Rabu, 02 Juli 2008

Ketika ’Kesejahteraan Petani’ Tak Kunjung Datang

Oleh Kanisius Karyadi

Hasil survei sementara Survei Pendapatan Petani yang dilakukan Badan Pusat Statistik menunjukkan dalam lima tahun terakhir konversi sawah mencapai 25.000 hektar. Kondisi tersebut memerlukan kebijakan terobosan agar konversi lahan itu bisa ditekan (Kompas, 28 Juli 2005).

Tampaknya kondisi itu menunjukkan bahwa nasib petani kian menggelisahkan. Upaya menuju perbaikan yang berarti dan bermutu bagi kepentingan petani ibarat memanggang ikan tanpa arang membara. Dalam studi yang dilakukan penulis tentang petani dan distribusi pasca panen padi pada bulan Mei-Juli 2005 di Sidoarjo menunjukkan ada beberapa fenomena yang menggetarkan dan menggelisahkan bagi perbaikan kesejahteraan dan nasib petani secara umum.

Pertama, ada pengurangan lahan pertanian yang cukup besar hampir di setiap kecamatan di Sidoarjo. Pengurangan lahan pertanian menjadi nonpertanian, misalnya untuk kawasan perumahan, kawasan gudang, kawasan perluasan industri. Kita bisa melihat itu misalnya di kawasan persawahan Kecamatan Sedati yang kian menipis digantikan pergudangan, perumahan, perluasan bandara Juanda. Di Kecamatan Buduran sedang giat-giatnya mengantikan lahan pertanian menjadi perumahan. Demikian pula di Kawasan Taman, Porong, Tanggulangin dan hampir di penjuru Sidoarjo. Menurut perhitungan dengan semakin berkurang lahan pertanian berakibat berkurangnya juga jumlah produksi beras, kecuali ada yang mengembangkan teknologi pertanian dengan lahan terbatas bisa menghasilkan panen berlipat ganda.

Petani yang menjual lahan pertanian kepada investor memang ibarat mendapat durian runtuh, ketiban rezeki sesaat yang besar. Petani seolah menjadi orang kaya baru namun sesaat. Dari penelusuran lapangan terbukti, banyak petani yang gagal mengelola ”uang landasan” itu. Mereka tergoda jumlah uang besar, namun mereka tidak mempunyai manajemen keuangan pasca penjualan lahan persawahan itu. Akibatnya, mereka terjebak untuk menikmati dan memenuhi kebutuhan konsumsi belaka. Namun lupa mengalokasikan dana untuk investasi dan tabungan. Pada akhirnya hanya menciptakan kebingungan bagi petani sendiri. Karena, mau bertani lagi, ternyata lahan sudah menipis atau tidak ada.

Kedua, petani dominan tidak mempunyai manajemen pemasaran pasca panen. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya petani yang tidak mempunyai infrastruktur pendukung pertanian dari teknologi pengolahan sampai distribusi dan pemasaran hasil panen padi. Hal ini berakibat minimalnya hasil panen yang diperoleh petani. Petani sangat tergantung hasil panennya diserahkan kepada tengkulak (penguyang) daripada mengelola lebih lanjut untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan besar.

Kegelisahan sebagian besar petani itu seperti dituturkan Hadi Mulyono (41 Tahun), seorang petani Dusun Kesamben, Desa Wunut, RT 25 RW 04, Kelurahan Wunut, Kecamatan Porong, ada empat alasan mengapa ia tidak mempunyai manajemen produksi dan pemasaran pasca panen dan lebih memilih menjual gabah kepada penguyang (tengkulak). (1)Membutuhkan uang tunai yang sifatnya cepat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan modal pertanian musim tanam selanjutnya. (2) Proses penjualan tidak berbelit-belit, ada barang ada uang jarang mengenal sistem utang. (3) Tidak mempunyai modal besar untuk pembelian mesin giling/selep padi. (4) Tidak menguasai dan tidak mempunyai jaringan pemasaran misalnya, rekanan toko dan distribusi lain.

Dalam perhitungan normal jika petani mempunyai sistem produksi dan pemasaran yang baik, minimal ia bisa (1) Meningkatkan jumlah dan harga penjualan gabahnya menjadi beras yang tidak perlu dipotong tengkulak. (2) mendapatkan hasil tambahan penghasilan lewat kulit padi (dedak) yang bisa dijual lagi sebagai pakan ternak seperti ayam, itik atau sapi. Misalkan, 2000 meter persegi lahan yang ditanami padi, bisa menghasilkan sekitar 16 kuintal gabah basah. Harga gabah basah dan kering perkuintal terpaut sekitar Rp. 15.000,- harga gabah basah di Kecamatan Porong berkisar Rp 155.000,- per kwintal dan harga gabah kering sekitar Rp 165.000,- per kwintal.

Misalnya petani menjual gabah basah dengan total berat 16 kuintal (1600 kg), maka yang dibayar tengkulak kepada petani tidak murni 1600 kg, tetapi umumnya dipotong dua persen sehingga jadi 1568 kg dikali Rp 1.550,- jadi hasil menghasilkan panen Rp 2.430.400,- (kotor) bila digarap sendiri belum dipotong biaya pupuk, pestisida, dan lain-lain. Namun pada umumnya, petani dalam memanen padinya meminta bantuan buruh tani, sehingga hasil panennya harus terpotong lagi dengan perbandingan 8:1, jika panen 8 kuintal, petani memberikan upah gabah satu kuintal kepada buruh tani. Jadi kalau panen 16 kuintal gabah basah, petani hanya menikmati 14 kuintal gabah basah.

Andai petani memiliki sistem produksi dan pemasaran yang baik, misal panen 16 kuintal gabah kering giling, petani bisa menikmati per kuintal gabah kering giling menghasilkan sekitar 65 kilogram beras dan sekitar 35 kulit padi (dedak). Berarti total produksi 1040 kg beras, dan 560 kg dedak. Jika petani mengusai pemasaran, ia bisa menjual kepada distributor langsung, katakanlah dikonversikan ke dalam rupiah berarti harga beras Rp 2800,- (bisa lebih) perkilo dikalikan 1040 kg = Rp 2.912.000,- ditambah dedak per kilo Rp 700,- dikali 560 kg =Rp 392.000,-, jadi total penghasilan panen kotor Rp 3.304.000,- jadi hasil yang diterima petani lebih besar daripada sekedar menyerahkan hasil panen kepada penguyang (tengkulak).

Ketiga, minimalnya kaderisasi atau regenerasi petani muda. Ternyata selain terjadi pengurangan lahan pertanian, studi ini juga menunjukkan bahwa semakin minimnya generasi muda yang memilih profesi sebagai petani murni. Dalam pengamatan lapangan banyak sekali transisi kawula muda lebih memilih menjadi karyawan di perusahaan di mana lahan yang dipakai adalah bekas lahan pertanian milik petani setempat.

Melihat ketiga dasar temuan studi tersebut, nampaknya akan terjadi kegelisahan baru dari petani-petani kita. Bahkan boleh dikata, ketika Soekarno menemukan sosok Marhaen, seorang Marhaen adalah orang yang mempunyai alat-alat yang sedikit. Orang kecil dengan ke(milik)an kecil (sedikit), bekerja sendiri, sekedar cukup untuk dirinya sendiri. Demikianlah dalam Soekarno, An autobiografy as told to Cindy Adam, 1965. Keadan sekarang sangat mungkin akan lebih parah kondisinya dibandingkan dengan marhaen tempo dulu, jika kondisi ini biarkan bergulir tanpa upaya pencerdasan pemerintah dan lembaga swasta peduli kepada para petani kita. Bila ini diteruskan lagi, bisa jadi swasembada beras menjadi semu atau sekedar angan-angan belaka.

Kompas Edisi Jawa Timur, 24 Agustus 2005

Tidak ada komentar: