Rabu, 02 Juli 2008

Sidoarjo Perlu Pembangunan Ekologi

Oleh Kanisius Karyadi

Sidoarjo sebagai tetangga dan penyangga Kota Surabaya agaknya mulai meniru pola perkembangan Kota Surabaya yang mengarah pada pembangunan yang overdosis dan tidak memperhatikan kepentingan lingkungan hidup dan manusia. Salah satu contohnya, pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum di Jenggolo, Kabupaten Sidoarjo, diprotes warga RT 10 RW III Kelurahan Pucang, Kecamatan Sidoarjo, karena warga merasa tidak pernah diajak musyawarah terlebih dahulu. Warga khawatir akan berdampak negatif terhadap kehidupan mereka (Kompas, 13/7/2004).

Sidoarjo mempunyai potensi alam yang relatif lebih terjaga daripada Surabaya. Sidoarjo setidaknya perlu waspada terhadap perubahan sosial yang merambahnya. Bisa-bisa potensi alam Sidoarjo yang ibarat madu, perlahan namun pasti bisa rusak akibat perkembangan dan pembangunan. Mengingat saat ini Sidoarjo adalah daerah limpahan problem kepenatan mobilitas penduduk kota Surabaya.

Harus diakui bahwa Sidoarjo sebagai kabupaten terkaya di Jawa Timur, dan sebagai pusat baru perdagangan yang potensial. Hampir di semua wilayah Sidoarjo, berkembang sentra-sentra perdagangan yang mengandalkan kekuatan warga.

Boleh disebut, daerah Tanggulangin yang merupakan sentra kerajinan tas dan kulit. Daerah Wedoro sebagai sentra kerajinan sepatu dan sandal. Belum lagi sektor kelautan dan perikanan yang melimpah ruah di daerah-daerah pesisir Sidoarjo. Demikian pula daerah rumah toko (ruko) dan industri di Sidoarjo yang mulai bermunculan bak jamur di musim hujan. Ini adalah potensi yang luar biasa.

Dalam banyak hal perkembangan Sidoarjo membawa pengaruh positif, di antaranya tenaga kerja bisa terserap dalam perdagangan dan perindustriaan itu. Disamping itu, ada peluang usaha baru bagi tenaga-tenaga yang tidak diserap di sektor formal. Mereka tergerak dengan berwirausaha sendiri. Hal ini jelas mengurangi pengangguran yang ada di Sidoarjo.

Hal yang sungguh diwaspadai adalah ekses negatif dari pembangunan, yaitu berkurangnya ruang terbuka hijau (RTH). Hal ini bisa terjadi karena pada umumnya bidang perdagangan dan perindustrian rakus terhadap tanah yang dianggap mempunyai nilai strategis dan bisnis. Dengan ditandai eliminasi lahan hijau digantikan dengan tembok-tembok perumahan, ruko, dan pabrik-gudang.

Pembangunan itu juga mengurangi areal persawahan yang selama ini menjadi sumber lahan-pangan Sidoarjo. Dengan berkurangnya areal persawahan menjadikan produksi pangan di Sidoarjo akan tipis pula. Di samping itu ada efek banjir yang siap mengancam Sidoarjo, akibat berkurangnya lahan resapan karena digantikan dengan perumahan dan pabrik.

Hal ini akan diperberat oleh problem perumahan dan daerah industri di Surabaya yang gagal dieksekusi. Sidoarjo menjadi tempat limpahan Surabaya dalam pembangunan rumah, pabrik dan gudang baru. Hal ini berakibat pada ruang terbuka hijau di Sidoarjo semakin sempit. Efek daerah limpahan ini cukup berbahaya bagi masa depan lingkungan hidup dan manusia di Sidoarjo.

Hal yang perlu ditangkap secara dini agar pembangunan Sidoarjo tidak kebablasan adalah pertama, upaya semua pihak, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo, warga, lembaga swadaya masyarakat mengendalikan dan merencanakan pembangunan. Hal ini lebih membangun kesadaran kolektif di antara semua elemen masyarakat di Sidoarjo bahwa pola pembangunan tidak boleh serampangan, perlu memperhatikan kesehatan lingkungan dan kesehatan manusia.

Kedua, memasang target kota perdagangan yang bersahabat dengan manusia dan lingkungan hidup. Tidak bisa dihindari Sidoarjo akan menjadi kota perdagangan yang disegani, maka Sidoarjo perlu sekali menerapkan aturan-aturan yang memberikan kesempatan perkembangan lingkungan hidup berkembang selaras dengan perdagangan.

Ketiga, membatasi laju pemakaian tanah secara serampangan. Pemerintah kota perlu memetakan wilayahnya dengan konsisten untuk tetap membuka RTH bagi paru-paru Sidoarjo. Jangan sampai overdosis seperti Surabaya di mana RTH mulai habis digusur oleh padatnya permukiman dan perdagangan.

Keempat, menekan angka pertumbuhan penduduk Sidoarjo. Sebagai sebuah daerah yang berkembang pesat, tampaknya Sidoarjo perlu menimbang ulang pertumbuhan penduduknya agar tidak terjadi overpertumbuhan. Akibat-akibat logis di masa depan misal kebutuhan perumahan, pekerjaan dan lain-lain relatif bisa ditangani secara efektif, merata dan adil.

Pembangunan ekologi memang mutlak dilaksanakan di Sidoarjo, sebab ini adalah permulaaan menuju kota Sidoarjo yang hijau dan sehat bagi penghuninya. Sebab tanpa pembangunan ekologi yang berkelanjutan, niscaya dalam beberapa tahun ke depan Sidoarjo dipastikan menjadi kota ’’jahat” bagi lingkungan dan warganya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 29 Juli 2004

Tidak ada komentar: