Rabu, 02 Juli 2008

Raperda Sempadan Sungai Jangan Menindas Rakyat Kecil

Oleh Kanisius Karyadi

Hari Senin ini, sedikitnya seribu warga stren kali se-Surabaya akan mendatangi DPRD Provinsi Jatim. Rencananya, mereka yang berasal dari seluruh warga stren kali dari 16 kelurahan dan enam kecamatan ini akan mencari keadilan atas nasib mereka (Kompas, 13/10/2003). Hal ini ada kaitannya dengan sidang paripurna DPRD Jatim yang memproses Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Sempadan Sungai.

Ada kekhawatiran yang besar di antara mereka pasca disahkannya Raperda itu menjadi Perda Sempadan Sungai, yaitu nasib pribadi dan nasib ”kepemilikan” rumah-aset mereka menjadi terkatung-katung di area sempadan sungai. Dipastikan dengan hadirnya perda ini akan ada gejolak dan masalah baru di Jawa Timur. Tentu kita masih ingat penggusuran perumahan ”liar” di daerah Panjang Jiwo, Surabaya dan sekitarnya beberapa tahun lalu.

Peristiwa itu telah banyak menimbulkan masalah kemanusiaan di Jawa Timur. Setidaknya pengalaman itu bisa memberikan pelajaran berharga bagi kita. DPRD Jatim dan Pemerintah Provinsi Jatim perlu berpikir ulang tentang solusi atas penggusuran itu karena terbukti pihak eksekutif sekedar menggusur, namun tidak mempunyai rencana penataan warga stren kali yang digusur itu.

Memang ada dilema berkepanjangan antara eksistensi Perda Sempadan Sungai dan eksistensi warga stren kali. Di satu sisi kehadiran Perda Sempadan Sungai sangat dibutuhkan untuk melindungi ekosistem lingkungan hidup dan menjaga fungsi sungai di Jawa Timur dengan baik dan benar. Namun di sisi lain, eksistensi warga stren kali yang telah lama menghuni lahan tersebut untuk keperluan sehari-hari dengan berbagai kepentingannya.

Dalam kesempatan ini, perlu sekali kita tampilkan beberapa efek negatif dari Raperda Sempadan Sungai itu, jika hal itu disahkan tanpa perubahan yang berarti, ada enam ”bahaya kemanusiaan” yang bakal terjadi di area sempadan sungai itu. Pertama, konflik vertikal antara warga stren kali dengan aparat pemerintahan di Jatim.

Pada umumnya setiap upaya penggusuran atas warga akan menimbulkan riak-riak konflik yang mendalam antara pemerintah dengan pihak warga stren kali. Di satu sisi warga stren kali akan berupaya mempertahankan eksistensi rumahnya, di sisi yang lain aparat pemerintah dengan ”tega” akan melibas rumah-rumah yang dianggap illegal namun berfasilitas legal, seperti sarana PLN, telepon dan lain sebagainya.

Kedua, kerugian material atas hasil kerja mandiri pemilik rumah warga stren kali. Dengan pemberlakuan Raperda Sempadan Sungai tersebut identik dengan legalisasi atau dasar hukum yang kuat bagi Pemprov Jawa Timur untuk melakukan penggusuran rumah yang ada di areal sempadan sungai. Ini berarti mereka akan kehilangan rumah tinggal. Rumah yang berdiri atas dana mandiri warga stren kali itu dipastikan hancur dan kemungkinan besar tanpa imbalan yang berarti dari pemerintah.

Ketiga, hilangnya mata pencaharian atau pekerjaan warga stren kali. Tidak dapat dipungkiri ada banyak warga stren kali itu yang mengais rezeki di sempadan sungai. Di daerah itu ada banyak warga stren kali yang menjadi pedagang kecil, seperti berdagang toko palen, jual helm, jual peralatan pancing, dan lain sebagainya. Mereka menggantungkan harapan hidup dari keringatnya sendiri di tengah pemerintah yang tidak maksimal mengusahakan lapangan pekerjaan bagi warganya.

Keempat, beban kesedihan dan traumatis warga stren kali. Tak bisa dimungkiri bahwa dengan hilangnya mata pencaharian dan rumah tinggal mereka akan mengalami beban kesedihan dan rasa traumatis yang mendalam. Betapa ’’kepemilikan dan kekayaan” yang dikumpulkan bertahun-tahun hilang tanpa bekas. Hilangnya mata pencaharian warga stren kali juga menyisakan ”dendam sejarah” tak terbalaskan di antara mereka terhadap aparat pemerintahan di Jawa Timur.

Kelima, pudarnya kepercayaan warga atas legitimasi pihak eksekutif dan legislatif. Selama reformasi ini sebenarnya banyak warga yang berharap akan banyak hal terutama kebijakan politik atau kebijakan publik yang berpihak pada warga yang berekonomi miskin. Namun pada kenyataannya, seringkali pihak-pihak eksekutif atau legislatif dengan sengaja melupakan itu. Hal ini semakin memudarkan kepercayaan mereka kepada pemerintah dan DPRD Jatim.

Keenam, adanya riak-riak kejahatan. Tanpa maksud menuduh atau menggeneralisasi warga stren kali yang tergusur. Dipastikan ada riak-riak tajam masalah kejahatan di antara mereka akibat penggusuran yang sewenang-wenang itu. Sangat mungkin beberapa orang yang kehilangan rumah atau mata pencaharian nekat melakukan aksi kejahatan yang mengganggu warga lainnya akibat desakan ekonomi dan pekerjaan yang sulit.

Dengan memperhatikan potensi-potensi negatif di atas yang merupakan ancaman kemanusiaan di Jawa Timur, setidaknya kita semua perlu berhati-hati dalam pelaksanaan di lapangan. Setidaknya gambaran di atas perlu direnungkan sebelum sebuah peraturan daerah benar-benar dijalankan.

Kita tidak mengharapkan sebuah peraturan daerah hanya digunakan untuk menindas rakyat kecil tanpa solusi yang jelas, sementara ada banyak konglomerat dengan segala penyimpangannya tetap bisa menikamati ”fasilitas” dan menghirup udara segar di Jawa Timur.

Kompas, Edisi Jawa Timur, 14 Oktober 2003

Tidak ada komentar: