian tidak membaik. Ancaman PHK muncul akibat kenaikan harga bahan bakar minyak. Separuh dari jumlah itu adalah buruh perusahaan tekstil (Kompas, 12/9).

Sementara itu, sekitar 15.000 buruh di 22 industri sepatu di Jawa Timur terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Bukan karena sepatu yang mereka buat sudah tidak disukai, tetapi karena perusahaan menanggung beban kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang akan dilakukan pada Oktober 2005 (Kompas, 14/9).

Kondisi ini jelas menyengsarakan buruh dalam hitungan beberapa bulan ke depan. Kenaikan harga BBM sedikitnya memukul ganda buruh. Pukulan pertama, banyak buruh menjadi penganggur baru. Secara otomatis, banyak buruh yang kehilangan mata pencaharian.

Pengangguran baru berarti menimbulkan kerawanan sosial dan politik. Kerawanan sosial bisa menyebabkan masyarakat kita agresif terhadap setap masalah susulan yang timbul. Hal itu menjadikan banyak orang tertekan/stres, yang berpotensi menimbulkan masalah kriminalitas, kekerasan, kerusuhan, dan lain-lain.

Kerawanan politik diartikan sebagai menurunnya tingkat kepercayaan buruh atau rakyat terhadap lembaga politik, termasuk pemerintah, yang terlalu mengumbar janji manis. Ibarat disuruh meminum madu, ketika berhadapan dengan realitas, para buruh hanya dipaksa minum racun.

Pukulan kedua, buruh yang selamat dari PHK akan kehilangan nilai tawar pada perusahaan. Mereka akan dipaksa atau terpaksa menerima kenyataan bahwa perusahaan hanya sanggup membayar sebatas upah minimum kota/kabupaten (UMK) lama tanpa ada revisi kenaikan.

Kaum buruh dipastikan rela menerima pil pahit kenaikan harga barang dan jasa sebagai akibat naiknya harga BBM. Sementara itu dipastikan tidak ada perubahan signifikan terhadap kenaikan upah buruh. Mereka dipaksa menyesuaikan sendiri, cukup atau tidak cukup itu urusan buruh sendiri.

Kebimbangan sebagian besar buruh, seperti dituturkan Dessy yang tinggal di Desa Pepe, Kecamatan Sedati, Sidoarjo, dan bekerja di Surabaya, berdasarkan pengalaman dan praktik keseharian, kenaikan harga BBM jelas akan memukul kondisi perekonomian keluarganya.

Bagi Dessy yang memiliki satu putra, ada empat hal yang memberatkan. Pertama, kenaikan BBM menambah beban atau biaya belanja kebutuhan dan konsumsi sehari-hari seperti sembako dan lain-lain. Kedua, kenaikan harga BBM membuat semakin menipisnya marjin tabungan yang ia sisihkan per bulan dari upah yang diterima. Ketiga, ia menganggarkan lebih banyak biaya transportasi apabila bekerja atau pulang ke desa di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Keempat, ia merasa pesimistis mendapat dana program kompensasi pengurangan subsidi BBM dari pemerintah mengingat lemahnya koordinasi pemerintahan dalam praktik lapangan.

Kenaikan harga BBM sejatinya memupuskan harapan sebagian besar buruh yang menginginkan perubahan konsep ”UMK” pada tahun 2006. Pertama, secara sistem buruh akan tetap menerima standar sistem ”upah minimum” yang masih berpedoman upah buruh minimum itu bagi buruh lajang. Sangat sulit mengadakan perubahan dari sistem minimum menjadi upah layak sejahtera kabupaten/kota. Sebab, perusahaan sebagai pemegang modal berargumentasi perusahaan masih untung bisa bertahan. Itupun marjin keuntungan perusahaan semakin tipis.

Kedua, kemungkinan besar sulit menaikkan besaran UMK pada tahun 2006. Dengan alasan ekonomi sulit, pemerintah sulit menetapkan kenaikan besaran UMK tahun 2006 menjadi lebih besar. Bisa-bisa pertumbuhan upah kembali mengecil dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya. Sudah tiga periode tahun lalu pertumbuhan upah di Jatim mengalami penurunan.

Ketiga, memupuskan harapan kaum kontrak akan diangkat menjadi buruh tetap. Ini mengingat sistem kontrak di Indonesia didesak dan dimanfaatkan untuk meringankan beban pengusaha dibanding dengan menyejahterakan buruh. Dengan kata lain, kenaikan BBM mendorong ”tidak tuntasnya” kesejahteraan buruh yang selama ini diperjuangkan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 22 September 2005

Tidak ada komentar: