Rabu, 02 Juli 2008

Sidoarjo Dikepung Musik Dangdut

Oleh Kanisius Karyadi

Perkembangan Kabupaten Sidoarjo yang mengarah pada kota modern perlu mendapat apresiasi. Dalam tempo yang tidak lama, Sidoarjo bisa menjadi barometer atau ikon baru bila membicarakan Provinsi Jawa Timur secara keseluruhan.

Di balik sisi pembangunan fisik, dan sebentar, tepatnya 11 September 2005, akan ada pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Sidoarjo. Ada sebuah hasil studi yang memperlihatkan keunikan kegemaran bermusik warga Sidoarjo pada umumnya.

Studi yang dilakukan penulis di Sidoarjo selama bulan Juni-Juli 2005 mengcu pada pementasan seni dalam acara perkawinan atau khitanan di Sidoarjo. Hasil studi tersebut menunjukkan adanya dominasi musik dangdut di atas jenis musik lain seperti samroh, pop, keroncong dan hiburan lainnya. Warga Sidoarjo kerap memperdengarkan musik dangdut, baik lewat pementasan hiburan dangdut bersifat live show atau memperdengarkan irama dangdut lewat kaset dengan sistem audio yang berkekuatan besar yang memekakkan telinga.

Sebenarnya pertunjukan musik dangdut sudah merakyat di Sidoarjo. Boleh dikatakan musik dangdut menjadi ikon Sidoarjo baru sebagai Sidoarjo Kota Dangdut.

Menggemari dan menggandrungi musik dangdut bagi mayoritas warga Sidoarjo, seperti diungkapkan seorang petani dan karyawan perusahaan swasta di Sidoarjo, Amari meliputi tigaa alasan. Pertama, sebagai hiburan yang menyegarkan. Kedua, musik dangdut bisa dibuat goyang atau joget badan walaupun tanpa keahlian menari secara khusus. Ketiga, pada umumnya Amari yang juga merupakan warga RT 01 RW 01 Jalan Flamboyan, Desa Siring, Kelurahan Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, suka melihat penyanyi perempuan dangdut yang rata-rata menawan hati.

Dalam catatan studi tentang dominannya musik dangdut di Sidoarjo, ada pula beberapa perkembangan yang lumayan positif dari sisi seni dan bisnis bagi warga Sidoarjo sendiri. Pertama, bermunculannya kelompok musik dangdut di Sidoarjo. Mereka banyak membentuk Orkes Melayu (OM) bak jamur di musim hujan. Tentu mereka muncul karena ada kebutuhan hiburan atau pesanan manggung dari warga Sidoarjo sendiri. Sebut saja OM Palapa atau OM Dahlia pimpinan Sueb Aryanto di Krembangan, Taman. Selain itu, OM Devita pimpinan Soliman di Wonokoyo dan lain-lain.

Perkembangan OM di Sidoarjo menunjukkan kegairahan pemusik dangdut yang semakin baik dan naik. Proses regenerasi musik dangdut relatif berlangsung mapan. Hal itu terbukti dari banyaknya pemusik dangdut muda yang mendominasi dibandingkan dengan generasi tua. Kegandrungan dan regenerasi pemusik dangdut di Sidoarjo dipastikan relatif lebih lestari di banding kesenian lain, seperti perkembangan ludruk di Surabaya yang kian luluh saja.

Kedua, tak ketinggalan dalam catatan studi ini menunjukkan pula perkembangan munculnya penyanyi muda dangdut di Sidoarjo ini. Mereka lahir berkat lingkungan yang kondusif bagi perkembangan musik dangdut itu sendiri. Karena lingkungan yang maniak dangdut, sengaja atau tidak sengaja hal itu membentuk karakter kedangdutan dalam diri mayoritas kawula muda Sidoarjo. Ada istilah yang cukup membanggakan, kalau belum menyanyi atau mendengarkan musik dangdut serasa hidup belum lengkap. Mereka muncul pula karena ada kebutuhan untuk menyanyi dan menghibur atau pesanan manggung dari warga Sidoarjo sendiri.

Ketiga, studi ini menunjukkan bermunculannya usaha bisnis penyewaan sistem audio di Sidoarjo. Di lihat dari sisi bisnis lainnya, acara keramaian baik acara perkawinan atau khitanan selama bulan Juni-Juli 2005 di Sidoarjo ini menunjukkan keunikan, yaitu munculnya ekonomi pasar malam.

Ekonomi pasar malam lahir dari pengusaha-pengusaha kecil yang memanfaatkan keramaian untuk berdagang seperti mainan anak-anak, makanan kecil, pakaian, sepatu dan lainnya.

Jika dikaitkan dengan perkembangan politik mutakhir di Sidoarjo yang akan menghadapi pilkada secara langsung, irama dangdut bisa menjadi sarana yang baik dan pas bagi peran kampanye media di Sidoarjo, di samping sarana kampanye yang lain seperti pendekatan kiai dan lain sebagainya. Musik dangdut bisa sangat strategis dan politis bila dikaitkan dengan pilkada di Sidoarjo.

Hal itu strategis karena dominasi musik dangdut bisa digunakan sarana untuk menggaet pemilih. Misalnya, kampanye melalui media VCD atau kaset yang diisi dangdut dengan disisipi seruan kampanye yang mencerdaskan. Hal tersebut politis karena musik dangdut digunakan sebagai alat politik untuk meraih suara pilkada, seperti sudah banyak digunakan sewaktu Orde Baru dengan menggunakan media wayang untuk kampanye.

Kompas Edisi Jawa Timur, 27 Juli 2005

Tidak ada komentar: