Rabu, 02 Juli 2008

Kereta Api, Riwayatmu Kini

Oleh Kanisius Karyadi


Kebooran pendapatan PT Kereta Api dari tiket masih marak terjadi. Bahkan, kerugian diperkirakan mencapai Rp 33,5 miliar per tahun. Kasus itu merupakan akibat dari ketidakseriusan manajemen perusahaan tersebut dalam memerangi penumpang ilegal dan membersihkan stasiun dari penumpang yang tidak bertiket (Kompas, 24/10/2005).

Gambaran itu sebenarnya menunjukkan betapa kondisi perkeretaapian di Indonesia kurang menggembirakan. Apabila dicermati, ada dua kondisi yang turut menyumbang kebocoran dana, yaitu manajemen sekaligus perangkat PT Kereta Api dan masyarakat pengguna jasa kereta api.

Kondisi ini menunjukkan tingkat kedisiplinan dari sebagian masyarakat yang makin luntur saja. Temuan di atas hendak mengatakan bahwa gejala tidak menaati peraturan kian menggila, baik dari sebagian birokrat perkeretaapian maupun masyarakat pengguna jasa kereta api.

Selain itu, kebocoran yang terjadi pada areal perkeretaapian sedikit meminggirkan etos kejujuran. Betapa sebagian pejabat perkeretaapian dan sebagian masyarakat konsumen sangat pragmatis, asal ambil untung namun menghindari konsekuensi turunannya.

Lalu apa yang sebenarnya terjadi pada perkeretaapian di Jawa Timur (Jatim)? Dalam praktik lapangan dapat ditemukan beberapa poin penting yang memungkinkan terjadinya kebocoran mencolok “di kelas ekonomi” pada jasa transportasi massal di Jatim ini.

Pertama, maraknya oknum pegawai PT Kereta Api berebut lahan kursi sebagai omprengan pribadi. Dalam praktik lapangan, dapat kita lihat oknum pegawai yang menawarkan kursi kepada calon penumpang dengan sejumlah imbalan yang masuk kantong pribadi. Memang, selain kursi yang ditawarkan di loket, ternyata ada jatah kursi yang dikosongkan untuk kepentingan pendapatan pribadi oknum pegawai.

Kedua, atas nama atau catut nama keluarga pegawai PT Kereta Api, naik kereta api bisa separuh harga atau gratis. Tanpa disadari, praktik ini banyak dijumpai di lapangan. Dengan memegang kartu atau menyebut nama seorang pegawai/pejabat PT Kereta Api ketika ada pemeriksaan tiket, penumpang bersangkutan lolos sensor dan diperkenankan naik kereta api hingga tujuan akhir.

Ketiga, menerima pembayaran tiket di dalam kereta api secara ilegal walaupun tempat duduk telah habis. Hal ini jelas dibuktikan dengan banyaknya oknum pemeriksa tiket yang dengan senang hati menerima uang bayar di atas. Besarnya nilai uang itu jauh di bawah harga tiket standar tujuan. Uang itu tidak lari ke kantong perusahaan, namun menguap di tangan sebagian pegawai PT kereta Api.

Ketiga pokok kemungkinan kebocoran tiket tersebut bisa langsung kita lihat dan rasakan ketika ada di lapangan. Tanpa bermaksud menuduh dan menyudutkan, ada yang patut diperhatikan terhadap praktik internal yang tidak langsung berhubungan dengan konsumen/penumpang. Hal ini adalah potensi keempat, penciutan tiket terjual sehingga data berbeda dengan jumlah realita penumpang. Biasanya kemungkinan atau potensi penyimpangan ini sulit dibuktikan karena tidak terlihat kasat mata publik/konsumen karena tertutup birokrasi PT Kereta Api. Namun, itu bisa saja terjadi.

Lalu bagaimana memperbaiki kinerja perkeretaapian kita? Tentu hal itu memerlukan konsistensi manajemen untuk berani menertibkan sumber-sumber kebocoran tersebut. Pilihan untuk menertibkan dan mendisiplinkan PT Kereta Api perlu dicanangkan agar tidak sampai tahap yang benar-benar kolaps dan hancur. Selain menertibkan dan menindak internal PT Kereta Api, penerangan yang baik kepada konsumen perkeretapian diberikan agar mau tunduk terhadap peraturan yang berlaku.

Kompas Edisi Jatim, 14 Nopember 2005

Tidak ada komentar: