Rabu, 02 Juli 2008

Ketika PKL Membanjiri Surabaya

Oleh Kanisius Karyadi




Pedagang kaki lima (PKL) telah membanjiri Surabaya. Keberadaannya kontroversial di antara dua sumbu. Pertama, sumbu langkanya pekerjaan yang berefek kemiskinan. Kedua, sumbu kebijakan pemerintah tentang penertiban wilayah kota. PKL adalah geliat ekonomi kecil tradisional yang muncul atas dinamikanya sendiri. Keberadaannya untuk mengangkat derajat ekonomi, dari tidak berpenghasilan menjadi berpenghasilan. PKL juga simbol usaha mandiri, untuk keluar dari cap tak berdaya menuju kesejahteraan.

Ketika PKL menjamuri Kota Surabaya, sebenarnya ada hal positif yang perlu diperbincangkan, yakni semangat kewirausahaan. Sepertinya, PKL telah mengajari kita semua warga Surabaya untuk berwirausaha. Dulu pernah berkembang wacana ekonomi kerakyatan. Sebenarnya ini adalah model kecil praktis ekonomi itu. Tanpa harus melalui teori atau pelatihan atau apa pun namanya. Tetapi mereka langsung berguru pada pengalaman.

Semangat kewirausahaan PKL inilah sebenarnya modal dasar pengembangan Surabaya. Semangat ini adalah modal dasar bagi warga kota untuk berkenalan dengan dunia industri. Tidak bisa disangkal PKL ini mendorong laju usaha warga untuk sejahtera. Banyak di antara PKL itu dulu tidak bisa berdagang, tetapi karena ada dorongan dari lingkungannya, terlebih dampak krisis Indonesia tahun 1997, terpaksa belajar untuk berwirausaha. Keberadaannya sebenarnya mendukung industri secara makro. PKL menjadi tempat pengecer barang-barang yang diproduksi industri besar atau lainnya.

Sudut-sudut kota, jalan-jalan strategis Surabaya, contoh Jalan Tunjungan, kini disesaki kaum PKL. Keberadaannya yang kontroversial ini kembali mencuat ke permukaan, ketika muncul wacana "keindahan kota". Adakah yang salah dari PKL ini? Pertanyaan ini mengundang apresiasi untuk berpikir kembali tentang PKL. Pertanyaan ini dilontarkan segera, karena ada usaha-usaha Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, untuk menertibkan atau menggusur mereka.

Semudah itukah usaha menertibkan itu? Tentu jawabannya tidak. Jumlah PKL sudah besar, sehingga kalau ditertibkan, pasti muncul gejolak yang tidak remeh.

Ini menyangkut hidup orang banyak, yang diatur dalam UUD 1945. Lalu bagaimana solusi penyelesaiannya? Yang jelas kita harus menghargai kehadiran PKL. Karena merekalah sumber inspirasi praktis kewirausahaan bagi warga kota. Di sisi yang lain, juga perlu memikirkan ketertiban umum yang lain. Misal, kaum PKL dianggap biang kemacetan kota dan memperkumuh wajah kota. Alasan terakhir ini memang bisa diterima.

Ini adalah bahan pemikiran bersama. Pertama, Pemkot Surabaya memberikan fasilitas kepada industri-industri besar di kawasan Rungkut atau kawasan Margomulyo Surabaya. Kedua, kasus tentang PKL yang belum ada kejelasan dan ketegasan mengenai tempat. Ini nanti bisa dianggap pilih kasih dalam kebijakan Pemkot. Alternatif yang paling memungkinkan adalah pemindahan PKL ke tempat yang relatif strategis, sekaligus tidak mengganggu lalu lintas dan keindahan.

Alternatif lain, yaitu "sentra PKL Surabaya". Sentra PKL Surabaya adalah wilayah basis pengembangan kewirausahawan PKL. Tempat konkretnya, Pemkot mengecek segala asetnya yang kiranya kosong untuk wilayah Sentra PKL Surabaya. Jadi ada tempat khusus yang dikelola secara baik. Demi kepentingan PKL dan Pemkot Surabaya sendiri. Tentu harus ada kontrol ketat, utamanya tata kota dan masalah lingkungannya. Karena sudah menjadi ciri umum yang buruk, ketika ada tempat usaha mesti kumuh dan menelantarkan lingkungan. Dengan demikian prinsip win-win solution menjadi kunci pemecahan kasus menjamurnya PKL di Surabaya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 19 September 2001

Tidak ada komentar: