Rabu, 02 Juli 2008

Pukulan Ganda bagi Demokratisasi di Kampus

Oleh Kanisius Karyadi



Suatu ironi dalam perguruan tinggi, bahwa demokratisasi internalnya berjalan terseok-seok dan alot. Perguruan tinggi di awal reformasi, dianggap pintu awal dan gerbong demokrasi di Indonesia. Ternyata dalam praktik keseharian jauh dari suasana demokrasi. Contoh kasus, baru-baru ini ada pemilihan Rektor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Rektor terpilih, Prof Puruhito, dinyatakan batal. Demi alasan instruksi tangan-tangan tersembunyi. Demikian pula dalam kasus serupa di perguruan tinggi lainnya.

Ini adalah pukulan ganda bagi pelaksanaan demokrasi di perguruan tinggi. Pukulan pertama adalah tidak siapnya perangkat pengaman demokrasi di perguruan tinggi. Ini bisa dilihat dari belum rapinya manajemen demokrasi di perguruan tinggi. Mekanisme-mekanisme masih terlalu sulit diterapkan. Karena berbagai pandangan feodalistik kampus. Belum terbiasanya melakukan aktivitas pakem yang relatif baru. Misalnya, adanya partisipatif mahasiswa atau dosen dalam pengambilan kebijakan kampus. Ini termasuk model baru. Pandangan feodalistik masih berpegangan, pengambilan keputusan adalah puncak-puncak pimpinan saja. Dosen, mahasiwa itu mengikut saja.

Pukulan kedua adalah masih kuatnya intervensi berkepentingan yang menandakan kuatnya sentralisme pengambilan kebijakan. Maksud dan tujuan intervensi ini adalah supaya kebijakan-kebijakan lokal kampus mudah dikendalikan. Ini cukup berbahaya bagi kehidupan perguruan tinggi. Sebab dunia perguruan tinggi yang ilmiah itu harus serta merta menerima pelecehan kepentingan.

Pukulan ganda bagi demokratisasi di perguruan tinggi ini membawa akibat yang buruk bagi perkembangan instansi bersangkutan. Pertama, budaya sektarian yang kental. Tampak terjadi dikotomi antarpersonel kampus, sehingga satu dengan yang lain membentuk "gang". Ini berbahaya, sebab politisasi kampus yang sempit bakal terjadi. Kedua, praktik dagang sapi. Dengan demokrasi yang tidak berjalan dengan lancar. Maka sudah dapat dipastikan, siapa yang menang lewat intervensi, akan bagi-bagi kue kedudukan. Usaha-usaha ini tidak jujur dan tidak adil. Inilah sikap-sikap antidemokrasi yang berkembang di kampus. Pada akhirnya, kampus hanya menjadi tempat polarisasi kepentingan.

Ketiga, kompetisi tidak sehat. Dengan penentuan keputusan yang serba intervensi dan tidak berlangsungnya proses demokrasi di kampus. Menyebabkan macetnya saluran kompetisi di kampus. Hanya kelompok "gang" tertentu, yang dominan menduduki pos-pos hasil intervensi yang tersaring. Di luar itu adalah mustahil.

Keempat, perjuangan demokrasi menjadi hipokrit. Dengan semakin gencarnya isu demokrasi. Dan pada akhirnya demokrasi menjadi barang langka. Sebab, dalam pelaksanaannya adalah nol besar di kampus. Sehingga, perjuangan itu sendiri mengalami titik nadir matinya demokrasi kampus. Karena otomatis kedua pukulan ganda itu meluluhlantakan perjuangan demokrasi yang diperjuangkan oleh perguruan tinggi sendiri.

Kelima, memberangus kebebasan. Secara otomatis segala aktivitas kebebasan mimbar akan terbatasi. Karena ada aturan antidemokrasi yang telah terfondasi dalam kampus, yakni mekanisme yang tidak mengenal demokrasi sampai tata laku kepentingan yang sulit dibendung. Ini artinya kebebasan di kampus akan menjadi utopis.

Dunia perguruan tinggi yang ideal adalah benar-benar melaksanakan demokrasi di internalnya. Seperti apa yang diperjuangkan tentang demokratisasi dalam negara. Ini adalah pilihan, dunia perguruan tinggi berpegang antidemokrasi dan intervensi. Atau dunia perguruan tinggi, mempunyai integritas holistik demokrasi dan keadilan, yang menghargai manusia sebagai layaknya manusia. Dan menjunjung objektivitas dan keilmiahan.

Kompas Edisi Jawa Timur, 5 September 2001

Tidak ada komentar: