Rabu, 02 Juli 2008

Menanti Pilgub Jatim yang Jujur

Oleh Kanisius Karyadi


Duel perebutan kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur memasuki babak ”panas”. Masing-masing kubu mengeluarkan jurus-jurus maut dan mematikan. Bagai sebuah perang, kedua kubu melakukan perang urat syaraf untuk menjatuhkan mental lawan sebelum bertanding. Baik kubu Imam-Soenarjo yang didukung F-PDIP, maupun kubu Abdul Kahfi-Ridwan yang didukung F-KB dan F-PG berupaya tampil prima dengan berbagai jargon, taktik dan strateginya.

Senjata yang berbau ”akademik” dengan pemaparan visi, misi dan program yang bertujuan mencari dukungan dan simpati rakyat Jatim sudah diluncurkan. Kini senjata negatif sudah mulai ditembakkan. Hal ini untuk menghancurkan benteng pertahanan lawan. Senjata itu berupa pemunculan isu-isu negatif yang berembus di arena kompetisi. Satu di antaranya, aroma politik uang dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim tercium menyengat di antara anggota DPRD Jatim (Kompas, 2/7/2003).

Menilik budaya politik Jatim, secara umum ”isu politik uang” itu sudah merebak di semua lini lembaga yang ada di Jatim. Hal itu menjadi pakem budaya politik Jatim. Coba bandingkan pengalaman-pengalaman masa Orde Baru, pemilihan kepala desa penuh dengan iming-iming uang dan kedudukan.

Secara lebih tegas, pengalaman ini pernah diungkapkan Drs Krernayana Yahya MSc, dalam suatu diskusi ”Prospek Perekonomian Surabaya” di Universitas Widya Kartika Surabaya (2000). Dia mengaku pernah ditawari ”makelar politik” menjadi calon Wali Kota Surabaya. Untuk ”uang jasa” itu, dia dimintai uang ratusan juta rupiah. Ini sebagai bentuk politik uang dalam kasus versi yang lain.

Dalam kasus pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, sampai sekarang belum terdapat bukti konkret tentang adanya politik uang itu. Namun ada dua dugaan kuat pemunculan isu politik uang itu. Pertama, politik uang adalah benar menjadi realitas politik dalam proses pemilihan itu.

Dalam hal ini, kubu Imam-Soenarjo (F-PDIP) perlu membuktikan dengan data dan bukti-bukti otentik yang tingkat validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, tentang upaya-upaya penggembosan anggota fraksinya oleh kubu Kahfi-Ridwan (F-KB dan F-PG).

Ketika kubu Imam-Soenarjo (F-PDIP) berhasil membuktikan politik uang tersebut, maka semakin kuat posisi Imam dan Soenarjo dalam menapaki kursi nomor satu dan nomor dua di Jatim. Tanpa itu, masyarakat tidak akan percaya dengan berita itu. Pemunculan isu itu akan menjadi isapan jempol belaka dan menjadi blunder bagi F-PDIP.

Kedua, politik uang sebagai sekedar gerakan menjatuhkan nama baik di hadapan publik Jatim. Pertarungan isu politik uang dalam proses pemilihan ini menjadi komoditas dalam menjatuhkan lawan. Permainan ini adalah upaya untuk menggalang opini publik. Isu politik uang yang dianggap murahan oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Edy Wahyudi (Kompas, 2/7/2003), bisa jadi benar-benar murahan bila tidak terbukti. Kemungkinan besar, isu ini disengaja dilontarkan untuk memprovokasi masyarakat Jatim yang kadangkala percaya dengan elite politik tanpa pertimbangan data, bukti dan fakta (kebenaran).

Sejatinya, isu politik uang dalam proses politik ini patut dicermati secara dini, sebab masalah ini akan menunjukkan jujur atau tidaknya proses pemilihan gubernur dan wakilnya. Jika benar isu politik uang itu yang berkembang di kalangan anggota DPRD Jatim, maka semakin mengukuhkan bahwa ”politik itu kotor”. Paradigma lama ini menjadi pedoman bagi semua politisi dan kadernya bila ingin mencapai tujuan-tujuan politiknya.

Ada tidaknya politik uang menjelang proses pemilihan Gubernur Jatim, hanya anggota-anggota DPRD Jatim yang mengetahui. Dalam sistem politik seperti sekarang, dalam memilih Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim, rakyat hanya bisa menunggu ngaplo, menyaksikan tingkah-langkah anggota DPRD Jatim.

Mestinya dalam paradigma baru, aktivitas politik itu bersih dan jujur dan mengedepankan hukum serta kesejahteraan rakyat. Ajang kompetisi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jatim sejatinya harus jujur, sebab dari proses ini akan tercermin budaya politik Jatim. Seandainya pada level pimpinan puncak di Jatim rentan terhadap politik uang, bagaimana dengan level-level di bawahnya.

Pemilihan Gubernur Jatim sebenarnya merupakan momentum politik yang penting bagi masyarakat Jatim kalau saja proses politik tersebut bisa membangun budaya politik yang jujur dan bersih. Dengan menepis praktik politik uang di arena pertandingan, niscaya ini adalah periode sejarah baru perpolitikan Jatim.

Kompas Edisi Jawa Timur, 4 Juli 2003

Tidak ada komentar: