Rabu, 02 Juli 2008

Membaca Kecenderungan Pilgub Jatim

Oleh Kanisius Karyadi


Suhu politik Jawa Timur berangsur naik berkaitan agenda pemilihan gubernur. Hiruk-pikuk persiapan sudah mulai dirancang. Kompetisi kandidat berlangsung ketat. Tinggal menunggu waktu, siapa gerangan yang bakal memimpin Jatim ke depan? Memang masih menjadi tanda tanya, siapa kandidat yang bakal memenangkan kompetisi ini. Namun demikian, penulis berupaya menyajikan kecenderungan baru bandul politik pada pemilihan kali pertama yang dipilih oleh rakyat ini.

Pertama, memudarnya dominasi kader mantan militer. Pada periode yang lampau hampir seluruh pemilihan gubernur oleh DPRD Jatimhasilnya pasti bisa ditebak, pemenangnya adalah dari kalangan militer/mantan. Untuk kali ini ada kecenderungan yang bisa berbalik 180 derajat. Tidak seperti kecenderungan lama, ada pembalikan arus, di mana kader militer/mantan militer kurang menjadi primadona partai-partai pemegang kursi di DPRD Jatim. Terbukti, kandidat gubernur berasal dari mantan militer, seperti Haris Sudarno dan Joko Soebroto terpental dari pencalonan partai-partai pemegang kursi dewan, seperti PDIP, PKB, PAN, Partai Demokrat dan lain-lain.

Kecenderungan ini berpotensi mematahkan mitos Jawa Timur ”gubernur disandang kalangan militer/mantan”. Prediksi itu kian mendekati kebenarannya, manakala para legiun (mantan) militer itu belum mempunyai kendaraan yang relatif besar. Dominasi gubernur mantan/militer bisa-bisa bakal runtuh dalam even ini.

Kedua, meningkatnya kepercayaan diri kader sipil. Boleh dikatakan ini adalah era keemasan bagi kalangan sipil di Jawa Timur. Untuk kali pertama pencalonan gubernur dan wakilnya banyak diisi kalangan sipil nonmiliter. Pada era sebelumnya, sangat minimal kader sipil yang berani unjuk gigi, menampilkan sosok pemimpin Jawa Timur. Selama ini, mereka selalu dalam bayang-bayang militer. Atau boleh dikatakan sebagai warga kelas dua, setelah militer dalam jagad perpolitikan.

Harus diakui, dominannya kader sipil sebagai kandidat gubernur dan wakil kali ini banyak diwakili kaum nasionalis, alumnus atau bekas aktivis (GMNI) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, seperti Soekarwo, Soenarjo, Sutjipto dan lain-lain.

Memang ada wacana yang dikembangkan, ”Gubernur dan wakil sudah layak dipegang warga nahdliyin (NU)” mengingat jumlah warga NU di Jatim besar. Wacana itu sah-sah saja, sama seperti sahnya ”sudah saatnya Jatim dikomando kaum nasionalis” dan ”sudah waktunya Jatim 1 dan 2 dipegang alumnus HMI”.

Ketiga, munculnya kader luar partai. Walaupun banyak kader sipil yang tampil dalam kompetisi ini. Namun demikian, banyak yang berasal dari luar wilayah partai politik pemegang kursi DPRD Jatim. Beberapa partai belum siap persediaan calon pemimpin dari partainya sendiri. Ini mengindikasikan, partai politik relatif belum siap menyediakan pemimpin masa depan dari olah kaderisasi internalnya. Mereka lebih percaya diri mencalonkan kaum birokrat/pengusaha mapan baik dari sisi relasi, finansial, akses dan lain-lain.

Memang beberapa partai sudah mulai percaya diri dengan kadernya sendiri, seperti PDIP mencalonkan Sutjipto, Partai Golkar Mengunggulkan Soenarjo. Sementara partai lain, cenderung mengusung kader bukan didikan partainya.

Di samping ketiga kecenderungan yang relatif baru di atas, kita juga perlu mengamati kecenderungan yang relatif tetap dari masa ke masa. Yaitu kecenderungan dominasi etnis Jawa dan kecenderungan minimalnya kandidat perempuan dalam bursa gubernur/wakil. Kecenderungan etnis Jawa dalam bursa cagub/cawagub ini sudah terpetakan sejak awal. Sampai kini kandidat-kandidat kuat masih didominasi kader etnis Jawa. Belum ada tanda-tanda penting (signifikan) yang mengarah Jawa Timur dipimpin oleh orang di luar etnis Jawa, seperti Tionghoa atau lainnya.

Ini menunjukkan, minat politik etnis Jawa dalam dunia perpolitikan masih cukup tinggi. Namun demikian, bukan berarti minat politik dari etnis yang lain tidak ada. Misalnya sudah cukup banyak politisi dari kalangan Tionghoa yang tampil. Namun demikian, mereka masih belum mau muncul. Mungkin, suatu masa nanti, kecenderungan ini berbalik arah.

Kecenderungan yang relatif tetap lain soal minimalnya kader perempuan terbukti masih terjadi di lapangan. Kita masih susah mencari figur perempuan yang berani unjuk jari dan gigi tampil memimpin Jatim. Memang ada yang sudah mulai mewacanakan, namun arusnya belum begitu kuat. Sama seperti kecenderungan sebelumnya, hal ini pun punya kesempatan berubah. Mungkin, suatu saat nanti Jatim dipimpin perempuan.

Melihat kecenderungan-kecenderungan itu, pertama, Jatim 1 secara samar-samar bisa ditebak, Jawa, nonperempuan, nonmiliter. Kedua, semua kandidat berpotensi menang asalkan punya pengaruh ke basis gabungan nasionalis, nahdliyin, dan kelompok umat dan masyarakat lainnya. Kebesaran nama partai politik yang mengusung belum tentu menjadi pemenangnya. Popularitas dan citra diri dan program kandidat bisa menjungkirbalikkan kekuatan partai pendukung. Bisa saja calon independen, walaupun dikabarkan sulit ikut pilgub kali ini, suatu saat bisa menang. (*)

(Kanisius Karyadi, peminat ekonomi politik, penulis buku biografi Uskup Surabaya, Sang Maestro dari Perak)


Tidak ada komentar: