Rabu, 02 Juli 2008

UMR 2002

UMR 2002

UPAH minimum regional (UMR) di wilayah Jawa Timur (Jatim) mengalami perubahan, kecuali daerah Gresik yang telat (Kompas, 22/12). Berita ini sedikit menggembirakan sekaligus meresahkan bagi kaum buruh. Suatu keputusan yang serba sulit di tengah bangsa yang sedang pailit.

Secara angka-angka, nilai UMR itu mengalami kenaikan. Contohnya, daerah Surabaya dari Rp 330.700 menjadi Rp 453.200. Tetapi, menjadi pertanyaan apakah dengan kenaikan UMR itu menjadikan "penghasilan bersih" kaum buruh juga meningkat?

Inilah kegelisahan yang muncul. Kenaikan UMR di tahun 2002 ini belum tentu menaikkan penghasilan buruh secara drastis dan penting (signifikan). Ternyata, pada tahun 2002 ada rencana juga untuk menaikkan tarif dasar listrik (TDL) dan lain-lain.

Dengan demikian, akan terjadi kenaikan barang atau jasa lainnya sebagai efek domino. Ini berimbas pula pada kenaikan UMR itu sebagai talangan akan naiknya biaya hidup itu. Berarti penghasilan bersih kaum buruh akan relatif tetap dan "tetap minimum".

Wacana bahwa buruh adalah mitra pengusaha, patut kita acungi jempol. Namun, apakah wacana itu sudah membumi di kalangan pengusaha? Ternyata, dalam praktik keseharian, kaum buruh masih dianggap kaum rendahan, cecunguk murahan yang mudah ditendang.
***
IMAGE bahwa buruh menjadi sapi perahan kaum pengusaha masih tampak kental. Terbukti dengan praktik-praktik eksploitasi buruh dengan upah rendah, bahkan jauh di bawah UMR. Kondisi inilah yang menyedihkan, di tengah semakin memudarnya sila kelima Pancasila, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Ada ungkapan umum yang biasa kita dengar dari sebagian besar para pengusaha. "Mau atau tidak mau, hanya upah dan kondisi seperti itu (minimum), yang bisa diberikan. Kalau tidak mau silakan keluar dari pekerjaan ini. Toh, di luar sana masih banyak yang memerlukan." Inilah potret yang menyedihkan.

UMR 2002 memang naik, tetapi belum tentu juga kesejahteraan kaum buruh akan meningkat pula. Keluh kesah pun sekarang tiada gunanya. Yang terbaik adalah, mari segera mempraktikkan tegur sapa Takashi Ishitani, pejabat Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, "mencuri kebudayaan," katanya.

Janganlah mencuri benda-benda orang lain, tetapi curilah ilmu pengetahuannya sebanyak-banyaknya. Hasil curian itu di kembangkan, disebarluaskan, dan di terapkan. Dengan demikian, kaum buruh berangsur cerdik, arif, dan mampu memimpin dirinya sendiri, seperti bangsa Jepang yang mengorbit keharuman namanya. Hidup Buruh!

(Kanisius Karyadi, aktif di Lembaga Studi Pengembangan Masyarakat-LSPM Surabaya )
Kompas Jatim, Kamis, 3 Januari 2002

Tidak ada komentar: