Rabu, 02 Juli 2008

Pemecatan Alisjahbana akibat Desakan Politis dan Struktural

Oleh Kanisius Karyadi

Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono mengatakan, ”Saya seorang pejabat politik dan mungkin sesaat menjadi pejabat politik. Tapi Pak Ali adalah pejabat karier yang perlu diselamatkan. Saya tidak rela kalau pejabat seperti Pak Ali yang merupakan aset di kota ini dan di Jatim, menjadi bulan-bulanan. Kalau Pak Ali disia-siakan begini, mungkin ya kalau orang main sepak bola lapangannya masih becek. Bagi pemain profesional, tidak bisa bermain di lapangan becek bukan karena tidak mampu, tetapi karena lapangan memang becek. Kalau bicara kerugian, saya rugi (dengan mencopot Alisjahbana)” (Kompas, 18/9).

Ungkapan Wali Kota Surabaya Bambang DH tentang Sekkota Surabaya Alisjahbana yang telah dipecatnya ini, kalau diteliti secara seksama sejatinya merupakan pernyataan sangat tajam yang menukik pada inti persoalan di Kota Surabaya. Yaitu masih buruknya kualitas lingkungan dan sistem yang ada dalam tata pemerintahan di Kota Surabaya secara keseluruhan. Sekaligus menunjukkan kepada publik Surabaya bahwa Alisjahbana merupakan ”korban” lingkungan kerja yang tidak kondusif dan tidak bersahabat pada lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di Kota Surabaya.

Ini berarti sejak awal pemecatan Alisjahbana memang tidak berdasarkan pada kesalahan, keteledoran, dan kegagalan Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya ataupun sebagai Ketua Tim Anggaran Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang menyusun Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) di Kota Surabaya itu semata. Namun, lebih karena desakan politis dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Surabaya dan desakan struktural dari internal Pemkot Surabaya.

Kasus pemecatan Sekkota Surabaya Alisjahbana ini adalah pukulan maut bagi lembaga eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya. Ada tiga pukulan maut yang menyembul ke permukaan atas kasus pemecatan Sekkota Surabaya. Pukulan pertama, mengarah pada belum siapnya perangkat internal Pemkot Surabaya dalam menjalankan budaya (etos) kerja yang profesional.

Ada ciri umum yang selama ini melekat dalam diri Sekkota Surabaya Alisjahbana yang sering didengungkan Wali Kota Surabaya Bambang DH bahwa sosok Alisjahbana adalah profesional, beretos kerja tinggi, dan mempunyai kredibilitas tidak diragukan. Maka tak ragu, ketika Wali Kota Surabaya, Bambang DH membutuhkan pengganti M. Jasin, ia memilih Alisjahbana yang ketika itu bertugas di Kota Batu sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappekko) Batu.

Tampaknya, tiga watak unggul Sekkota Surabaya Alisjahbana ini yang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dengan watak unggulnya ternyata ia dimusuhi banyak kalangan internal Pemkot Surabaya kemudian didepak dari lapangan birokrasi di Kota Surabaya secara mengenaskan. Ternyata lapangan kerja birokrasi di Kota Surabaya tidak cocok dengan ketiga watak unggul Alisjahbana itu.

Selama ini Pemkot Surabaya terlanjur ada label dan fakta bahwa birokrasi Kota Surabaya itu kerjanya santai, tidak produktif, tidak disiplin, alur birokrasi berbelit-belit, pungutan liar (pungli) tinggi, dan lain sebagainya. Dalam internal Pemkot Surabaya kurang dinamis dan cenderung statis dalam bekerja secara penuh menghadapi gejolak zaman yang terus berubah. Ketidaksiapan ”mentalitas” internal Pemkot Surabaya dalam struktur, personal dan sistem, jelas sekali tercermin dengan ”tertinggalnya” Kota Surabaya dengan kota lainnya.

Pukulan kedua, menghantam pada lambannya melakukan respon, perubahan yang penting dalam internal Pemkot Surabaya. Langkah kerja efektif yang banyak didengungkan Alisjahbana untuk memperbaiki kinerja Pemkot Surabaya secara keseluruhan ternyata mengundang polemik internal di Pemkot Surabaya sendiri. Ia dianggap duri dalam daging di Pemkot Surabaya.

Program inovasi Alisjahbana dianggap akan menggusur lahan kerja pejabat di lingkungan kerja Pemkot Surabaya. Langkah-langkah inovasi yang mengarah pada perubahan menuju yang lebih baik, terhambat oleh kendala-kendala internal birokrasi Pemkot Surabaya. Ini menunjukkan semangat berubah dari Pemkot Surabaya kurang sekali. Padahal, perubahan di luar begitu cepatnya. Ketika pemkot kurang bisa mengikuti irama perubahan, maka dipastikan Pemkot Surabaya akan jauh tertinggal.

Pukulan ketiga, menyerang pada sinergi yang lemah antara lembaga eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya. Lingkungan kerja yang tidak harmonis antara pihak eksekutif dan legislatif selama ini hendaknya perlu diperbaiki secara terus-menerus. Jika lembaga eksekutif dan legislatif yang terus berurusan saling mengganjal, berakibat pada terganggunya pembangunan fisik Kota Surabaya bahkan mengganggu psikis masyarakat.

Sekarang kita mengetahui, kericuhan soal PAK merupakan satu pintu untuk menganjal Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya. Namun, juga sangat kentara bahwa perebutan jabatan lebih mengemuka dan perebutan lahan basah terus bergulir di Kota Surabaya. Betapa harga profesionalis kerja, nilai etos kerja yang tinggi, dan dedikasi yang loyal terhadap tuntutan perubahan telah terpinggirkan di Kota Surabaya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 19 September 2003

Tidak ada komentar: