Rabu, 02 Juli 2008

Masih Soal Sekkota Surabaya, Ada Kepentingan Apa di Balik PAK?

Oleh Kanisius Karyadi

Pimpinan DPRD Surabaya Armudji akhirnya menemui Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, menyusul meruncingnya hubungan antara Pemkot Surabaya dan DPRD Surabaya. Memanasnya Hubungan kedua lembaga tersebut terkait dengan permasalahan pembahasan rancangan Perubahan Anggaran Keuangan (PAK) yang berbuntut pada sorotan tajam terhadap kinerja Sekretaris Kota Surabaya Alisjahbana (Kompas Edisi Jatim, 11/9).

Pihak eksekutif dan legislatif sama-sama ngotot dengan pendirian masing-masing. Pihak eksekutif diwakili tim anggaran merasa sudah menjadi haknya untuk menyusun PAK, namun di sisi yang lain pihak DPRD Kota Surabaya tidak puas karena merasa tidak diikutsertakan dalam proses pembuatan PAK tersebut. Konflik klasik ini berbuntut isu pemecatan Alisjahbana, Sekretaris Kota (Sekkota) Surabaya.

Konflik mutakhir antara eksekutif dan legislatif di Kota Surabaya ini setidaknya melahirkan dua pertanyaan mendasar untuk dikemukakan terkait hubungan kedua lembaga. Pertama, apa ’’kesalahan” dan ’’pelanggaran” fatal yang telah dilakukan Alisjahbana dalam menjalankan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya sebagai Sekkota?

Ketika DPRD Kota Surabaya melontarkan ancaman pemecatan Sekkota Surabaya, DPRD Kota Surabaya perlu memaparkan berbagai bentuk kesalahan dan kegagalan yang telah dilakukan Alisjahbana secara transparan kepada publik Surabaya, mengenai berbagai penyimpangan dalam PAK atau sisi lain yang dirasa akan atau sudah merugikan keuangan negara dan menyengsarakan rakyat.

Selama ini belum ada data penting dan sahih tentang kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan Sekkota Surabaya ini. DPRD Kota Surabaya tidak boleh sekedar ’’mencari-cari” kesalahan dari Alisjahbana karena hal itu akan menunjukkan tingkah bobrok dan rakus dari anggota DPRD Kota Surabaya. Jika tidak ditemukan data yang benar, nyata, dan dapat dipertanggungjawabkan tentang keganjilan pekerjaan Alisjahbana, sebaiknya DPRD Kota Surabaya tidak membuat isu macam-macam karenanya nantinya mengancam legitimasinya sendiri sebagai lembaga wakil rakyat.

Pertanyaan kedua, ada kepentingan apa di balik PAK Kota Surabaya itu sehingga perseteruan itu berujung pada keinginan untuk melengserkan Alisjahbana? Meski pertanyaan tersebut belum ada jawaban yang pasti, penulis memperkirakan ada tiga kemungkinan mengapa DPRD Kota Surabaya sangat bersemangat untuk melengserkan Alisjahbana.

Kemungkinan pertama, memburuknya kinerja (prestasi) Sekkota Surabaya. Alasan ini sering dilontarkan anggota DPRD untuk menilai perlunya diadakan pemecatan terhadap Alisjahbana. Akan tetapi hingga sekarang DPRD kota Surabaya belum memberikan klarifikasi atas kegagalan Alisjahbana dalam menjalankan tugasnya sebagai Sekkota. Dalam hal ini, DPRD Kota Surabaya terkesan buru-buru, subjektif, dan lebih mengedepankan unsur suka atau tidak suka. Padahal di tempat kerja sebelumnya di Kota Batu, Alisjahbana dianggap mempunyai prestasi besar dalam mengembangkan Kota Batu.

Kemungkinan kedua, perebutan posisi Sekkota yang dianggap sebagai jabatan prestisius dan strategis di Kota Surabaya. Kemungkinan ini bisa terjadi mengingat dari sejarah penentuan awal Alisjahbana sebagai Sekkota Surabaya, sudah menimbulkan polemik di kalangan internal Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya atau di kalangan anggota DPRD Kota Surabaya. Pada dasarnya riak-riak ketidaksukaan terhadap Alisjahbana sudah mengalir sejak dia mengawali jabatannya sebagai Sekkota Surabaya.

Harus diakui jabatan Sekkota Surabaya banyak diincar orang, sehingga sangat mungkin muncul keinginan pihak-pihak tertentu dengan jabatan prestisius tersebut. Nah, dengan mendongkel Alisjahbana dari jabatannya, diharapkan oleh orang-orang yang berkepentingan akan ada kekosongan jabatan Sekkota. Dengan demikian memungkinkan pihak-pihak tertentu untuk menggantikannya sehingga segala bentuk akses atau fasilitas bisa diraih dan dinikmati.

Kemungkinan ketiga, perebutan ”lahan basah” dalam proyek-proyek di Kota Surabaya yang tercantum dalam PAK Kota Surabaya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di balik semua fenomena politik atas jargon ”mensejahterakan rakyat” di Kota Surabaya, dipastikan ada perebutan lahan-lahan basah yang menguntungkan pihak-pihak tertentu. Kemungkinan ini sangat besar karena ada kecenderungan arah politik di Jatim seperti itu, yaitu mengelembungkan perut pribadi, kelompok, namun mengabaikan kepentingan rakyat kecil (wong cilik).

Perseteruan DPRD Kota Surabaya dengan Pemkot Surabaya sudah mengarah pada konflik personal dengan muatan politis yang sangat tinggi. Konflik ini tidak ada faedahnya untuk kepentingan umum. Akan tetapi, mencari solusi damai atas masalah tersebut juga agak sulit dilakukan.

Komunikasi yang agak terputus antara eksekutif dan legislatif, sebaiknya dibangun atas dasar ”ketulusan” karena itu adalah pintu masuk menuju keharmonisan kerja. Tanpa itu, pihak eksekutif dan legislatif sama-sama buta, pincang bahkan mungkin lumpuh dalam mengemban amanat suci pemerintahan yang baik di Kota Surabaya. Jangan lagi kepentingan rakyat kecil terabaikan daan terpinggirkan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 15 September 2003

Tidak ada komentar: