Rabu, 02 Juli 2008

Sudah Adilkah UMK di Jatim?

Oleh Kanisius Karyadi

Pertumbuhan upah minimum kabupaten/kota Jawa Timur pada tahun 2005 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2004. Bahkan selama kurun waktu tiga tahun terakhir pertumbuhan UMK di Jatim selalu menurun (Kompas, 23/11/2004). Berita ini mengundang pertanyaan, sudah adilkah UMK 2005 di Jatim? Untuk menjawab pertanyaan itu, kita simak beberapa kondisi perburuhan di lapangan yang pernah dijumpai penulis dalam studi di Sidoarjo.

Setidaknya ada tiga kondisi umum, yang menggambarkan penerapan UMK 2004 yang masih berjalan dengan tingkat pemenuhan kebutuhan hidup. Kondisi pertama, UMK 2004 dirasa cukup. Ternyata pendapat yang mengatakan bahwa UMK tidak adil disangkal oleh kelompok yang mengalami kondisi ini, karena, dalam praktiknya besaran UMK 2004 di Sidoarjo sekitar Rp 550.000. Memang cukup bahkan dikatakan berlebih untuk hidup di Sidoarjo. Dilihat dari latar belakangnya, kelompok ini didominasi oleh generasi muda yang baru lepas dari bangku sekolah (kuliah). Bahkan, lulusan D-3 dan S 1 banyak mendominasi dan rela menerima UMK 2004.

Mereka mengatakan, UMK 2004 lebih dari cukup dengan dua alasan, pertama mereka masih bujang sehingga UMK dapat memenuhi kebutuhan hidup sendiri, tidak terbagi-bagi. Kedua, mereka bersyukur bisa diterima bekerja di perusahaan daripada menganggur. Apalagi untuk mendapatkan pekerjaan dengan UMK 2004 ini cukup sulit. Mereka harus berjuang mengalahkan kompetitor lain. Pada umumnya, mereka masih bisa menerapkan motif memegang uang ala JM Keynes, misal memenuhi kebutuhan sehari-hari, menabung atau untuk berjaga-jaga.

Dilihat dari gaya hidupnya, mereka tampil cukup perlente dan trendi. Mulai dari aksesori tubuh sampai kebutuhan sekunder seperti telepon seluler, jam tangan, perhiasan dan lain sebagainya. Ini menunjukkan perilaku pemenuhan kebutuhan fisik, seperti pada tahapan awal teori kebutuhan Abraham Maslow dapat dilewati.

Namun, harus diakui ada beberapa kasus transisi, dari kondisi pertama yang mengatakan sudah cukup rela dan adil dengan UMK 2004, lalu berbalik arah pendapat dengan mengatakan UMK 2004 tidak cukup adil dan kurang. Kondisi ini dialami pekerja muda yang menikah. Mereka merasakan impitan untuk mengatur besaran UMK 2004 dengan macam-macam kebutuhan rumah tangga yang terus mengalir.

Kondisi kedua, UMK 2004 dirasa kurang. Ternyata, pendapat yang mengatakan UMK 2004 dirasakan kurang tidak sedikit karena dalam praktiknya besaran UMK 2004 di Sidoarjo sekitar Rp 550.000 hanya pas-pasan, bahkan kurang untuk hidup di Sidoarjo. Dilihat dari latar belakangnya, kelompok ini didominasi generasi muda atau tua yang menikah atau memiliki anak.

Mereka mengatakan kurang dengan dua alasan, pertama mereka sudah menikah sehingga kebutuhan hidup semakin kompleks. Kedua, mereka rata-rata tidak memiliki usaha sampingan dan menggantungkan hidup dari perusahaan. Untuk berpindah kerja, mendapat pekerjaan baru dan upah yang lebih besar sudah sulit. Jangankan untuk menabung atau untuk berjaga-jaga, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sudah babak belur.

Dilihat dari gaya hidupnya, mereka tampil seadanya. Aksesori perawatan tubuh sampai kebutuhan lain seperti telepon seluler, jam tangan, perhiasan jarang dijumpai. Fenomena utang-mengutang lebih mendominasi. Gali lubang tutup lubang sudah menjadi bagian hidup mereka. Ini menunjukkan pemenuhan kebutuhan fisik, seperti pada tahapan awal teori kebutuhan Abraham Maslow tidak dapat dilewati.

Harus diakui, UMK 2004 bagi mereka kurang adil, karena pada kondisi ini pekerja yang sudah puluhan tahun bekerja di perusahaan harus rela menerima UMK 2004 tanpa tunjangan apa-apa. Mereka harus menerima ketika ada pekerja baru masuk pada tahun 2004 diberi UMK 2004 juga. Adilkah itu? Itu pertanyaan mereka yang sering mengemuka.

Kondisi ketiga, UMK 2004 dirasa kurang sekali, tetapi perlu ada usaha meningkatkan pendapatan. Ternyata, pendapat yang mengatakan UMK 2004 dirasakan kurang sekali banyak. Mereka menganggap UMK 2004 memang kurang, namun mereka mencari alternatif positif dalam meningkatkan pendapatannya di luar UMK 2004.

Mereka tergerak dalam usaha mandiri di luar perusahaan yang bisa menambah penghasilan, seperti berdagang kebutuhan rumah tangga, menjalankan sektor pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Ada seorang pekerja yang tetap menjalankan aktivitas sebagai karyawan dengan satu istri dan tiga anak di bagian keamanan selama tujuh tahun masih mendapatkan UMK tanpa tunjangan apa pun. Namun, aktivitas dalam bisnis pertanian tidak ditinggalkannya. Alhasil, penghasilan di luar perusahaan lebih besar dibandingkan UMK. Ia sudah dapat menggunakan uang dengan relatif baik, mana untuk kebutuhan sehari-hari, untuk menabung atau untuk berjaga-jaga.

Dilihat dari gaya hidupnya, mereka tampil sederhana namun berada. Aksesori perawatan tubuh sampai kebutuhan lain seperti telepon seluler, jam tangan, perhiasan sudah menjadi bagian hidup. Fenomena utang-piutang jarang dijumpai. Ini menunjukkan pemenuhan kebutuhan fisik, seperti pada tahapan awal teori kebutuhan Abraham Maslow dapat dilewati dan meningkat pada kebutuhan hidup yang lainnya.

Harus diakui, UMK 2004 bagi mereka adalah kurang adil, namun budaya nrimo lebih dominan. Dalam diri mereka, menuntut upah lebih besar hanya membuang energi. Mereka berpendapat daripada menuntut upah hanya berakibat buruk, lebih baik bekerja dengan usaha sampingan yang lebih menguntungkan.

Penulis menduga UMK 2005 tidak akan terlalu bergeser dari ketiga temuan lapangan tersebut. UMK 2005 memang naik, namun perlu diperhatikan efek dari kenaikan barang dan jasa lainnya. Memang perlu digarisbawahi tentang ketentuan UMK yang mempunyai kecenderungan gebyak uyah tersebut, yang tidak memperhatikan masa kerja pekerja

Diperlukan langkah perbaikan, misalnya ketentuan UMK hanya untuk upah pekerja baru dan diupayakan ada sistem upah yang berbeda untuk karyawan berdasarkan masa kerja serta memikirkan tunjangan pekerja agar lebih sejahtera. Pemikiran ini masih berjangka panjang dan terlalu mendaki. Hal itu harus diperjuangkan dan yang lebih konkret mendorong pekerja untuk meningkatkan kemandirian melalui usaha konkret yang dapat meningkatkan pendapatan.

Dengan demikian, perbaikan menuju kesejahteraan bisa dua arah. Pemerintah atau swasta bekerja sama mengeluarkan kebijakan yang ramah bagi pekerja. Dan di sisi lain, pekerja atau karyawan berusaha sekuat tenaga menciptakan kesejahteraan dirinya dengan jalan positif dan halal. Sebab, jika hanya menggantungkan harapan pada pemerintah, penulis mengira sama artinya dengan menunggu godot.

Kompas Edisi Jawa Timur, 14 Desember 2004

Tidak ada komentar: