Rabu, 02 Juli 2008

OMK dalam Gerakan Politik di Indonesia

Oleh Kanisius Karyadi
Penulis, Mantan Ketua PMKRI Surabaya

I Basis Susilo di JUBILEUM, Maret 2008, menulis: "Barangkali ada kesalahan dalam melihat dan menyikapi pengertian politik. Politik dianggap sebagai kegiatan perebutan kekuasaan. Yang tidak bermoral. Yang menghalalkan segala cara. Kasar. Licik. Penuh tipu muslihat. Dan sebagainya. Akibatnya, tugas-tugas politik diabaikan seakan-akan orang beriman harus punya sikap politik-fobi.”

Masih menurut Basis, padahal politik, dari kata Yunani “polis”, berarti kota atau negara. “Polis” adalah organisasi yang bertujuan memajukan kehidupan yang baik dan tenteram bagi para warga negaranya. Politik ialah segala apa yang berhubungan dengan usaha yang baik demi negara atau polis. Pengertian berkembang, yaitu semua tindakan yang bertujuan memperjuangkan apa yang baik bagi seluruh rakyat dalam situasi tertentu.

Unsur mutlak dalam kesejahteraan umum adalah: kebebasan, perdamaian dan keadilan. Dalam bidang politik pun berlaku hukum moral yang mengikat tindakan semua manusia sehari-hari, seperti: jangan berdusta, jangan menipu, jangan mencuri, jangan membunuh, dan sebagainya. Tujuan yang baik tidak menghalalkan semua cara. Tetapi perbedaan besar dengan tindakan pribadi ialah bahwa semua tindakan politik harus dinilai juga dari sudut baiknya bagi masyarakat seluruhnya. Masalahnya sekarang, bagaimana mendudukkan pengertian politik pada porsi dan esensinya, yaitu usaha memajukan kehidupan bersama yang baik. Setelah itu, mendorong organisasi-organisasi melakukan fungsi pendidikan, pembinaan dan pendampingan agar kaum muda punya wawasan dan ketrampilan yang memadai untuk berperan dalam dinamika sosial-politik bangsanya.

Dari uraian Basis, kita melihat politik dalam tarikan dua kutub, yang mendorong pada perbuatan negatif dan positif. Dilihat dari pengalaman masa lalu, baik Orde Lama dan Orde Baru pada tata negara dan tata masyarakat membuat dua bentangan. Tidak dapat dimungkiri, politik di negeri ini memberikan rasa trauma mendalam bagi sebagian orang. Demikian sebaliknya, ada yang mendapat kue kekuasaan empuk dan enak. Seperti diluruskan Basis, sejatinya pada era reformasi kita diarahkan pada mengenal politik secara benar. Namun, kita masih menyaksikan atraksi politik hasil reformasi. Seperti misalnya pilkada langsung (atau lainnya) memberikan peluang baik, sekaligus terbuka ancaman menjerumuskan politik pada wacana buruk. Bagaimana peran masyarakat atau khususnya warga Katolik (orang muda Katolik) sehingga menjadikan wilayah politik cemerlang? Kita meneropong.

Menelisik Peran OMK

Regulasi politik berubah menghadapi Pemilu 2009, yang ini tidak dibahas penulis terkait UU No 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik dan UU No 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu. Kita perlu melihat peluang dan peran politik yang bisa dimainkan oleh warga Katolik di Indonesia khususnya bagi orang muda Katolik (OMK). Bagaimana kiprah yang bisa dimainkan dalam gerakan politik di Indonesia setelah ada sedikit gambaran peran umum yang dimainkan masyarakat Indonesia di atas.

Sebagai warga negara Indonesia, warga Katolik punya hak dan kewajiban yang sama dengan yang lainnya. Termasuk berorganisasi politik secara mandiri. Sejatinya sejak Orla hingga kini, warga Katolik sudah menunjukkan geliat politiknya. Di era Orla, warga Katolik bermanifestasi dalam Partai Katolik. Kemudian di era Orba, eksistensi partai Katolik dileburkan ke dalam PDI. Secara personal ada warga Katolik yang eksis di Golkar.

Pada era reformasi, sebagian umat Katolik ada yang terbawa eforia seperti umat yang lain, ada yang mendirikan Partai Katolik Demokrat. Yang membedakan partai berbasis Katolik di era Orla dan reformasi. Partai Katolik di era Orla relatif mendapat angin dari Hierarki Gereja Katolik Indonesia, namun partai pasca Orba (reformasi) relatif jauh dari angin hierarki.

Warga Katolik yang kontra partai berbasis Katolik, mengatakan secara statistik basis dukungan partai sangat kecil sehingga partai sulit berkembang. Selain itu tidak zamannya partai berbasis agama yang menjebak pada pola sektarianisme. Biasa aliran ini biasa disebut aliran garam dunia. Sementara, warga Katolik yang pro partai berbasis Katolik, mengatakan walaupun kecil, bisa setara dengan yang besar. Eksistensi dan geliat Katolik dalam politik juga perlu dihadirkan. Aliran ini biasa kita sebut aliran terang dunia.

Secara realistis, kita melihat kehadiran partai politik berbasis Katolik sulit mendapatkan banyak kursi. Ada beberapa alasan, basis dukungan terlalu sempit. Dalam wilayah yang sempit itu, belum tentu semua sepakat dengan partai itu, mengingat tidak semua warga Katolik melek politik. Di samping itu, eksistensi partai tidak mendapat dukungan real dari hierarki Katolik pemegang massa Katolik. Selanjutnya, parpol tidak mempunyai nilai manfaat dan nilai beda yang sungguh lain dengan partai lain.

Kondisi bisa berkata lain jika, menyerupai kasus PKS (Partai keadilan Sejahtera), ada konsolidasi internal yang solid, dengan kelompok pengajian yang tersebar di banyak kampus yang dengan segera mudah digerakkan, mereka telah berakar dulu. Kelompok itu punya basis ikatan iman (agama) dan intelektual yang kuat. Di Katolik budaya itu, ”maaf” kurang terkonsolidasi. Sejatinya ada bagian kelompok Katolik yang mirip gejala PKS, yakni gerakan Karismatik Katolik. Namun, kelompok ini kurang bersentuhan langsung dengan diskusi sosial kemasyarakatan, akibatnya menjadi gejala gerakan ibadat tetapi sulit diarahkan menjadi kekuatan sosial-politik kayak PKS. Dan harus diakui para tokohnya kurang memiliki visi politik kesejahteraan bagi Indonesia.


Merintis Peran dan Gerak Cendekiawan


Menurut hemat saya, ini adalah wilayah dasar kita berpolitik. Bagaimanapun peran cendekiawan pada saat nanti bisa dibawa ke mana-mana. Bagi cendekiawan Katolik yang tetap independen, ia bisa menjadi pemikir konsep politik yang berguna bagi bangsa. Atau pula menjadi pengamat/peneliti politik yang disegani baik kawan maupun lawan mirip Josep Kristiadi, Ignatius Basis Susilo, Daniel Dhakidae, dan lain-lain.

Bagi cendekiawan yang tertarik pada wilayah politik, ia minimal menjadi jago kuat anggota parlemen atau orang terpandang di partai kayak Sonny Keraf atau Benny K Harman. Bagi Cendekiawan yang ingin terlibat dalam wilayah publik minimal ia menjadi sumber rujukan, kayak Antonius Ramlan Surbakti.

Berikut cuplikan tulisan saya tentang Meneropong Peran Intelektual Katolik, Majalah Warta Paragonz, Oktober 2005. Banyak intelektual Katolik yang turut berperan mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Namun demikian, Romo YB Mangunwijaya memberikan kritiknya, tidak sedikit pula hasil pendidikan Katolik yang tampil gagah sembari menindas rakyat kecil. Lebih spesifik, A Cahyo Suryanto, kini aktif di Universitas Surabaya dan di Pusdakota, pernah melontarkan kritik tajam dan pedas, ia menyatakan berdasarkan pengamatan dan pengalaman, tidak sedikit sarjana jebolan aktivis Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang tampil dalam dinamika masyarakat menindas orang lemah.

Bertitik tolak pada kritik dan praxis Mangunwijaya dan Cahyo Suryanto itu, bisa digambarkan bahwa intelektual Katolik sebagai dua sisi mata uang. Di satu sisi, ada intelektual Katolik bisa berperan dalam mencerahkan, mencerdaskan dan membebaskan rakyat. Sisi yang lain, ada intelektual Katolik menjadi penindas rakyat. Intelektual bisa dijadikan alat legitimasi pemerintah dan modal untuk mempertahankan kekuasaan dengan membodohkan rakyat.

Lalu, bagaimana menilai peran formal intelektual Katolik kini? Penulis membedakan menjadi empat peran intelektual Katolik berdasarkan kecenderungan, fokus peran dan garapan, tetapi klasifikasi ini tidak terpaku satu jenis klasifikasi. Ada beberapa intelektual Katolik yang tidak hanya berkiprah mengajar di kampus, kadang mereka terlibat dalam garapan bidang profesional ataupun menjadi penggerak LSM dan lain sebagainya. Seperti umumnya kehidupan umat Katolik lainnya, para intelektual Katolik itu pun berasal dari kalangan awam Katolik dan kaum klerus Katolik.

Pertama, peran mengembangkan ilmu pengetahuan. Area ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidangnya masing-masing. Mereka bekerja dalam sekolah atau universitas Katolik swasta dan negeri. Di Jawa Timur kita mengenal nama besar Pater Josef Glinka, SVD, I Basis Susilo, Edi Suhardono, Johan Silas, Armada Riyanto, CM, termasuk guru-guru di sekolah Katolik mulai dari TK, SD, SMP, SMU dan lain-lain.

Kedua peran profesional. Wilayah ini diisi intelektual Katolik yang banyak terlibat dalam praktik keprofesian tanpa meninggalkan basis keilmuannya dalam masyarakat. Model intelektual Katolik ini tersebar dalam berbagai macam profesi seperti wartawan, dokter dan lain sebagainya. Di Jawa Timur kita mengenal Errol Jonathans, Jangkung Karyantoro, Wolly Baktiono, dr Yudhayana, Max Margono, Anita Lie, dan lain-lain.

Ketiga, peran elitis dan politis. Di samping memainkan peran keilmuan, ada beberapa intelektual Katolik yang berupaya tampil ke publik sebagai pimpinan organisasi (elit) atau tampil dalam dunia politik praktis dalam mengembangkan masyarakat. Mereka tergerak membadankan teori-teori keilmuan dalam praksis kemasyarakatan. Dari Jawa Timur, kita mengenal Ramlan Surbakti, Anton Prijatno, Adrianus Harsono, YA Widodo dan lain-lain.

Keempat, peran kultural (populis). Di sini diisi intelektual Katolik selain aktif dalam kegiatan akademik juga langsung terlibat dalam gerakan-gerakan rakyat. Misalnya aktif dalam lembaga swadaya masyarakat (LSM). Mereka terlibat dalam praksis langsung kehidupan masyarakat. Pada umumnya, mereka terbiasa dengan diskursus teologi pembebasan (pemerdekaan) yang banyak dikembangkan di daratan Amerika Latin atau semangat Vincentius A Paulo pendiri CM yang terkenal dengan “Aku diutus untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin”.

Bagaimana orang muda Katolik (OMK) berperan seperti seniornya. Saya mulai mulai melihat kawan-kawan muda memulai gerakan cendekiwan tersebut. Di Jakarta sana ada Sebastian Salang, yang sering dimintai pendapat Kompas mengenai pandangan politiknya terkait parlementaria. Ada Boni Hargens yang mulai menunjukkan kekritisannya terhadap rezim SBY-Kalla. Ada juga Robert Endi Jaweng, yang saya amati sering menulis di Kompas terkait soal otonomi daerah. Ada juga Setyo Budiantoro, yang telaten dan peduli ekonomi-politik kaum bawah dan seterusnya. Sejatinya kawan-kawan perlu didorong dan disokong, bahu-membahu dalam gerakan mewujudkan kesejahteraan dengan semua orang yang berkehendak baik, baik itu Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Khonghucu, aliran kepercayaan dan lain-lain. Kawan-kawan muda perlu segera di sekolahkan lagi supaya secara keilmuan dan kemumpunian mendapat pengakuan dari publik, dengan demikian semakin mudah mendapat kepercayaan publik.

Kalau mau lebih jauh, dengan gerakan cendekiawan ini. Orang muda Katolik bisa merintis di banyak tempat kelompok-kolompok diskusi yang digabungkan dengan kelompok doa. Niscaya dalam hitungan tahun ke depan muncul kader yang secara rohani dan intelektual bisa dikatakan siap terjun dalam wilayah publik.

Sejatinya dengan kelompok itu kawan-kawan muda telah menciptakan kashun (kaderisasi setahunan-mungkin lebih) yang lebih mandiri, dan secara organisatoris bisa digerakkan seperti kasus kelompok pengajian usroh yang kelak menjadi sokoguru PKS. Ingat, PKS tidak mempunyai ikatan sejarah dengan parpol mandiri. PKS lahir karena konsolidasi kelompok pengajian, yang awalnya tidak demonstran, ketika menemukan momentum mereka berganti wujud menjadi salah satu lokomotif reformasi di tanah air. Karena kesiapan kader-kader mudanya berhasil merebut simpati masyarakat. (*)

Tidak ada komentar: