Rabu, 02 Juli 2008

Mengubah Diri

Oleh Kanisius Karyadi

Sufi Bayazid adalah pemuda revolusioner, demikian dikisahkan Antony de Mello SJ dalam karya buku Burung Berkicau. Dalam setiap doa, Sufi selalu memohon kekuatan kepada Tuhan, agar ia dapat "mengubah dunia" seturut cita-citanya.

Dalam perjalanan waktu, sang Sufi merasa tidak mampu mengubah dunia sesuai cita-citanya. Maka diubah komitmen dan doa permohonan kepada Tuhan, agar ia diberi kekuatan untuk bisa mengubah masyarakat di lingkungannya.

la berjuang bak era mahasiswa proreformasi Indonesia tahun 1998 yang progresif-revolusioner. Tetapi mau bilang apa, ternyata sampai umur tua, Sufi juga belum mampu mengubah masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Sufi kembali bersembah sujud kepada Tuhan, agar diberi kekuatan untuk mampu mengubah orang-orang dekat, saudara-saudara, atau handai taulannya agar sesuai dengan cita-citanya.

Sakratul maut telah siap menjemput Sufi Bayazid. la bergumam dalam hati sanubari. Betapa bodoh dirinya, ketika bercita-cita mengubah dunia, masyarakat, orang dekat, dan semua itu sekarang tidak berubah sama sekali. Mengapa tidak pernah terbayang untuk mau mengubah diri sendiri.

Sependapat dengan Sufi Bayazid saat mendekati ajalnya, Steven R Covey sedikitnya telah memberikan pelajaran dini yang bermanfaat bagi kita semua. Umumnya terhadap proses reformasi Indonesia yang bingung, dalam bukunya Tujuh Kebiasaan Manusia yang Sangat Efektif yang laris di pasar.

Covey memberikan inspirasi perubahan paradigma. Tawarannya, perubahan itu dimulai dari dalam ke luar, bukan dari luar ke dalam. Dalam bahasa Covey, setiap orang perlu mengubah dirinya sendiri melalui kebiasaan hidup yang efektif, sebelum mengubah yang lainnya, orang dekat, masyarakat, bahkan dunia. Dengan konsep memperbesar lingkaran pengaruh, maka diyakini semua bisa berubah.

Ada pengalaman menarik, yang sedikit bisa mewakili kegamangan kita dalam reformasi. Saat ramai demonstrasi seputar reformasi tahun 1998, para tokoh mahasiswa kelompok Cipayung Surabaya sering mengadakan pertemuan untuk larut membahas reformasi.

Ternyata, setiap kali pertemuan dipastikan jam karet alias molor minimal tiga jam. Ada seorang teman nyeletuk, bagaimana kita mau reformasi bangsa jika kita sendiri tidak pernah mereformasi diri. Buktinya kita sering pakai jam karet dan tidak konsisten. Reformasi yang bejalan sekarang dinilai berbagai kalangan telah kebablasan. Lagipula, banyak pihak yang telah memanfaatkan wacana reformasi sekadar sebagai gincu pemanis mulut.

Banyak anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhormat bersembunyi di ketiak reformasi. Banyak aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), menilep dana-dana liar dari luar negeri, tanpa program pengentasan kemiskinan yang konkret. Banyak di antara kita berteriak-teriak menegakkan hak asasi manusia, namun di rumah menindas pembantu rumah tangga.

Jangan sampai reformasi yang telah kita canangkan menjadi reformasi "cap gombal" atawa janji-janji belaka. Reformasi diri layak dilakukan daripada bicara reformasi bangsa tanpa jelas juntrungannya.

Kompas Edisi Jawa Timur, 16 Januari 2002

Tidak ada komentar: