Rabu, 02 Juli 2008

Oase Alun-Alun Surabaya

Oleh Kanisius Karyadi

Ketika kita berkeliling Surabaya, kota ini terasa kering dan hambar. Pandangan mata didominasi oleh bangunan, gedung, beton bisnis dan papan reklame.

Pembangunan di Surabaya terasa overdosis karena nyaris menutup seluruh ruang terbuka. Pembangunan Surabaya meminggirkan warga kota dari lingkungannya. Hal itu menunjukkan pembangunan telah meninggalkan aspek manusiawi. Surabaya telah menghilangkan ruang publik untuk warganya.

Untuk mengatasi problema itu diperlukan wacana dan praksis tandingan yang menyeimbangkan kondisi ini. Di satu sisi kegiatan ekonomi masyarakat berjalan lancar, di sisi lain warga kota merasa menjadi bagian kotanya.

Salah satu hal yang memungkinkan kondisi itu tercapai adalah Alun-Alun Surabaya (AAS). AAS seyogianya dirancang sebagai ruang terbuka hijau yang berorientasi publik. Hal itu menjadi penyeimbang dalam pembangunan. Fenomena kegedungan perlu disandingkan dengan kealun-alunan Surabaya.

Sejauh ini Surabaya belum memiliki alun-alun yang relatif besar dan gagah. Memang ada beberapa yang diklaim sebagai alun-alun Surabaya. Seperti lapangan Balaikota Surabaya atau Taman Bungkul Surabaya. Namun, itu belum dimanfaatkan secara maksimal. Bahkan, rencananya Taman Bungkul Surabaya akan diubah menjadi taman hiburan lengkap dengan kedai-kedai makanan.

Pembangunan AAS perlu relatif dijauhkan dari nuansa bisnis, mengingat Kota Surabaya sudah terlalu sesak dengan urusan bisnis. Diperlukan nuansa lain agar AAS benar-benar bersih dari komersialisasi. Karena kurangnya ruang terbuka untuk publik, gedung bisnis bernama mal/supermarket kini menjadi tujuan menghibur diri warga. Tentunya ini terlalu bisnis sentris. Warga disuguhi dan dicekoki konsumerisme dan materialisme.

Diharapkan AAS bisa menjadi oase di padang gedung. Ruang publik itu diperlukan untuk mengisi ruang batin warga kota. Kita sudah lelah dan jenuh dicekoki pemandangan gedung dan bisnis.

Dulu Tugu Pahlawan Surabaya pernah menjadi oase. Kini oase warga kota itu digedungkan. Atas nama pembangunan fisik, ruang terbuka hijau dikebiri. AAS bisa difungsikan sebagai hutan kota yang memperkuat paru-paru kota sebagai penyaring udara yang tercemar asap kendaraan bermotor. Di sana kita bisa menikmati sisi kota dari persepektif yang lain. Hutan kota berfungsi mengkonservasi tumbuhan dan hewan. Kita bisa mendengarkan suara burung, jangkrik dan lainnya.

AAS bisa disinergikan sebagai hiburan dan sarana olahraga ringan. Warga kota butuh tempat untuk berolahraga. Apalagi saat ini warga sering kerepotan mendapatkan lahan olahraga. Menimbang azas kemanfaatannya, AAS bisa dibangun di beberapa wilayah. Misalnya di Surabaya Pusat, Surabaya Selatan, Surabaya Timur, Surabaya Barat, dan Surabaya Utara.

AAS memang rentan digunakan oleh para pedagang kaki lima (PKL). Untuk itu perlu ada aturan main bersama yang mengikat. Ada batasan tegas bahwa AAS tidak diperuntukkan bagi PKL. AAS murni pengembangan ruang publik, tidak untuk berbisnis. Ada pemisahan tegas antara ruang publik dan ruang bisnis. Jika dicampuradukkan, umumnya satu di antaranya akan menjadi korban. Biasanya ruang publik yang dikalahkan oleh kepentingan bisnis.

Ide ini bisa dilaksanakan jika ada niat baik semua pihak. Yang terpenting, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersedia mengurangi izin pembangunan gedung modern bisnis.

Kini sudah saatnya program berbasis humanis-ekologis AAS direalisasikan mengingat kondisi Surabaya semakin memprihatinkan, rasa kebersamaan meluntur, digantikan suasana perdagangan yang kental. Jika gagasan ini direalisasikan, Surabaya bisa menjadi kota yang maju dalam ekonomi tanpa meninggalkan keguyuban warga dan lingkungannya.

Yang bertanggung jawab untu menciptakan AAS adalah Pemkot Surabaya, sementara. warga Kota Surabaya wajib membantu pengembangan kota itu. Perlu ada sinkronisasi program. Dalam tataran makro pemerintah berupaya menciptakan keasrian kota. Warga Kota Surabaya berkewajiban menyelenggaralan keasrian di lingkungan terdekatnya, dalam hal ini halaman rumah dan lingkungannya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 17 Juli 2006

Tidak ada komentar: