Rabu, 02 Juli 2008

Ketika Uskup Surabaya Terpilih

Menjadi Bapak Bagi Ribuan Umat
oleh : Kanisius Karyadi, Karolmedia

Ketika penulis mampir ngombe di Jubileum, 3 April 2007 pukul 15.00, ada desas-desus berkibar pada Misa Krisma yang dimulai pukul 18.00 akan ada pengumuman Uskup Baru Surabaya. Antara percaya dan tidak, penulis terdiam, namun sempat terjadi percakapan dengan Dewa Made RS, mantan aktivis mahasiswa 1998 di Surabaya.

Ia memprediksi, pertama, jika Raden Kuncung-Kuncung - RKK - (nama disamarkan) ikut rombongan berarti Uskupnya “X”. Kedua, jika RKK tidak ikut rombongan berarti Uskupnya “Y”. Ketiga, jika RKK hadir tapi gelisah dan agak bimbang berarti Uskupnya “Z”. Apakah benar prediksi teman itu, coba tanyalah kepada rumput yang bergoyang, kilah teman yang masih bujang ini.

Semakin penasaran penulis memberanikan diri masuk Gereja Katedral. Sore itu pukul 18.00 WIB, 3 April 2007, lonceng Gereja Katedral Surabaya bertalu-talu; suara lagu berirama syahdu mengalun syahdu. Bak rombongan raja zaman bahaula, pengiring misdinar lengkap dengan salib dan dupa beriring menuju altar singgasana. Puluhan pasttor wilayah Keuskupan Surabaya bergerak maju. Suasana itu sungguh dramatis, itulah Misa Krisma siap dikumandangkan.

Dengan nakal, penulis memberi SMS kepada teman tadi, “RKK hadir, apa prediksimu.” Belum sempat ada jawaban dan belum berselang 12 menit dari pukul 18.00 WIB di jam handphone penulis, Duta Besar Vatican, Mgr Leopoldo Girelli maju ke mimbar memberikan sambutan kehormatan, “Saya tahu bahwa kalian merayakan Misa Krisma tanpa uskup Anda sendiri. Itulah sebabnya Mgr Sutrisnaatmaka dan uskup-uskup lain datang membantu Keuskupan Surabaya dalam tugas uskup sejak 2003 sampai sekarang. Karena itu, dalam kaitan ini, saya dengan gembira memberitakan kepada Anda bahwa Bapa Suci, Paus Benediktus XVI, telah menunjuk Romo Vincentius Sutikno Wisaksono dari keuskupan ini, sebagai Uskup Surabaya.”

Ia melanjutkan, “Saya juga senang mengatakan kepada Anda bahwa secara pribadi telah berbicara dengan Romo Wisaksono yang berada di Manila menyelesaikan dokloralnya. Dia, sesudah merenungkan dan berdoa dengan rendah hati kepada Tuhan, telah menerima penunjukan ini, menunjukkan keyakinannya dalam rahmat Allah dan ketaatannya sebagai putera kepada pengganti Santo Petrus Rasul.”

Penulis mencatat tepat pukul 18.16 WIB, sang Dubes menyebut nama Rm Vincentius Sutikno Wisaksono menjadi Uskup Surabaya. Tepuk tangan membahana masuk ruang-ruang Katedral. Sejak saat itulah sejarah Katolik kembali ditorehkan. Putera kelahiran Surabaya, 26 September 1953 mengisi jabatan Uskup Surabaya yang sudah lowong tiga tahun empat bulan ini.

Mia Aryono, adik kandung Romo Sutikno Wisaksono, Pr yang mengikuti Misa Krisma ini, merasa antara percaya dan tidak saat mendengar pengumuman Nuncio Dubes Vatikan tersebut. Selang beberapa menit ia menyadari bahwa benar kakaknya itu yang terpilih menjadi Uskup Surabaya.

Dengan demikian, silsilah terbaru sejarah kepemimpinan Gereja Katolik Surabaya menjadi seperti ini lengkapnya: dari Petinggi Prefektur Apostolik Surabaya, Vikariat Apostolik Surabaya hingga Keuskupan Surabaya:

1. Mgr. Th de Backere, CM (Prefek Apostolik Surabaya) 16 September 1928 - 24 Desember 1936. Meninggal di Veghel 4 Juli 1945 dimakamkan di Panningen.

2. Mgr. M. Verhoeks, CM (Prefek Apostolik Surabaya) 12 Maret 1937 - 11 Februari 1942.

3. Mgr. M. Verhoeks, CM (Vikaris Apostolik Surabaya) 8 Mei 1942 - 8 Mei 1952. Meninggal dunia 8 Mei 1952 di Surabaya.

4. Mgr. Johanes Klooster, CM (Vikaris Apostolik Surabaya) diangkat menjadi Vikaris 21 Februari 1953, tahbisan 1 Mei 1953 - 3 Januari 1961.

5. Mgr. Johanes Klooster, CM (Uskup Surabaya) 9 September 1961 - 16 Desember 1982. Meninggal dunia 30 Desember 1990 di Surabaya.

6. Mgr. A.J. Dibjakaryana, Pr (Uskup Surabaya) diangkat 2 April 1982, ditahbiskan menjadi Uskup 16 Desember 1982 - 15 Maret 1994.

7. Mgr. J. Hadiwikarta, Pr (Uskup Surabaya), pemberitahuan Pro Nuncio 5 April 1994. Pengumuman resmi 24 April 1994. Ditahbiskan menjadi Uskup 25 Juli 1994 - meninggal dunia 13 Desember 2003.

8. Rm. Julius Haryanto, CM (Administrator Keuskupan Surabaya) 19 Desember 2003 - 2007.

9. Mgr. Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr (Uskup Surabaya) diangkat 3 April 2007, ditahbiskan menjadi Uskup 29 Juni 2007 - sampai sekarang.

Segera setelah ada pengumuman, penulis mohon pamit tidak ikut misa dan menuju pos Gereja di Majapahit 38B. “Sudah tahu Uskup baru Surabaya?” tanya penulis kepada Pak Matius, Satpam Gereja HKY yang juga umat Paroki Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya ini. “Memangnya Uskup sudah terpilih? Lalu siapa?” Penulis menjawab, “Romo Vincentius Sutikno Wisaksono, Pr.”

Dengan nada takjub dan senyum lebar, wajahnya yang agak gelap berbinar-binar ingat kebaikan hati sang pastor. Matius menuturkan walaupun Rm Tikno itu Tionghoa, namun ia tidak membedabedakan orang. Matius yang berkulit gelap dan asli tanah Flores mengaku sering disapa dan bercengkrama dengan Romo Tikno. Menurutnya, ini pengalaman yang jarang ia alami ketika bersama kolega pastor yang lain. Rm Tikno adalah sosok yang supel dan grapyak, kenangnya.

Matius mempunyai kenangan dengan Rm Tikno, ia mengaku dirinya adalah orang yang menguruskan SIM A dan C milik Rm Tikno. Saat SIM sudah jadi, Matius menolak uang pemberian Rm Tikno dengan alasan ia sudah dapat dari gereja. Tak disangka, Rm Tikno terus mendesak agar uang itu diterima. Rm Tikno mengatakan, “Ya sudah, ini bukan untuk kamu, tapi untuk anakmu.” Akhirnya Matius menerima uang itu. Memori itu terus mengiang-iang dalam ingatan Pak Matius.

Walaupun masa balitanya lambat bicara, ternyata Romo Tik rajin dan pintar di SD Santo Mikael (1960-1966). Sewaktu SMP Angelus Custos (1967-1970) pada pertemuan dengan orangtua dan guru, Fr Remigius kepala sekolah waktu itu mengatakan kepada ibunya (maminya) Tik, “Anakmu benar-benar cerdas, kalau bisa diarahkan jadi gembala.” Demikian cerita Ursula Madijanti (ibunda Romo Tik) yang kelahiran 1 Juni 1923 ini kepada penulis.

Sewaktu Sutikno ditahbiskan jadi pastor di Katedral 21 Januari 1982, karena tidak terbiasa berbicara di muka umum, sang mami Romo Tik ini sangat bingung dan tegang; ia masih ingat hanya bisa bicara / pesan ke Tikno, “Agar meneruskan panggilan yang baik itu, Tuhan memberkati jalanrnu.”

“Seumur hidup belum pernah pegang mik kok langsung disuruh biicara di muka umum, rasanya dak dik duk der ... kikuk dan perasaan lain bercampur senang dan haru semuanya menjadi satu,” lanjut ibu tiga anak yang sempat punya cita-cita jadi penulis ini.

Waktu Tikno masuk seminari, bagi ibunda Tik terus terang jauh dari anak rasanya berat sekali, apalagi Tik adalah anak kesayangan. Tapi Pak Wisaksono, ayah Tikno selalu mengingatkan, “Tidak usah berat hati, jalan Tuhan yang terbaik.”

Omong-omong apakah Romo Tik yang ceria itu bisa bersedih hati apalagi sampai menangis? Ibu Ursula Madijanti yang berasal dari Desa Tempeh, Lumajang yang menikah 30 April 1950 di Surabaya ini mengungkapkan, “Seumur-umur Romo Tik benar-benar bersedih dan menangis saat ayahnya Pak Widiatmo Wisaksono meninggal dunia 12 Nopember 1996. Sehari sebelumnya, Romo Tik besuk papinya sambil membawakan bantal air, kemudian ia langsung tugas pastoral lagi.”

Perkataan Romo Tik yang masih direkam maminya ketika papinya meninggal, “Saya tidak bisa beri nafkah, karena pilih jalan Tuhan. Semoga papi selalu dapat cahaya terang Tuhan,” katanya sambil sesunggukan berlinang airmata karena cintanya pada orangtuanya tersebut. Ketika terpilih menjadi Uskup Surabaya 3 April 2007, sepulang dari Manila, pada tanggal 23 April 2007 pukul 09.30 WIB bersama mami dan keluarga lain, Romo Tik mengunjungi dan ziarah makam papi tercinta di pemakaman Kembang Kuning (B 756) Surabaya. Sebab tanpa dukungan moril dan material secara tulus dari sang papi ketika masih hidup, tidak mungkin ia bisa menjadi Gembala seperti sekarang.

Sementara itu di penjuru bumi yang lain, “Saya percaya Uskup terpilih Rm Vinsentius Sutikno Wisaksono, Pr mampu memimpin Keuskupan Surabaya dengan baik,” terang Drs. I Basis Susilo, MA Dekan Fisip Unair Surabaya membuka pembicaraan dengan penulis.

Menurutnya, ada tiga agenda penting yang perlu ditindaklanjuti. Pertama, perlunya membangun dan memelihara hubungan yang baik dengan kelompok dan agama lain dalam masyarakat. Mengingat masyarakat Surabaya-Jatim sungguh dinamis.

Kedua, Gereja Katolik tidak boleh larut dalam kecenderungan duniawi. Gereja perlu bersikap pada globalisasi dan kapitalisme. Tidak menolak kehadiran globalisasi, sekaligus menerima secara kritis globalisasi. Dari situ menghasilkan globalisasi pengharapan seperti yang dengungkan Yohanes Paulus II. Hal ini demi meningkatkan dan mendorong orang akan harapan / optimisme.

Ketiga, Gereja Katolik tidak terjebak dalam kecenderungan formalisme agama, di samping itu perlunya meningkatkan religiositas iman. Hendaknya ada pendalaman yang baik, sehingga ada kegiatan yang nyata / real dalam kehidupan. Ia tidak menolak devosi karena itu baik, akan lebih ada keseimbangan dengan perbuatan yang nyata (membumi).

Di dalam benak Agustinus Heru Siswoyo (34) umat Paroki Santa Maria Annuntiata Sidoarjo, ia mengharapkan uskup baru mampu menjadi bapak bagi ribuan umat. Jangan sampai pengalaman surat domba terulang lagi. Harapannya bisa melayani, mengayomi, membimbing umatnya terutama di bidang pendidikan yang kian pupus ini.

Khusus pembinaan kaum muda perlu digenjot karena ini aset gereja dan bangsa. Selama ini bisa dikatakan diabaikan, tak terurus, kalau ada perhatian itu hanya kegiatan seremonial. Selain itu kehidupan sosial di kota besar semakin konsumerisme dan hedonisme. Gereja punya tugas melindungi, mengarahkan, memberikan jalan supaya generasi muda tidak tersesat dan terjebak pada persoalan rumit dan bahaya. Perlu juga diperhatikan nasib pendidikan dasar menengah perlu ditingkatkan kualitasnya. Harapan dengan membaiknya kualitas dan prestasi, banyak generasi muda yang berperan bagi kehidupan masyarakat.

Melihat begitu kompleks dan ragam permintaan dan penawaran umat / masyarakat baik menyangkut persoalan hidup, hubungan kemanusiaan, lingkungan, baik dari soal perburuhan, gaji guru, pembinaan calon pastor, kaum muda, peran dalam masyarakat, persoalan liturgis, moral dan lain sebagainya, kita mendoakan Romo Sutikno agar tetap tegar dan ceria, tidak lupa diri.

Kita masih mencatat surat cinta Romo Tik yang dibacakan Romo Haryanto, CM pada akhir Misa Krisma itu, semoga tetap menjadi spiritnya, “Saya menerima penugasan ini dengan sadar akan kelemahan dan ketidakpantasan saya. Saya menerima penugasan ini hanya bermodal mengasihi Dia dan GerejaNya. `Tuhan, Engkau mengetahui segala sesuatu, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau ... Gembalakanlah domba-domba-Ku ….' (Yoh 21:17). Saya percaya, saya tidak sendirian mengasihi Dia, karena banyak orang dengan berbagai cara dan kehendak baik membangun Keuskupan Surabaya yang tercinta untuk berakar dalam kasih-Nya.”

Aku masih seperti yang dulu
menunggumu sampai akhir hidupku.
Kesetiaanku tak luntur hati pun rela berkorban
demi keutuhan kau dan aku ….

Semoga lagu Dian Piesesha ini selalu mengingatkan.

Sumber : Jubileum Edisi 86 Tahun VIII Mei 2007

Tidak ada komentar: